Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Bagi saya hidup adalah untaian cerita penuh makna yang abstrak.
Membias dalam keseharian di atas kanvas tanpa warna dasar. Perjalanan dalam
hidup manusia memang tak semua orang sama. Ada yang melewati perbukitan, ada pula
yang melewati jalur-jalur bebas hambatan. Tetapi dalam setiap detik di
perjalanan kita akan mendapat berbagai pengalaman, ilmu, serta banyak hal yang
tak mungkin kita dapatkan dalam ruangan.
Ketika mengunjugi situs sejarah makam
Troloyo ini, membuka kenangan saya saat
‘laku’ menjadi musafir tahun 1999 lalu sampai 2000. Menjadi musafir atau
pengembara yang melakukan perjalanan ziarah dari makam seorang wali ke makam
wali yang lain tak sedikitpun terlintas apada awalnya. Apalagi berjalan kaki.
Seorang diri dan yang pasti akan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sekurang-kurangnya
7 bulan dari Troloyo, Mojokerto, Jawa Timur hingga Makam Sunan Gunung Jati di
Cirebon, jawa Barat.
Mungkin bagi sebagian orang, laku
jalan kaki yang jaraknya ratusan kilometer tersebut adalah laku kesia-siaan
belaka. Bahkan dari keluarga sendiri pun mengatakan hal yang sama. Apa yang
saya cari? Jujur, menjawab hal ini saya sulit untuk menjelaskannya. Selain saya
sendiko dawuh atas saran guru spiritual saya, alasan secara pribadi bahkan saya
pun tidak ada. Barangkali ini adalah jalan yang dipilihkan Gusti Allah, pikir
saya ketika itu.
Ceritanya ketika itu saya mengalamai
sebuah cobaan yang berat, dan maaf tidak saya ceritakan disini, hingga membuat
saya limbung. Beruntung saat limbung tersebut saya bertemu dengan seseorang
yang mengerti tentang hakikat hidup dan akhirnya menjadi guru pembimbing saya.
Oleh guru saya tersebut, saya kemudian diminta untuk melakukan olah batin.
Dengan cara menjadi seorang musafir dan memasrahkan hidup, mati dan rejeki
semua semata-mata hanya padaNya.
Pertengahaan 1999 Sesuai dengan
perintah guru, saya mengawali menjadi seorang musafir di Makam Troloyo,
Mojokerto, yang dikenal sebagai makam wali pertama, yaitu Syekh Jumadil Kubro
dan saya teruskan ke Makam Sunan Ampel, Surabaya dan berakhir di Makam Sunan
Gunung Jati di Cirebon.
Bagi saya, musafir saya maknai sebagai
orang yang suka berjalan dan suka mampir. Berjalan sambil berpikir dan
berdzikir untuk mengenang masa akhir. Bahkan ada guyonan dengan saudara sesama
musafir yang sempat ketemu di Makam Troloyo ini beberapa waktu yang lalu, kalau
saya sudah menggondol gelar SARKUB (sarjana kuburan).
Sarapan tak enak sudah menjadi sarapan
pagi, sore, dan malam bagi seorang musafir. Mulai dari menahan lapar dan
dahaga, samapi diejek orang lain sebagai gelandangan. Diejek gelandangan karena
ada beberapa saudara musafir yang terpaksa mengais sisa-sisa makanan di
warung-warung saking tidak tahannya menahan lapar.
Kami atau biasanya seorang musafir
dilarang untuk meminta-minta, tapi kalau diberi ya diterima dengan senan hati.
Karena meman berpasrah masalah makan padaNya. Ketika ada tawaran dari orang
lain itulah cara Allah memberikan rizkiNya pada kami memalaui si pemeberi
tersebut. Tinggal kita terima atau tidak. Lapar, dahaga, dan ejekan orang, mau
tidak mau, suka tidak suka harus saya terima dengan lapang dada, karena tujuan
menjadi seorang musafir adalah untuk melatih kesabaran dan hidup prihatin.
Untunglah, sepenjang 7 bulan tersebut
ketika menjalani laku sebagai seorang musafir saya tidak pernah mengais makaan
sisa di warung-warung atau tempat sampah. Sesuai anjuran guru bahwasanya
jangan cemaskan rizki itu selalu saya
pegang teguh. Meski ada bebarapa kali 2 atau 3 hari tidak makan. Namun, saya
lebih banyak menemukan banyak keajaiban tentang rizki yang berbentuk makanan
ini. Ada saja orang yang bermurah hati memberikan makanan pada waktu itu.
Pernah juga ada kejadian yang kurang
mengenakkan di daerah Demak, Jawa Tengah, waktu itu saya seperjalan dengan
sesama musafir dari Banyuwangi, kami berdua disangka sebagai maling karena
daerah yang baru kami lalui baru saja kemalingan. Kami sempat dikeler di
mapolsek setempat setelah sebelumnya kami sempat di pukuli untuk mengaku sebagai
maling. Setelah kami disidik dan tidak terbukti apapun akhirnya kami
dilepaskan.
Saya yakin, sampeyan pernah melihat
orang yang berjalan gontai, menerobos terik di siang bolong dengan tampilan
bertopi caping ala petani dan membawa tongkat itulah musafir. Apalagi ada di
jalur yang menghubungkan makam para wali. Jangan berharap mereka mau di ajak
untuk menumpang kendaraan. Mereka tidak akan mau. Tapi alangkah sangat bijak
ketika sampeyan berziaah ke makam para wali dan bertemu dengan mereka ajaklah
dia makan. Karena mereka tidak akan pernah meminta-minta. Dan barangkali juga
sebagian rizki untuk makan mereka di titipkan pada sampeyan semua.
Apa hikmah yang saya petik dari sebuah
rangkaian perjalanan kaki yang jauh ini, atau konteks lebih luasnya. Secara pribadi,
bagi saya kehidupan adalah secarik perjalanan, bukan tujuan. Hidup hanyalah jembatan
yang dibangun oleh-Nya dan diciptakan untuk diwarnai seindah mungkin oleh kita,
bahkan lebih indah dari warna pelangi yang pernah ada. Memang tak semudah
mewarnai gambar di atas secarik kertas, namun bukankah Tuhan telah anugrahkan
sempurnanya akal untuk berpikir dan mencerna bagi manusia sebagai mahluk yang
paling mulia diantara mahluk lainnya?
Terus belajar dan berlatih mewarnai
langit yang menaungi hari-hari dengan keindahan adalah pembelajaran hidup yang
panjang tanpa ujung. Sesekali berhenti untuk menghela nafas dari hiruk pikuk
dan hingar bingar dunia yang semakin liar tak terkendali. Sesekali mellihat ke
belakang untuk menangkap sesuatu yang pernah berarti di masa lalu atau
mengenang kebahagiaan sebagai infus hari-hari yang terasa semakin berat seiring
bertambahnya usia. Tetapi jangan pernah berhenti untuk terus bermimpi tentang
perbaikan kehidupan kita di masa yang akan datang.
Selalu bersyukur atas kehidupan yang
Tuhan pilihkan untuk kita adalah salah satu upaya menciptakan keindahan dalam hidup
kita. Yakinkan diri dan hati agar tak pernah berhenti berharap bahwa suatu saat
nanti setiap jiwa yang hidup Insya Allah akan menemukan sebuah jawaban yang
indah pada akhirnya atas perjalanan panjang penuh tanda tanya ini. Tetap
semangat, jangan menyerah dan selalu berbaik sangkalah kepada-Nya sebagai
satu-satunya pemilik takdir hidup kita.
Sepahit obat atau semanis gula, hidup
tetaplah menjadi sebuah perjalanan yang mesti kita tempuh tanpa bisa kita
menawarnya. Apapun yang akan terjadi di masa depan, tetaplah optimis. Walaupun
pada kenyataannya untuk sedetik ke depan, Tuhan tetap saja membiarkan lika liku
jalan kehidupan menjadi misterius bagi kita semua. Sekian dan semoga ada
manfaatnya. (Urd2210).
Ngedom dan ngutis kang...salam seperjalanan kenangan...
BalasHapusSalam sakwangsule kang...
HapusBarokah josss kang
BalasHapusAlam ada lah nur muhammad
Sejatinya laku adalah menajamkan nur muhammad diri dan khowwas kepada sang Khaliq allah azza wajalla