
Seperti
pada umumnya, hampir pada setiap sejarah kesultanan di Indonesia didalamnya
terdapat peran penting ulama,mereka berperan bukan saja sebagai pengajar ilmu
ilmu agama,melainkan juga berpengaruh kuat memberikan masukan kepada
penguasa atas kebijakan yang akan dikeluarkan demi kemaslahatan umat, fatwa
dan masukan ulama itu didengar oleh para sultan, untuk kemudian dijadikan acuan
umum yang mendasari kebijakan sultan dalam menjalankan roda pemerintahan,tidak
jarang kedekatan itu berlanjut pada hubungan pertalian pernikahan diantara
mereka.
Kesultanan
Kutai Kartanegara pada masa pemerintahan Aji Sultan Alimuddin
(1899-1910)tersebutlah seorang ulama yang menjadi Mufti dikesultanan dan banyak
mendampingi sultan pada masa itu,dikemudian hari ulama tersebut Habib
Muhammad bin Yahya lebih dikenal dengan gelar yang disematkan sultan kepadanya
yaitu Pangeran Noto Igomo.
Habib
Muhammad bin Yahya adalah seorang wulaiti yang artinya beliau kelahiran
Hadhralmaut Yaman Selatan,meskipun keluarga Habib Muhammad ada di Indonesia,ia
dan kakaknya Habib Thaha bin Ali bin Yahya dilahirkan di kota Masilah
Hadhralmaut, beliau dilahirkan tahun 1260 H/1844 M.ayah dari kakeknya Habib
Thaha bin Muhammad bin Yahya adalah leluhurnya yang pertama kali masuk ke
Nusantara, Habib Thaha ini belajar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yang
sangat alim yaitu Habib Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin Yahya yang seorang
Qadhi di Hadhralmaut.
Ia
pertama kali masuk Indonesia melalui Pulau Penang Malaysia,sewaktu di Penang
beliau dikenal dengan As-Sayyid Ath-Thahir,pada saat dipenang inilah beliau
bertemu dengan Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang diasingkan
Belanda,Sultan pun memanfaatkan kesempatan ini dengan mengaji kepada
beliau,dikemudian hari ia menikahkan putrinya dengan Habib Thaha ini,Habib
Thaha wafat di kota Semarang Jawa Tengah,sedangkan Habib Ali bin Hasan bin
Thaha bin Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin yahya ayah dari Habib Muhammad ini
wafat di Ar-Raidhah Hadhralmaut tahun 1292 H/1875 M.
Keluarga
Habib Muhammad bin Yahya ini dari pihak nenek berasal dari keluarga Alaydrus
Al-Ar-Raidhah sedangkan ibunya Syarifah dari keluarga Bin Thahir dari Masilah
Hadhralmaut.setelah beranjak dewasa ia bermaksud pergi ke Nusantara demi
menyusul paman dari pihak ibunya yaitu Habib Abu Bakar Bin Thahir yang berada
di Batavia dan menemui saudara sepupunya yaitu Habib Abdullah bin ali bin
Abdurrahman bin Thahir yang berada di Ambon.
Dalam
perjalanan dari Masilah Hadramaut ke Indonesia beliau melewati kota Aden
melalui kota Tarim,ia bermalam disebuah rumah yang pemiliknya menginap penyakit
kusta,pemilik rumah tersebut diobati oleh beliau dan dengan perkenan Allah ia
pun sembuh dari penyakitnya,sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa hormat kepada
Habib Muhammad beliaupun akhirnya dinikahkan dengan anaknya sekalipun ia tahu
bahwa Habib Muhammad hanya singgah sebentar kemudian meneruskan perjalanannya
ke Indonesia,dalam perkawinan ini beliau tidak memperoleh keturunan.
Habib
Muhammad adalah seorang yang sangat tekun dalam menuntut ilmu dan selalu menyempatkan
diri belajar dengan para guru sepanjang perjalanannya yang memakan waktu
panjang,ia sangat berhati hati didalam memelihara kehormatan dirinya sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rasulnya,sikapnya ini tetap terjaga sampai akhir
hayatnya.
