Tuntutlah
ilmu walau sampai ke Negeri China, kata sebuah hadits. Dan sekitar abad XIV,
seorang Bujangga Manik menyerukan, tuntutlah ilmu ke Penataran. Ya, Candi
Penataran di Blitar itu, yang dulu dinamakan Rabut Palah. Mengapa China,
mungkin bisa dijawab. Tetapi, mengapa juga Penataran? Apa sih istimewanya candi
Penataran?
Pada
kesempatan menulis kali ini saya akan berbagi cerita jalan-jalan ke Kabupaten
Blitar 2 tahun yang lalu. Terinspirasi dari buka-buka koleksi foto lama saat
mengunjungi Candi Penataran atau Candi Panataran atau nama aslinya Candi Palah
adalah sebuah candi yang bersifat keagamaan Hindu Siwaitis.
Candi
ini terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Propinsi
Jawa Timur. Terletak di barat daya Gunung Kelud, sebelah utara Blitar pada
ketinggian 450 meter diatas permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian
candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan
Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa
pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
Kembali
ke istimewaannya Candi Penataran dari pengantar tulisan ini seperti diserukan
oleh Bujangga Manik. Soal belajar ke China itu, mungkin sekadar perumpamaan
saja. Artinya, jangan tanggung-tanggung menuntut ilmu, kalau perlu kejarlah
sampai ke tempat yang jauh. Posisi negeri China memang lumayan jauh dari negeri
Arab dalam ukuran pada saat itu. Tetapi kalau dipikir-pikir, mungkin bukan
sekadar kebetulan disebut Negeri China.
Banyak
hal yang menjadi keunggulan China yang masih tetap layak dikagumi. Mulai soal
pengobatan tradisional, akunpuntur, ilmu Fengshui, Astrologi (Shio), beladiri
(kungfu), ilmu berhitung (sempoa), ilmu perang kuno (dari Sun Tsu misalnya)
yang digunakan untuk marketing bisnis dan politik. Bahkan juga olahraga
(bulutangkis) yang selalu merajai turnamen internasional (WNI yang juara juga
pun banyak berasal dari etnis China).
Jadi
sebetulnya dalam konteks sekarang ini pun masih relevan untuk menyerukan
“belajar ke negeri China”. Soal produksi barang murah meriah “made in China”
telah mampu menggoncangkan pasar dunia. Etos kerja warganya, yang seolah tak
pernah nganggur. Ibu-ibu sambil momong bayi pun masih nyambi mengerjakan
pekerjaan ringan yang kemudian disetorkan ke perusahaan. Juga soal hukuman mati
bagi koruptor. Ini juga perlu di contoh.
Lantas,
apa menariknya Penataran? Inilah kompleks candi terbesar di Jawa Timur yang
masih terawat hingga sekarang, dibangun dalam kurun waktu sekitar 250 tahun,
mulai tahun 1197 M sampai dengan abad XIV. Ratusan panel reliefnya masih bisa
dinikmati dengan baik, yang memuat cerita Kresnayana, Mahabarata, dan
cerita-cerita klasik seperti Sri Tanjung.
Sebagai
candi terbesar di Jawa Timur, Candi di kawasan Nglegok, Blitar ini, ibarat
“sumber air yang tak pernah kering” untuk ditimba oleh siapapun yang bermaksud
mendapatkan informasi, imajinasi dan makna keteladanan. Candi Penataran dapat
berfungsi sebagai sumber eksplorasi seni. Yaitu kesenian masa lampau, yang
berbentuk seni-bangun candi beserta kompleksitasnya.
Sebagai
karya seni, candi adalah perwujudan ekspresi seni rupa pada suatu masa yang
lampau. Ragam ekspresi seni yang hadir di dalamnya, antara lain meliputi
ekspresi: Seni Bangun , Seni Pahat, Seni Sastra Visual dalam bentuk relief
cerita, serta Seni Keagamaan. Ragam ekspresi seni yang demikian, secara lengkap
dapat dicermati di kompleks Candi Penataran sebagai sebuah candi yang paling
spektakuler di Jawa Timur. Disamping itu merupakan contoh signifikan mahakarya
seni rupa masa Hindu-Buddha yang inovatif dan kreatif, sehingga mampu
menampilkan gaya khas, yang disebut “Gaya Jawa Timuran”.
