Bagi orang Jawa tradisi ruwatan memang sudah tidak asing. Tradisi yang
dalam adat jawa sering diartikan sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas
dosa atau kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan di dalam
hidupnya.
Menghilangkan sukerto dalam tradisi Jawa, atau yang lebih
dikenal dengan nama ruwatan merupakan salah satu cara
agar terhindar dari ketidakbaikan maupun keangkaramurkaan nafsu seseorang.
Tradisi yang sudah dikenal sejak nenek moyang suku bangsa jawa pada zaman
dahulu kala, bahkan sebelum masuknya agama di tanah jawa.
Seperti biasa, sebelum prosesi dimulai, disela-sela dalang
ruwat menyiapkan segala sesuatunya. Sempat saya berkenalan dan ngobrol-ngobrol
tentang ruwat itu sendiri. Menurut dalang tadi, ruwatan itu sarat dengan makna
kesadaran diri. Dan tradisi menghilangkan sengkolo dibagi menjadi dua bagian.
Dua bagian yang harus dimengerti dalam meleburkan sengkolo yaitu ruwatan dan
sukerto. Keduanya merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran
diri manusia kepada Sang Pencipta-nya.
Ruwatan, seperti yang diutarakan dalang ruwat diatas yang
merupakan bentuk acara tradisi kesadaran diri akan adanya Tuhan penguasa alam
semesta raya, kesadaran ini dalam falsafah jawa dikenal dengan nama “Eling Purwaning
Dumadi” sadar akan Sang Maha Esa, sadar akan adanya Sang Hyang Tunggal serta
selalu ingat Tuhan. Kehidupan manusia yang penuh dengan kesalahan, musibah
serta banyaknya problem nafsu dan masalah hidup lainnya harus disadari oleh
umat manusia.
Dalam cerita wayang yang akan ditampilkan yang mengambil
lakon Murwakalapa, yang isi pokoknya memuat masalah penyucian, yaitu pembebasan
dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti
:mengatasi atau menghindari suatu kesusahan batin dengan mengadakan pertunjukan
atau ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema Murwakala.
Seperti halnya ritual lainnya, Ruwatan juga membutuhkan
rangkaian sesaji, yang diantaranya; polo pendem, padi,tebu, dan masih banyak
sesaji lainnya yang merupakan hasil bumi serta sarat akan lambang kebajikan.
Salah satunya janur. Janur diartikan sebagai JA-Pengetahuan dan NUR-cahaya,
sehingga memiliki arti sebagai pencerahan sebuah cahaya. Selain janur terdapat
juga lilin dan dupa, lilin ini menggambarkan sebuah pengorbanan diri terhadap
orang lain, sedangkan dupa merupakan alat komunikasi keseluruh penjuru alam
semesta atau ‘bebrayan agung’. Komunikasi ini merupakan jembatan antara manusia
dan alam lain yang lebih universal.
Dalam ruwat yang pada saat upacara ruwatan hanyalah sebagai
seorang pemandu ritual, selain itu perannya pada saat upacara juga sebagai
seorang pemandu spiritual pada saat pembacaan ayat suci tentang asal usul
kehidupan umat manusia “sangkan paraning dumadi” dalam versi Jawa. Sedangkan mantram
(mantera doa) yang dibaca dalam upacara ritual ruwatan merupakan hasil
kesimpulan dialog budaya, Hindu,Budha, Jawa dan Islam.
Nah, tradisi ruwatan inilah yang kemudian oleh orang Jawa
dianggap sakral. Karena tidak sembarang orang bisa hadir dalam acara upacara
ruwatan yang salah satunya wanita hamil, sebab ini adalah pantangannya.
Ketika mencoba saya tanya lebih jauh tentang pantangan ini
dan efeknya, pasalnya, matera-mantera yang diucapkan dalam sebuah ruwata konon
mampu membuat moksa (hilang) janin wanita yang sedang hamil.
Saking sakralnya upacara ruwatan ini, mengaharuskan seorang
dalang ruwat dan beserta kru seluruhnya yang terlibat dalam prosesi ini
terlebih dahulu harus melakukan puasa ngebleng tidak makan besar selama prosesi
Ruwatan. Hal ini dilakukan untuk mejaga kesucian serta kesakralan upacara itu
sendiri agar tidak dihinggapi rasa nafsu yang berlebihan.
Jadi, seorang dalang ruwat di sini memiliki pakem spiritual
secara khusus. Terbukti, mantera-mantera yang diucapkannya memiliki
kedigdayaan, diantaranya matera yang dibacakannya mampu menghilangkan janin
yang sedang hamil seketika.
Selain daripada itu, dalam melakukan upacara pangruwatan
beberapa pantangan lain yang harus ditaati atau tidak boleh dilakukan ruwatan
adalah orang yang sedang datang bulan, orang yang sedang hamil muda kemudian
masa berkabung yang belum genap 7 hari. Hal ini harus ditaati agar tak berujung
pada kefatalan seseorang yang terkena mantram pangruwatan.
Demikian sekilas tentang ritual Ruwatan dan mitos yang
menyertainya. Entah benar atau tidaknya, semua kembali pada diri kita
masing-masing. Akhir kata sekian. Maturnuwun
0 on: "Mitos Dibalik Pertunjukan Wayang Ruwatan"