Akarasa - Selamat
datang kembali kerabat akarasa dan saya harap kalian tidak bosan berkunjung ke
sini. Judul di atas mungkin asing bagi Anda terlebih bukan orang Jawa. Bagi
masyarakat Jawa tidak asing dengan istilah ‘beleken’ ini. Saya tidak tahu apa
istilah di tempat asal Anda sekalian. 'Beleken'
adalah istilah penyakit salah satu panca indera manusia yang disebut
mata. Panca indera yang satu ini termasuk salah satu yang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan ini. Karena dengan matalah manusia bisa melihat isi serta
keindahan dunia. Disamping itu mata juga mempunyai berbagai misteri dengan
simbol kerlingan-kerlingannya. Banyak simbol yang bisa dilakukan oleh mata
sebagai alat komunikasi dengan manusia lainnya. Ada kerlingan, pelototan, lirikan,
pejaman, dan masih banyak lagi kode-kode isyarat yang bisa dilakukan oleh mata.
Namun ada satu kesamaan dari mata bagi siapa pun yaitu ‘beleken’.
Sebelum
saya bahas korelasinya tentang ‘beleken’ ini dengan para koruptor ada baiknya
kita samakan persepsi tentang ‘beleken’ itu sendiri. ‘beleken’ yang dimaksud
adalah sakit mata dengan berubahnya warna putih menjadi warna merah dengan
disertai cekot-cekot. Hampir setiap orang pernah merasakan apa yang disebut
beleke ini, terutama pada mereka yang banyak berkecimpung di sunia pekerjaan
dengan menggunakan mata sebagai salah satu asarana dalam bekerja. Sebut saja
misalnya, tukang las, tukang bubut, tukang komputer dan masih banyak lagi.
Kurang
tahu, penyakit ini akibat dari virus atau bukan. Tapi yang pasti penderitanya
selalu ingin memejamkan mata. Memang terasa sakit dan akan lebih sakit lagi
bila terkena atau kontak langsung dengan sinar atau cahaya, baik cahaya lampu
atau terlebih cahaya matahari. Selain merah dan sakit bila terkena cahaya, mata
beleken biasanya sering mengeluarkan ‘blobok’ (kotoran mata berwarna putih).
Biasanya belek ini bisa diobati dengan salep atau tetes mata yang terkadang
terasa pedih bila diobatkan.
Dari
sinilah korelasinya, keadaan semacam ini tak ubahnya seperti orang yang sangat
sulit untuk diajak menuju kebaikan. Kalau orang sudah terjangkit penyakit
beleken pada hati sanubarinya tentu tidak mudah menyadarkannya kembali. Dan
ini, sekarang ini malah justru banyak menjangkiti mereka-mereka yang duduk pada
kursi-kursi terhormat. Sehingga walau mengaku beragama namun
perbuatan-perbuatan yang melanggar norma dn kaidah hidup bermasyarakat tetap
saja dilakukan. Uniknya, mereka-mereka ini (baca, koruptor) dalam perbuatannya
terkesan tanpa ada beban sedikit pun.
Untuk
meyadarkan mereka-mereka yang beleken tentu bukan perkara mudah, tentu kita
tidak bisa secara langsung menyinari dengan cahaya terang, karena dengan begitu
mereka justru malah menutup matanya rapat-rapat. Oleh karenanya yang harus
ditanggulagi terlebih dahulu adalah mengobati terlebih dulu belek-nya. Baru
kemudian diberikan siraman cahaya keruhanian. Tak bisa langsung mereka ini
diberikan dalil-dalil Al-qur’an agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dilarang agama. Kalau ini dilakukan, bukannya mereka sadar dan
meninggalkannya.. alih-alih sadar, sudah untung kita tidak ditimpuki oleh
mereka.
Seperti
halnya belek pada mata, harus disembuhkan dulu belek-nya yaitu menghentikan
kebiasaan mabuk dan berjudi, baru kemudian diberikan pencerahan-pencerahan
secara ruhani. Untuk menghentikan itu banyak cara, misalnya saja dengan
memenjarakan mereka yang hobi demikian. Atau lebih bijaksana diberikan
kesibukan sehingga melupakan kegiatan itu. Dalam hal ini aparat harus tegas
dalam bersikap dan bertindak, dan bukan malah melindungi bandar-bandarnya!
Yang
menjadi ciri beleken adalah keluarnya blobok dikedua ujung mata, ini
mengisyaratkan dampak dari beleken ini adanya kejorokan atau kemproh. Sama
halnya dengan orang yang suka melakukan berbagai kemaksiatan, korupsi misalnya.
Memang secara lahiriah mereka yang melakukan korupsi adalah orang-orang yang
berpakaian necis dan perlente. Namun kalau kita mau serius memperhatikan,
dampak dari penggunaan uang hasil korupsi tersebut tentu mengarah ke hal-hal
yang berhubungan dengan kemaksiatan. Karena ada pepatah bahwa, “Hasil dari
perbuatan haram akan dipergunakan untuk perbuatan yang haram pula” menyuap sana
sini agar perbuatannya lepas dari jerat hukum, atau dengan kata lain “Barang
haram itu akan mencari temannya”. Penggunaan uang tersebut tentu ditutup-tutupi
agar jangan sampai orang lain tahu, karena kejorokannya inilah sehingga mereka
para koruptor sangat malu sekali bila ketahuan.
Maka
dari itu untuk mengatasi penyakit yang satu ini harus secara pribadi-pribadi,
tidak bisa secara masal dengan jalan peyelenggaraan pengajian-pengajian,
istighosah rame-rame, doa bersama, ruwatan masal atau kegiatan –kegiatan yang
bersifat seremonial belaka.
Dan
yang harus diketahui, beleken ini daya tularnya sangat cepat tidak mengenal
besar kecil atau tua muda, pokonya siapa saja yang berdekatan dan pernah beradu
pandang, Insya Allah akan ketularan. Pun demikian dengan kemaksiatan, kita
harus mampu membentengi diri dan keluarga untuk tidak dekat-dekat dengan
kemaksiatan, kalau tidak ingin tertular. Kalau ingin menyadarkan mereka yang
sudah trlanjur terjangkit belek, harus dicari sumber kemaksiatannya untuk
diobati dan diberantas, baru kemudian disinari dengan cahaya kerohanian yang
notabene adalah lentera kehidupan untuk menyongsong ajal tiba. Sehingga tidak
lagi adanya kondisi dimana pengajian semarak namun kemaksiatan tumbuh subur dan
mesra mendampinginya. Seperti beleken tertimpa cahaya, tentu akan memejamkan
mata rapat-rapat dan menghindarinya. Matur suwun dan wassalam…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus