Akarasa – Selamt datang kerabat
akarasa. Sudah pernah ke Tuban? Jika belum, minimal sudah pernah mendengarnya,
jangan seperti temen saya yang tidak tahu Tuban itu dimana. Tuban memang sebuah
kota kecil, tapi dahulu kota ini adalah pelabuhan paling penting pada masa
Majapahit.
Tuban memang banyak sebutannya,
selain sebagai Kota Wali, Tuban juga menyandang nama Kota Seribu Goa dan Bumi
Ronggolawe, bupati paling dielu-elukan oleh kami yang berasal dari Tuban. Dibalik
terkenalnya Tuban dengan sebutan daerah seribu goa, ternyata Bumi Rongglawe ini
juga menyimpan berbagai pesona alam yang tidak kalah menarik dibanding dengan
wilayah lain. Sayangnya, objek wisata yang menyimpan nilai jual tinggi ini
belum digarap dengan maksimal.
Sebut saja goa yang terdapat di
Tuban antara lain, Goa Akbar, Ngerong, Putri Asih, dan berbagai goa lainnya.
Goa yang terakhir, Goa Putri Asih
sengaja di tutup oleh pihak pengelola karena sangat rawan untuk longsor.
Wisata alam lainnya yang terdapat di Bumi Wali ini antara lain air terjun,
seperti Air Terjun Nglirip. Namun, di
Tuban masih banyak menyimpan wisata air terjun yang masih belum banyak dikenal
masyarakat. Salah satunya, Air Terjun Bongok, air terjun ini terdapat di Dusun
Kerokan, Desa Jetak, Kecamatan Montong.
Tempat itu, dikelilingi oleh
tebing yang terdapat tiga air terjun yang mengalir deras dan berkumpul menjadi
satu. Sedangkan, aliran air tersebut membentuk sebuah kolam yang lebar, dan
kolam tersebut mengalir ke sungai yang tidak pernah kering walau musim kemarau.
Air sungai tersebut selama ini dijadikan warga untuk kebutuhan warga minum,
mandi, dan mencuci.
Selain itu, Air Terjun Bongok
juga dikelilingi berbagai pepohon yang
berukuran besar. Tempat ini juga dihuni oleh segerombolan kera, selain itu
burung-burung liar juga tampak bermain-main di dahan pohon yang banyak tumbuh disekitar
tempat ini. Hal ini menambah keindahan tempat ini dan memanjakan mata
pengunjung di air terjun ini. Setidaknya kalau kerabat akarasa berkunjung pada
siang hari.
Tak jauh dari lokasi tersebut
juga terdapat situs makam, yang menurut informasi dari warga sekitar adalah
makam seorang tokoh penyebar agama Islam yang bernama Ki Singonegoro. Menurut
masyarakat sekitar Ki Singonegoro disebut-sebut seorang senopati pada zaman kerajaan Mataram Islam
dibawah pimpinan Sultan Agung yang saat itu berjuang melawan penjajah Belanda.
Karena Mataram kalah dengan Belanda, maka Ki Singonegoro pergi ke arah timur
dan bersembunyi di Dusun Kerokan dan menyebarkan agama Islam kepada penduduk
sekitar.
Demikianlah sekilas tentang
tempat yang kita kunjungi kali ini. Namun, siapa sangka dibalik keelokan dan
keasrian tempat ini adalah tempat hunian satu komunitas kuntilanak. Sekaitan
dengan ini saya ada satu cerita yang menarik.
Setahun yang lalu, ada dua kerabat
akarasa dari Jakarta dan Bandung dan tertarik untuk wisata ke alam gaib. Tapi
bukan uji nyali atau uka-uka. Mereka tertarik saat sedang rame-rame dan tidak
paranoid namun bisa melihat penampakan dengan mata telanjang. Tidak ingin
mengecewakan karena sudah jauh-jauh dari Jakarta ke Tuban, saya ajak mereka
berdua ke Air Terjun Bongok ini bersama beberapa rekan-rekan yang lain dari
Tuban.
Setelah menempuh perjalanan
sekitar sejam dari rumah, belum tengah malam rombongan kami sampai lokasi ini.
Dalam perjalanan, saya sudah wanti-wanti ketika melihat penampakan jangan
sampai lari. Cukup pejamkan mata atau palingkan muka saja. Lokasi yang paling
potensial untuk pembuktian di lokasi ini tiada lain adalah di air terjun itu
sendiri. Kebetulan karena kami berdelapan, jadi kami membagi masing-masing
berpasangan. Kebetulan sekali malam itu suasana lumayan terang karena bulan
sedang pada puncak terangnya.
Setelah menyalakan dupa di
beberapa titik kami menunggu dengan duduk-duduk sambil menikmati makanan kecil
yang kami bawa dari rumah. Sejam lebih belum ada kejadian yang berarti. Hanya
suara-suara orang tertawa dan cahaya-cahaya kekuningan yang berjalan lambat di
permukaan kolam Air Terjun Bongok ini.
Karena saya pikir kami terlalu
dekat dengan kolam, hingga penampakan tidak juga muncul. Akhirnya saya mengajak
mereka sedikit lebih mundur menjauh dan menyuruh Zakky membakar terasi (bumbu
dapur) di dekat kolam tersebut.
Belum lama setelah Zakky membakar
terasi, suanasa sudah mulai berubah. Yang pada awalnya hanya berupa cahaya dan
suara-suara, kali ini angin mulai gaduh menyeruak dari pepohonan dan
terkonsentrasi di kolam. Saya memberi kode dengan bahasa isyarat agar tidak
gaduh dan menunjuk kolam air di depan kami.
Dengan harap-harap cemas, sejak
itu, kami hanya menggunakan bahasa isyarat. Dan benar, tak lebih dari lima
menit kemudian, terlihat di kolam air berpusar hebat. Perlahan tapi pasti,
sebuah benda muncul dari pusaran itu.
Saya langsung mengamit Doni, tamu
saya yang dari Jakarta sambil menunjuk ke kolam. Dia mengangguk, sebagai
isyarat dia melihat juga. Dan, kami benar-benar melihat penampakan perahu
jukung yang memutar pelang di pusaran itu. Sejenak kami terpana. Bersamaan
dengan letusan kecil, perahu jukung itu langsung menghilang. Kini yang nampak
hanyalah kolam air yang terbelah. Mengesankan kalau perahu itu berjalan kea rah
lain.
Melihat satu fenomena demikian,
tampak sekali ada rona kepuasan dari Doni dan temannya. Singkat cerita, setelah
melihat satu fenomena itu kami berajak pulang dan memabawa beragam tanya di
kepala. Kenapa bukan kuntilanak yang nampak, malah satu perahu jukung. Akhir
kata sekian dulu dan sampai ketemu lagi pada tulisan selanjutnya. Matur nuwun…
makasih bro atas kunjunganya di desa saya
BalasHapussama sama mas, nuwun sudah mampir disini
Hapus