Sudah sekian lama sebenarnya saya ingin
menulis pengalaman ini, setidaknya sebagai pengingat diri saya pribadi.
Tidak lebih!
Sulit dari mana saya mengawali cerita ini. Awalnya
waktu itu pertengahan tahun 2002 menurut dokter saya mengidap penyakit
hepatitis, jelasnya gangguan fungsi hati. Sakit yang saya derita
sepanjang 2 tahun lebih itu menyisakan banyak pelajaran berharga dalam
pola pikirku. Jika sehat itu adalah sesuatu yang berharga dalam hidup. Rizki yang tidak bisa kita nilai dengan sebentuk materi. Seberapun besarnya.
Sakit yang sekian lama, tentu ada rasa jenuh
terhadap derita sakit, kalaupun boleh memilih pada waktu itu, mati
adalah pilihan pertama yang saya pilih. Pertimbangannya adalah sakit
yang tidak terjabarkan dalam kata-kata pada waktu itu membuat diri saya
putus asa. Entahlah, saya rasa pilihan ini tidak saya saja yang memilih,
ketika seseorang menderita sakit yang akut. Tapi, Tuhan punya rencana
lain terhadap saya, alhamdulillah saya sehat sampai sekarang.
Selain menderita gangguan fungsi hati, saya juga
menderita TBC dalam kata lain sakit paru-paru, entahlah kalau bahasa
medis saya kurang faham. Ceritanya pada waktu itu, sekitar pukul 01.00
dini hari saya merasakan dingin yang luar biasa pada badan saya.
Anehnya, saya sadar apakah ini yang namanya menjelang ajal, nazak.
Seterusnya saya tidak ingat apapun, kecuali tangisan isteri dan emak
saya tercinta saat saya masih sadar. Selanjutnya, saya merasakan tubuhku
seakan melayang-layang ringan di udara, bagaikan sepotong kapas diterpa
angin. Sejurus itu seakan menembus kegelapan. Lama sekali, dalam lorong
gelap, sejurus itu saya tidak ingat apa-apa lagi.
Saat terjaga, aku mendapati ragaku tergeletak di
jalan yang gelap dan sepi. Tak ada seorangpun manusia disekitarku.
Anehnya, aku mendapatkan kenyataan tak sehelai benangpun mel;ekat di
badanku. Ya, diriku telanjang bulat.
Pada waktu itu aku hanya sempat berpikir sekaligus
heran, siapa yang melucuti pakaianku. Aku bangkit dan berjalan menyusuri
jalan panjang yang seolah tak berujung. Keadaannya begitu sepi. Bahkan,
sepertinya tidak ada makhluk lain selain hanya diri saya sendiri.
Tiba-tiba, aku melihat seberkas cahaya dikejauhan.
Aku segera berlari menuju kesana. Aku berharap menemukan seseorang yang
bisa saya mintai tolong. Semakin dekat dengan cahaya tersebut, mataku
menjadi silau. Cahaya itu seakan memiliki kekuatan yang maha dahsyat.
Pandangan mataku menjadi kabur. Tiba-tiba, saya merasakan seperti ada
kekuatan besar menyedot tubuhku dan melemparkan ke suatu tempat yang
sangat jauh. Entah dimana?
Sekali lagi terjadi sebuah keanehan. Saya tiba-tiba
sudah berdiri di sebuah jalan dan memakai baju menyerupai jubah hitam.
Tapi yang membuat saya heran, disekitarku terlihat pemandangan hiruk
pikuk manusia dengan segala polah tingkahnya. Ada yang mabok, berjudi,
berzina, mencuri, membunuh, dan macam-macam tindak kejahatan. Dan juga
ada pula terlihat orang yang berbicara di podium dengan mulut
berbusa-busa, tapi tak ada seorang pun yang mendengarnya, kecuali
sekumpulananjing dan babi!
“Dunia apa ini?” batinku tak habis mengerti.
Semuanya berbuat semaunya sendiri. Seperti tak ada aturan dan tata
susila. Orang-orang mempertontonkan tingkah laku apa adanya. Tak ada
rasa malu atau sungkan. Seperti yang diperlihatkan dua insan berlainan
jenis yang bermain cinta dengan panasnya di sudut jalan disaksikan mata
telanjang anak-anak kecil.
Saya segera beranjak dari tempat tesebut, menyusuri
jalan yang panas dan berdebu, tiba-tiba saya bertemu dengan dua orang
wanita tang sangat saya kenal. Ya, emak dan istriku. Saya panggil
keduanya, tapi merekaa tidak menoleh walau sedikit pun, apalgi berhenti.
