Indra keenam atau perasaan “peka”
dengan dimensi lain di luar dunia manusia, memang tidak dimiliki semua orang.
Kelebihan ini bisa dianggap sebuah keberuntungan atau malah sebaliknya, seperti
kejadian yang saya alami dua pecan silam.
Dan.. lagi-lagi, sepertinya reflek saja setelah mencolokkan pengisi daya pada tempatnya, saya lihat perempuan itu di salah satu meja di ruangan lain restoran waralaba ini. Terlihat sekali dari tatapannya dia sudah memperhatikan saya semenjak tadi. Dia tersenyum manis sekali. Entahlah, ucapan terima kasih barangkali. Selempar pandangan kearah, eh ternyata pada tempat yang sama seorang ibu-ibu yang sedang sibuk dengan handphone nya. Sengaja nama, rumah dan lokasi hotel saya tidak tidak sebutkan di sini atas dasar berbagai pertimbangan. Cukuplah ini sebagai pengalaman yang kesekian kalinya, untuk bahan pembelajaran untuk sedikit memahami titik hitam kecil pada semesta ini. Akhir kata, sekian dulu catatan ini.
Berawal karena janji saya untuk
silaturahim ke rumah kolega di daerah Banten pada minggu 3
agustus 2014 kemarin, puncak-puncaknya arus balik. Untuk mencapai Merak, Banten
saja dari Pati, Jawa Tengah sekurangnya membutuhkan tak kurang dari 36 jam
perjalanan darat. Berangkat dari Pati minggu menjelang maghrib sampai di Merak
pada senin malam jam 22.30 WIB. Perjalanan yang melelahkan.
Karena sudah larut sampai di Merak
ini saya sengaja tidak menghubungi kolega untuk menjemput saya, pikirku saya
bisa mencari penginapan dulu agar bisa istirahat total dan besoknya saya baru
ke rumahnya. Dari dua penginapan yang sering saya pakai untuk
menginap saat di Cilegon salah satunya penuh dan satunya lagi menyisakan kamar
yang mahal, saya pikir itu sia-sia lagi pula hanya untuk transit saja untuk
besoknya saya akan ke rumah saudara. Akhirnya dari tukang ojek saya dianjurkan
pada satu penginapan yang agak murah dan masih di lingkup kota. Cuma memang
agak masuk ke dalam jadi kalau bukan orang yang mengenal daerah tersebut saya
yakin tidak bakalan tahu keberadaannya.
Singkat cerita, setelah
menyelesaikan administrasinya saya langsung menuju kamar yang saya pilih dengan
diantar keeping room. Sepi sekali malam itu, karena semenjak sore hari
kelihatanya kota Cilegon diguyur hujan. Karena penat dalam perjalanan, setelah
sekedar basuh muka dan cuci kaki saya setel alarm jam 05.00 pagi agar bisa
bangun dan mandi. Matikan lampu dan tidur dan tidak sedikitpun menekan remote
pendingin ruangan di meja. Tidur.
Ufff! Sosok perempuan kurus,
berwajah tirus, dengan rambut tergerai sebahu itu makin mendekat. Parfumnya
begitu menusuk. Seperti bau melati dan rempah-rempah. Gaun satinnya yang putih
menjuntai ke tanah yang becek, hingga ujung-ujungnya penuh bercak tanah dan
kotor. Tapi kelihatannya dia tidak peduli. Perhatiannya hanya tertuju padaku
yang berjarak hanya sekian meter didepannya.
Astaghfirullah.. kenapa kedua kaki
ini rasanya terpaku ditempatnya? Bergerak atau bergeserpun. Saya tidak bisa.
Sementara kurasakan udara disekelilingku semakin dingin. Beku.
Entah ada dimana saya sekarang.
Sekelilingku gelap dan berkabut. Hanya ada aku dan perempuan itu. Hati kecil
ini mengatakan, ada yang tidak beres. Tapi ingin lari dan teriak, tidak bisa.