Setelah
bertemu dengan pamannya di Jakarta beliau melanjutkan perjalanan ke Surabaya
disini beliau menimba ilmu dengan habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Boto-putih,di
Surabaya beliau menikah dan mempunyai anak perempuan yang diberi nama Syarifah
fathmah yang mana setelah dewasa dinikahkan dengan putra saudaranya yaitu Habib
Umar bin Thaha bin Ali bin Yahya yang berjuluk Habib Umar Kendi ,selanjutnya
beliau melanjutkan perjalanannya ke Ambon menemui saudara sepupunya yaitu Habib
Abdullah bin Ali bin Abdurrahman Bin Thahir,disini beliau menikah lagi dengan
seorang gadis bernama Sangaji dan mempunyai anak yang bernama Habib Ali bin
Muhammad Bin Yahya,kemudian beliau kembali ke Surabaya dan kemudian beliau
melanjutkan perjalanan ke Tenggarong Kalimantan Timur sampai akhir hayatnya,pada
saat ke Tenggarong sekitar tahun 1877 saat itu usia beliau 33 tahun.
Saat
sampai di Tenggarong beliau sudah dikenal sebagai seorang ulama,ia kemudian
diminta oleh Sultan Kutai Kartanegara yaitu Sultan Alimuddin untuk mengobati
putrinya yang sedang sakit alhamdulillah dengan izin Allah SWT sang putri
sembuh.dengan penuh rasa syukur dan senang hati Sultan Aji Alimuddin kemudian
menikahkan putrinya tersebut dengan Habib Muhammad,putri tersebut bernama Aji
Aisyah dengan gelar Aji Raden Resminingpuri (Aji Aisyah ini kakak dari Sultan
Kerajaan Kutai yang terakhir yaitu Aji Sultan Muhammad Parikesit),dari
perkawinan ini beliau mempunyai 10 orang anak enam laki laki empat perempuan.
Di
Kerajaan kutai Habib Muhammad diberi jabatan penghulu,yang berwenang dalam
pengaturan yang berkenaan dengan urusan urusan keagamaan,awalnya Sultan memberi
gelar Raden Syarief Penghulu dikemudian hari ia mendapat gelar Pangeran Noto
Igomo semacam Mufti yang mengeluarkan fatwa fatwa agama atas berbagai
permasalahan yang ada.
Sewaktu
di Kalimantan inilah beliau bertemu kembali dengan sahabat beliau waktu di
Hadhralmaut yaitu Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsy yang tinggal di Barabai
Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan,walaupun tinggal didaerah berbeda
dan jarak cukup jauh persahabatan mereka terjalin dengan kuat,diceritakan sejak
di Hadhralmaut Habib Alwi mengakui kedalaman ilmu Habib Muhammad,keduanya juga
bahu membahu menyebarkan agama Islam di Kalimantan,pada saat Habib Alwi
membangun Pasar Batu Habib Muhammad mengirimkan bantuan berupa semen dan
batu,Pasar Batu adalah bangunan beton pertama di Hulu Sungai yang merupakan
tempat pasar getah (karet) diparuh pertama abad lalu.
Habib
Muhammad bin husain Ba'bud Lawang Jawa Timur pernah memberi kan ijazah doa yang
didapatnya dari Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsy Barabai,Habib Alwi
mendapatkannya dari Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya tenggarong dan Habib
Muhammad mendapatkan ijazah ini dari gurunya Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih
Botoputih Surabaya.
Suatu
hari dimasa pendudukan jepang,Habib Qasim Baragbah dari Samarinda berkunjung
ketempat Habib Muhammad bin Yahya,beliau menginap satu malam,dalam perbincangan
saat itu Habib Muhammad menanyakan kapan Habib Qasim kembali ke
Samarinda,"besok ya Habib "jawab habib Qasim,mendengar jawaban Habib
Qasim ,beliau termenung beberapa saat dan sepertinya beliau kurang berkenan
dengan kepulangan Habib Qasim pada besok hari, habib Qasim pun menanyakan ada
apa yang menyebabkan Habib Muhammad murung pada saat itu, beliau kemudian
mengatakan bahwa beliau mendapat isyarat seakan ia berada disebuah perahu
diatas kota Samarina yang pada saat itu gelap gulita, menurut Habib Muhammad
itu pertanda kurang baik.