Mereka terus berjalan tanpa memperdulikan diriku. Saya bangkit dari
tempatku dan hendak mengejar mereka. Tapi langkah kakiku seperti ada
yang menggandoli.
Saya tak mampu berlari dan hanya bisa terpaku
ditemapku berdiri. Saya hanya bisa berteriak-teriak memanggil emak dan
istriku. Sementara emak dan istriku terus berjalan hingga bayangan
mereka lenyap dibalik kabut. Saya menjadi kecewa dan purtus asa. Saya
menangis tersedu-sedu.
Tanpa saya sadari, muncul empat orang berwajah
seram dihadapanku sambil membawa pentungan. Mereka mirip monster di
film-film horor. Tanpa banyak kata mereka menghajarku secara bergantian.
Saya berteriak-teriak minta tolong. Tapi, tak ada
seorangpun yang datang menolongku.
“silahkan berteriak! Tak akan ada
yang bisa menolongmu” kata salah seorang dari mereka.
“kamu adalah manusia laknat yang perlu diberi pelajaran” caci yang lain.
“kamu akan kami masukkan ke dalam neraka” ancam salah seorang yang lain.
“manusia sepertimu tak pantas hidup di dunia”
Hujatan dan cercaan yang bertubi-tubi ditujukan
padaku yang juga disertai siksaan fisik yang berat. Saya hanya bisa
melolong dan menjerit kesakitan. Sungguh, belum pernah saya merasakan
kepedihan, kesakitan, dan siksaan demikian beratnya seperti ini.
Sekujur tubuhku sampai berdarah-darah. Tak ada yang
bisa saya lakukan pada waktu itu kecuali menyeru nama Tuhan, meminta
pertolonganNya. Pada saat seperti itulah saya menyadari segala
kekhilafan dan kekeliruanku. Saya tidak ingin mati dalam keadaan
berlumuran dosa seperti ini.
Ketika diriku sudah sekarat dan harapan itu tinggal
seujung kuku, sayup-sayup saya mendengar suara emak memanggil namaku.
Saya terkesiap. ‘Emak, maafkan aku?” lirihku sambil merintih kesakitan.
Dan ajaib. Orang-orang berwajah seram yang tadi
menghajarku lenyap begitu saja. Meski masih merasakan sakit, samar-samar
saya melihat kehadiran emak dihadapanku. Dengam kondisi sangat payah,
aku merangkak mendekati emak.
Tangan emak terulur kearahku. Dengan susah payah
saya mengangkat tanganku yang lemah dan mencoba meraih tangan emak.
Anehnya, ketika tanganku menyentuh tangan emak, tiba-tiba seperti ada
kekuatan yang luar biasa mengalir ke tubuhku. Saya merasakan
tulang-tulang tubuhku yang sudah remuk bersatu kembali. Saya merasakan
diriku disedot sebuah kekuatan besar. Tubuhku melayang-layang di angkasa
dan kemudian jatuh dialas yang empuk. Ada kedamaian meyusup dalam
hatiku. Perlahan saya membuka mata. Cahaya terang menyilaukan.
Samar-samar saya mulai bisa melihat keadaan
disekelilingku. Sebuah ruangan yang tak asing, kamar sederhanaku. Maklum
pada saat saya sakit pada waktu itu, hampir semua yang saya tabung
habis untuk ikhtiar kesembuhan. Dan ketika kejadian mati suri menurut
pendapat saya pribadi ini, saya hanya menjalani obat jalan. Tampak emak,
istri dan saudaraku juga kerabat yang lain menungguiku dengan deraian
air mata. Sungguh saya tidak bisa membalas air mata itu sampai kapan
pun.
Saya yakin, kejadian seperti yang saya alami tidak
sendiri, ini adalah bagian kecil dari keajaiban semesta ini. Semua ini
adalah semata-mata berkat pertolongan Allah swt. Kunci semua ini saya
yakin adalah doa yang tulus dari orang-orang terdekat kita. Kelapangan
hati, orang terdekat kita melapangkan pintu maaf buat kita yang menutup
pintu kematianku untuk beberapa waktu, entah kapan lagi, wallahu a’lam
bishowab. Kecintaan mereka yang besar kepadaku mungkin juga sebagai
salah satu kekuatan yang mampu menghidupkan saya dari separuh mati!
Semoga sekelumit kisah ini menjadi pengingat untuk
diriku sendiri, setidaknya sebagai peng”eling” dalam setiap gerak hidup
dalam kehidupanku kedepan. Tidak jatuh di lubang yang sama. Semoga
tulisan yang singkat ini bermanfaat buat kita semua. Wassalam
Tuban, Minggu,28 Agustus 2014
0 on: "Pengalaman Separuh Mati"