Mmm, pikir-pikir buat apa saya yang laki-laki setua ini musti takut.
Lamban tapi pasti. Perempuan yang
sebagian wajahnya tertutup rambut itu, makin mendekat. Aroma rempah yang
tercium, lamat-lamat berubah menjadi bau anyir. Busuk, perutku rasanya seperti
diaduk-aduk. Buat bernafas juga semakin sulit. Dada seperti dibebani ribuan ton
pemberat. Sampai akhirnya, dia berada tepat didepanku! Ya, kami benar-benar
bertatapan muka. Sangat dekat.. astaghfirullah! Saking kagetnya saya sampai
terhuyung-huyung, mundur dan jatuh terduduk.
Tebakan kalau dibalik rambut itu,
wajahnya cantik.. ternyata bertolak belakang. Rusak. Bagian kanan pelipisnya
hingga dagu perempuan itu, melepuh. Merah, penuh darah. Buru-buru saya berusaha
bangun, tapi sia-sia. Sosok mungil itu lebih sigap dan kuat, tidak seperti
diduga. Tengannya mencengkeram lenganku dan wajah itu nyaris menempel begitu
dekat dengan wajahku…
Kring.. Kring.. Kriiiiing! Bunyi
alarm di handphone, mengejutkan. Hah! Syukur hanya mimpi buruk. Saya terbangun
dengan badan basah, bermandi keringat. Gila, kejadiannya seperti beneran.
Seperti yang saya tulis dari awal pada catatan ini, saya memang sensitive atau
banyak orang bilan indera keenam bawaan semenjak kecil. Kadang alam bawah
sadarku bisa merasakan yang orang awam tidak rasakan. Ada satu cerita waktu
kakak sepupu syukuran rumah barunya, saya merasa rumah itu tidak bener.
Nyatanya, bolak-balik anaknya sakit, demam tidak jelas. Ternyata, putranya
seringa diajak “main” sama penunggu kebun dibelakang. Setelah halaman tersebut
dirapikan dan digelar selametan, semuanya aman terkendali, beres.
Ada banyak sahabat maupun temen yang bilang, sebuah
keberuntungan memiliki sixth sense. Tapi bagi saya, kadang sebaliknya.
Bencanalah kira-kira, satu ketika saat pulang dari mall di kota Cilegon ini
menuju penginapan disampingnya. Tiba-tiba, melihat bocah cilik, plontos, memperhatikan
saya, pas lewat di samping tong sampah. Kuku-kukunya yang panjang, kotor itu,
mengaruk-garuk tanah, tanpa henti. Giliran saya melihat kearah lain dan balik
lagi, dia sudah tidak ada.
Kadang memikirkan “gift” yang saya
miliki ini hanya bikin setres. Lambat laun, saya mulai terbiasa dan berusaha
cuek. Ya, kalau melihat sesuatu yang tidak semestinya, berusaha santai. Saya
anggap selingan.. Intermezzo… Seperi mimpi tadi malam, meski menguras energi
tapi tidak saya masukkan ke hati. Mungkin saja, karena terlalu cape’ dalam
perjalanan hingga alam bawah sadar tidak terkontrol.
Mimpi malam itu, benar-benar sudah
saya lupakan. Apalagi paginya, saya akan ke rumah saudara. Sialnya, saudara
sudah masuk kerja dan biasanya agak malam datangnya, saya pikir besok saja saya
kerumahnya, dengan berbohong saya ke rumah kenalan lain di Cilegon ini dan
tidak enak kalau tidak bermalam. Singkat cerita, sorenya untuk membunuh waktu
dan saya baru tahu kalau dilokasi yang sama tempat saya meniginap ada semacam
café atau karaoke. Lumayan, ngopi dulu sambil cari snack, dan melepas penat.
Dari informasi pelayannya malam itu adalah malam pertama buka semenjak libur
puasa dan lebaran.
Tembang dangdut koplo menyambutku,
begitu masuk ke café yang kupikir rame. Ternyata masih sepi. Mungkin, belum
banyak yang tahu sudah buka, atau mungkin juga masih terlalu sore untuk
nongkrong di sini. Tapi tidak rugi juga bagi saya, karena udara di ruangan
tidak pengap karena asap rokok. Tapi, ada satu yang menarik perhatianku begitu
duduk. Seorang perempuan bermata bulat dengan make up tipis natural, tengah
sendiri di sudut café. Kelihatannya dia belum pesan apa-apa. Hanya sebuah buku
tebal yang ada digenggamannya. Kelihatannya dia begitu serius dengan buku
bacaaannya, sampai tidak peduli ketika seorang pelayan café menghampiri mejanya
dan mengganti kotak tissue yang tadinya mungkin sudah kosong.
Dan besok malamnya, sebelum saya ke
rumah saudara yang sebelumnya saya janji akan datang mala mini saya sempatkan
ngopi lagi ke café tersebu. Pikir saya, agak malaman sedikit lagipula dia
lembur dan pulang mungkin agak malam. Kaget saja, saya lihat perempuan itu
duduk di sana. Pada tempat duduk dan sudut yang sama seperti kemarin kali
pertama saya lihat. Kalau yang kemarin malam dia asik membaca buku tebalnya,
tapi kali ini sesekali dia mengutak-atik handphonenya. Hingga sautu kali, tanpa
sengaja dia sempat melihat saya yang tengah memperhatikannya. Kami sama-sama
kaget, bahkan saya yang tersipu malu.
Diam-diam memperhatikan perempuan itu.
Untungnya, dia tidak ambil pusing. Cuek sekali. Buktinya, beberapa kali kami
bepandangan meski pandangan selanjutnya lebih keselidik, dia tetap saja kembali
ke buku bacaannya. Karena saya berpikir, suasana café kan temaran apa dia bisa
baca dalam suasana temaram dan cenderung gelap. Ini kecurigaan saya.
Karena waktu sudah menunjuk pukul
21.00 wib lewat dan saya janji akan rumah saudara saya segera mengontak nomor
operator taksi untuk menjemput. Sambil menunggu taksi saya ke toilet untuk
sekedar cuci muka. Nah, begitu keluar dari toilet tersebut perempuan tadi sudah
ada di depan pintu seakan sengaja menungguku. Sambil mengulurkan tangan
memperkenalkan diri dan kaget sekali dia tahu asal saya. “Mas, dari Tuban kan,
tolong aku. Mas!”. Naluriku mengatakan, ada yang tidak beres pada perempuan
ini. Saat salaman tersebut saya rasakan tangannya begitu dingin. Parfumnya
juga. Sungguh. Saya tidak suka, terlalu tajam. Elizabeth Arden.
Karena terkesan sangat serius dan
seperti terhipnotis saya mengikuti dia ke tempat duduknya. dan langsung mengatakan
pada dia apa yang bisa saya bantu. Dia menunjuk pada lokasi tempat saya
menginap ada dua tandon air, dan di tendon air yang dekat dengan tembok pagar
itulah ada barang yang harus saya ambil dan mengantarkan pada alamat yang dia
sebutkan, di kota yang sama, Cilegon. Yang sempat saya catat pada handphone
karena saya tidak bawa pulpen saat itu. Saya menyanggupinya meski tidak malam
itu, saya berjanji sebelum kembali ke Tuban saya usahakan mencari barang
tersebut dan mengantarkan pada alamat yang dia sebutkan.
Malam itu juga, yakni sabtu malam
dengan diantar taksi yang sebelumnya sudah saya pesan untuk mengantar pada
alamat saudara. Sebelumnya kami memang ada janji malam itu juga akan ke luar
kota ke rumah saudaranya, karena senin nya dia kembali harus bekerja. Hingga
minggu malam kami baru tiba kembali di Cilegon. Untuk mengefisienkan waktu,
malam itu juga saya pamitan sama saudara untuk ke rumah kenalan yang yang masih
tinggal di Cilegon juga. Karena sudah sedikit larut setiba di rumah seorang
kenalan langsung saya istirahat di kamar tamu.
Pada malam itulah, perempuan itu
datang dan bercerita dalam alam bawah sadar saya. Dia bercerita, di tempat saya
menginap itu dia bertengkar hebat dengan kekasihnya yang berselingkuh dengan
wanita lain dan dia sengaja membuntutinya. Saat bertengkar itulah dia memukul
pacarnya dengan tas nya hingga isinya berantakan. Dengan perasaan hancur, dia
pulang dengan mengendarai motor pulang dan kecelakaan di jalan arah ke Anyer
dan dia meninggal, dan pada tempat duduk di café itu juga dia suka duduk ketika
ketemuan dengan kekasihnya. Rupa-rupanya dari isi yang berantakan itulah ada
entah barang apa yang dia minta tolong untuk disampaikan pada keluarganya.
Dua hari selanjutnya, selasa rencana
saya mau balik dan tidak enak sama pihak penginapan kalau hanya untuk mencari
barang saja di bawah tendon air tersebut, akhirnya saya putuskan untuk menginap
lagi. Pura-pura mencari angin saya mencari seperti petunjuk dia, barang
tersebut tergeletak begitu saja di salah satu kaki tendon air tersebut. Satu
kotak hitam kecil batu berisi empat batu semacam permata.
Singkat cerita, karena malam
sebelumnya saya sudah booking tiket untuk ke Surabaya dan akan di jemput travel
jam 1 siang. Saya sempatkan untuk mencari jasa pengiriman barang dengan pura-pura
akan mencetak tiket online di warnet dengan motor yang saya pinjam dari petugas
penginapan. Entahlah, hingga sekarang sudah sampai atau belum. Terpenting satu
amanah sudah saya sampaikan. Masih teringat apa yang dia sampaikan pada malam
itu, dia minta maaf karena datang pertama kali dengan membuat saya ketakutan.
Dan itu dia lakukan bukan kali pertama pada tamu penginapan ini. Dia mengatakan
itu tak lebih hanya satu pesan. Tidak ada maksud untuk bertindak selebihnya.
Semoga benar yang dia katakan. Dia
sudah tenang di alamnya. Saat amanahnya sampai pada keluarganya. Akhirnya, jam
16.30 saya tiba di Soeta Alhamdulillah tidak terjebak macet seperti biasanya.
Karena waktu masih longgar setelah cek in sambil menunggu penerbangan jam 18.35
menuju Surabaya saya sempatkan mengisi perut disalah satu tempat favorit saat
di Soeta ini. Setelah memesan kopi dan roti bakar dan merecharge handphone
sengaja saya duduk di pojokan smooking room.
Dan.. lagi-lagi, sepertinya reflek saja setelah mencolokkan pengisi daya pada tempatnya, saya lihat perempuan itu di salah satu meja di ruangan lain restoran waralaba ini. Terlihat sekali dari tatapannya dia sudah memperhatikan saya semenjak tadi. Dia tersenyum manis sekali. Entahlah, ucapan terima kasih barangkali. Selempar pandangan kearah, eh ternyata pada tempat yang sama seorang ibu-ibu yang sedang sibuk dengan handphone nya. Sengaja nama, rumah dan lokasi hotel saya tidak tidak sebutkan di sini atas dasar berbagai pertimbangan. Cukuplah ini sebagai pengalaman yang kesekian kalinya, untuk bahan pembelajaran untuk sedikit memahami titik hitam kecil pada semesta ini. Akhir kata, sekian dulu catatan ini.
0 on: "Dikuntit Arwah Cewek Korban Kecelakaan"