Siang sedang terik-teriknya. Matahari sangat terasa
menyengat di kota Cirebon. Namun suasana itu tidak terasa di komplek Petilasan
Pangeran Cakrabuana dan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di
Pakungwati, Lemahwungkuk, Cirebon, Jawa Barat. Pohon beringin besar yang
menaungi hampir seluruh luas kompllek membuat lokasi ini terasa berhawa sejuk. Rimbunnya
daun beringin sanggup menahan sinar matahari secara langsung.
Pada tajuk napak tilas ini saya ingin mengajak
kerabat akarasa untuk menelisik peninggalan tonggak kebesaran Kesultanan
Cirebon. Sejarah Cirebon memang tidak akan pernah lepas Pangeran Cakrabuana
serta menantunya Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih kita kenal Sunan
Gunung Djati. Pangeran Sri Mangana Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Padjajaran Bogor, tercatat sebagai pendiri Kerajaan Pakungwati sekitar
tahun 1480 M. kedudukannya sebagai putra mahkota dan tumenggung di Cirebon tak
membuatnya ragu untuk memisahkan diri dari Kerajaan Padjajaran. Keputusan tersebut
di ambil agar beliau lebih leluasa mengembangkan agama islam dan sekaligus
terbebas dari pengaruh agama Hindu, agama resmi Kerajaan Padjajaran.
Nama pakungwati diambil dari nama Ratu Ayu
Pakungwati, putrid Pangeran Cakrabuana sendiri. Ratu Ayu Pakungwati menikah
dengan Syarif Hidayatullah, atau yang lebih popular dengan nama Sunan Gunung
Djati. Setelah Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Djati naik tahta pada
1483 M.
Selain sebagai seorang pemimpin yang disegani, Sunan
Gunung Djati juga dikenal sebagai ulama terkemuka di Cirebon. Pada 1568 M,
Sunan Gunung Djati wafat. Kemudian, posisinya digantikan oleh cucunya, Pangeran
Emas yang bergelar Panembahan Ratu. Pada masa Pangeran Emas, kerajaan Cirebon
membangun sebuah keratin yang cukup megah yang di beri nama Keraton Kasepuhan
dan sultannya bergelar Sultah Sepuh. Setelah menyatakan diri masuk Islam,
Pangeran Cakrabuana pun memiliki nama lain yakni H Abdullah Iman.
Setelah kerajaan Padjajaran runtuh, Cirebon tampil
sebagai kerajaan besar di Jawa Barat, karena Pangeran Cakrabuana merupakan anak
dari Prabu Siliwangi. Berkat jasa Pangeran Cakrabuana pula, Cirebon berhasil
menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Barat yang waktu itu masih menjadi bagian
dari Padjajaran, seperti Banten, Sumedanglarang, dan Galuh. Setelah Sunan
Gunung Djati dinikahkan dengan Pakukngwati anak dari Pangeran Cakrabuwana,
Cirebon semakin mengokohkan diri sebagai kerajaan Islam besar yang sama
kekuatannya dengan Demak. Kerajaan Padjajaran yang besar dan megah akhirnya
harus tunduk kepada Cirebon.
Nah, salah satu yang kini jadi perburuan para
pencari berkah kejayaan, kepangkatan dan kedudukan yakni petilasan Pangeran
Cakrabuana dan Sunan Gunung Djati yang lokasinya bersebelahan inilah yang kita
kunjungi saat ini. tempat ini dulunya diyakini sebagai lokasi beribadah kedua
tokoh Islam di ranah Cirebon. Di tempat ini pula, mertua dan menantu itu biasa
bertirakat. Selain petilasan, dilokasi ini juga terdapat Sumur Kejayaan yang
airnya diyakini mengandung berkah bagi siapa saja yang minum, mandi atau
mencuci muka dengan air itu.
Suasana tenang dan hawa sejuk yang terpancar dari
pohon beringin besar membuat siapa pun betah berlama-lama bertirakat di tempat
ini. Apalagi, dijamin tak akan ada sianar matahari yang memancar langsung ke
tempat ini. Sayangnya, bagi kerabat akarasa yang perempuan tidak diperkennkan
ke tempat ini. ketika saya tanyakan sama Pak Feri, beliau hanya mengatakan
memang begitu peraturannya.
Di petilasan ini, pada hari-hari tertentu, terutama
pada malam Jum’at Kliwon dan hari besar lainnya, tempat ini selalu ramai
dikunjungi peziarah. Waktu sudah menunuk sore, saatnya saya harus menyempatkan
ke Keraton Kanoman. Akhir kata, sekian dulu potret aksara di petilasan ini dan
sampai ketemu lagi pada tulisan selanjutnya. Semoga bermanfaa dan atur nuwun….
0 on: "Memburu Tuah Di Petilasan Keraton Pakungwati"