Jadi,
Candi Penataran adalah sebuah “perpustakaan hidup” dan dapat menjadi inspirasi
untuk melahirkan pemimpin bangsa. Sebagaimana makna kata Penataran itu sendiri,
berasal dari kata pa-natha-ayrya-an. Kata natha berarti pemimpin/raja,
sedangkan ayrya menggambarkan sesuatu yang tinggi dan dipersonifikasikan pada
orang yang berkedudukan tinggi. Dengan demikian kata Panataran dapat diartikan
sebagai tempat seorang pimpinan/raja.
Fungsi
sebagai tempat menimba ilmu ini bahkan sudah disebutkan dalam naskah Bujangga
Manik, seorang bangsawan Sunda, bahwa Rabut Palah (nama lama candi Penataran),
setiap harinya banyak pengunjung yang melakukan puja dan belajar agama.
Bujangga Manik bahkan menetap untuk sementara waktu di Penataran untuk belajar
beberapa kitab agama dan hukum. Penataran adalah tempat pendidikan agama yang
disebut mandala atau kadewaguruan yang dipimpin oleh seorang Siddharsi atau
Dewan Guru yang marak di Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk.
Fungsi
sebagai tempat menimba ilmu ini bahkan sudah disebutkan dalam naskah Bujangga
Manik, seorang bangsawan Sunda, yang sempat menyinggahi Gunung Kampud (nama
arkhais dari Gunung Kelud), tepatnya di Rabut Pasajen – satu tempat suci bagi
Majapahit, yang disucikan oleh orang Jawa. Bujangga Manik adalah penyair kelana
dari Pakuan (di dekat Bogor kini) yang hidup pada abad ke-16. Sebetulnya, dia
adalah ahli waris tahta kerajaan dari Istana Pakuan di Cipakancilan, dengan
gelar Pangeran Jaya Pakuan, tapi dia lebih suka menempuh jalan hidup asketis.
Sebagai rahib Hindu, dia berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali.
Sosok
dan kisah perjalanan Bujangga Manik dikenal oleh publik modern berdasarkan
sebuah naskah dalam bahasa Sunda Kuna di atas daun lontar, karya sang rahib.
Naskah itu didapatkan oleh seorang saudagar dari Newport, bernama Andrew James,
lalu diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, di Oxford, Inggris, yang
diperkirakan berlangsung pada 1627 atau 1629.
Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Perjalanan_Bujangga_Manik
Ia
tinggal di Palah hingga setahun lamanya untuk belajar beberapa kitab agama dan
hukum. Bahkan sempat membaca Darmaweya dan Pandawajaya. Menurutnya, kala itu
para peziarah dan pengunjung dari perkotaan datang tiada hentinya. Artinya,
pada abad ke-15 atau ke-16, Candi Palah masih ramai diziarahi orang yang
melakukan puja dan belajar agama. Penataran adalah tempat pendidikan agama yang
disebut mandala atau kadewaguruan yang dipimpin oleh seorang Siddharsi atau
Dewan Guru yang marak di Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Bahkan
karena dirasa sudah “terlalu ramai” itulah maka Bujangga Manik lantas
meninggalkan Penataran, mencari tempat lain yang sepi hingga bisa belajar
dengan tenang.
Nah,
pertanyaannya sekarang, apakah kita masih tetap menyia-nyiakan potensi
Penataran yang luar biasa ini? Kalau Borobudur sudah terkenal dengan keindahan
reliefnya, maka Jawa Timur memiliki Candi Penataran. Ke sanaah kita musti
belajar banyak hal. Bujangga Manik saja sudah menjadikan Penataran sebagai
perpustakaan, juga mereka yang hidup jaman Majapahit. Dan “perpustakaan” itu
sampai sekarang masih ada dan terbuka lebar-lebar pintunya. Masihkah kita malas
membacanya? Sekian dulu dan terima kasih.
0 on: "Menelusuri Jejak Tamasya Hayam Wuruk"