Habib
Qasim tampaknya mempunyai keperluan yang penting sehingga ia tetap berketetapan
hati untuk pulang,Habib Muhammad kemudian berpesan agar Habib Qasim untuk hati
hati dalam perjalanan,ternyata sekembali Habib Qasim ke Samarinda,penduduk
Samarinda sedang mengalami kepanikan yang luar biasa karena pada saat itu
adaserangan dasyat dari tentara Sekutu.
Tahun
1945 Habib Qasim Baragbah datang lagi ketempat beliau,saat itulah beliau
mengatakan bahwa Insya Allah pendudukan tentara Jepang akan berakhir pada bulan
puasa bertepatan dengan bulan Agustus 1945,benar saja pada tanggal 14 Agustus
1945 tentara Jepang akhirnya menyerah kepada Tentara Sekutu dan pada tanggal 17
Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Beberapa
hari kemudian beliau mengadakan acara syukuran atas kekalahan penjajahan Jepang
ini,acara dihadiri tokoh tokoh masyarakat dan Ulama dari Samarinda sebanyak 200
undangan,acara tersebut bertepatan dengan hari kedua hari raya,alhasil penduduk
yang mendengar adanya acara itu berbondong bondong datang,yang hadir membludak
hingga persediaan nasi tidak mencukupi sedangkan waktu menanak nasi tidak sempat
lagi,masalah ini kemudian disampaikan kepada Habib Muhammad,lalu ia menuju
tempat nasi tersebut yang berupa sebuah guci yang tertutup semacam kelambu
tebal,sejenak ia tampak seperti sedang berdoa dan membacakan sesuatu,kemudian
ia memindahkan tasbihnya dari tangan kanan ketangan kirinya sambil menepuk
tutup guci tersebut seraya memesankan kepada petugas yang menjaga nasi tersebut
agar setiap orang yang mengambil nasi tersebut jangan melihat kedalam guci dan
jangan berkata kata,subhanallah hingga akhir acara berapapun banyaknya nasi
yang diambil ditempat itu seakan akan tidak pernah habis dan Alhamdulillah
akhirnya mencukupi kebutuhan semua tamu yang hadir.
Selain
aktif memangku jabatannya beliau juga aktif mengajarkan masyarakat ilmu
ilmunya dari ilmu syariat sampai ilmu tasawuf,semasa hidupnya beliau curahkan
segenap kemampuannya untuk kemaslahatan umatdan masyarakat di Kerajaan Kutai
dan sekitarnya.
Pada
tanggal 26 Rabi'ul awwal 1366 H atau tgl 17 Februari 1947 M rohnya yang suci
kembali Keharibaan RobbNya dalam usia lanjut yaitu 103,jasadnya yang Mulia
dimakamkan di Pekuburan Jalan Gunung Gandek Tenggarong yang juga dikenal dengan
Komplek Pemakaman Kelambu Kuning,makam Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya berada
dalam satu ruangan dengan istrinya, disamping ruangan Habib Muhammad bin Ali
Bin Yahya Pangeran Noto Igomo terdapat ruangan yang sama besarnya disanalah
dimakamkan Sultan Aji Muhammad Alimuddin Sultan Kutai periode 1899-1910 yang
juga mertua dari Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya.
Kedua
ruangan utama makam tersebut pada bagian dalamnya diselubungi kain berwarna
kuning seperti kebanyakan kubah kubah para aulia yang ada di
kalimantan,karenanya makam tersebut dikenal orang dengan sebutan Makam Kelambu
Kuning. Akhir kata sekian dulu napak tilas kita dan sampai jumpa lagi pada
tulisan berikutnya. Matur nuwun…
~disarikan dari beberapa sumber~
0 on: "Berziarah Ke Makam Kelambu Kuning"