Akarasa - Lapindo. Saya
yakin semua kerabat akarasa tidak asing dengan tempat ini, atau bahkan pernah
mengunjungi lokasi samudera lumpur yang
tek henti-hentinya keluar dari perut bumi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur ini. Dan ternyata lumpur Lapindo ini
mempunyai saudara tua. Penasaran, mau tahu dimana lokasi saudara tuanya?
Bledug Kuwu.
Itulah saudara tua lumpur Lapindo. Bledug Kuwu memang terdengar sedikit asing
dibanding lumpur Lapindo meski keberadaannya lebih tua, bahkan karena sangat
tuanya hingga saat terjadinya pun tidak ada yang tahu persisnya. Bledug Kuwu
ini terletak di desa Kuwu
Kecamatan Kradenan , Grobogan,
Jawa Tengah. Obyek wisata Bledug Kuwu merupakan pesona keindahan alam. Keanehan
yang ada di obyek wisata ini adalahadanya letupan-letupan lumpur yang airnya
mengandung garam dan itu berlangsung terus menerus sehingga menimbulkan
pemandangan alam yang sangat menakjubkan, padahal secara geologis lokasi Bledug
Kuwu ini cukup jauh dari laut.
Konon menurut cerita
rakyat, keanehan itu disebabkan adanya lubang yang menghubungkan tempat itu dengan laut selatan. Lubang itu
sendiri terjadi dari perjalanan pulang Joko Linglung dari laut selatan menuju
kerajaan Medang Kamolan, setelah melaksanakan tugasnya untuk menaklukkan Prabu
Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya
putih di laut selatan. Dan hal itu dilakukan Joko Linglung yang berujud
ular naga sebagai syarat agar Joko Linglung diakui sebagai anaknya Aji Saka
yang sebagai raja Medang Kamulan ketika itu.
Dari seorang
kuncen yang saya temui. Konon dahulu di kerajaan Medang Kamulan dikuasai oleh
seorang raja bernama Prabu Dewata Cengkar. Dia adalah sosok raja yang sombong,
serakah dan ditakuti. Ia juga dikenal sebagai raja yang tidak bisa mati,
sehingga tidak pernah kalah kala bertarung melawan musuh-musuhnya. Ia juga
sering menarik upeti kepada rakyat semaunya. Jika ada yang membangkang,
langsung dibunuh.
Apabila ada
prajurit yang tidak taat, langsung dipecat bahkan hingga dihukum mati. Konon,
Dewata Cengkar mempunyai ritual meminum darah manusia. Kesaktian raja itu
menyebabkan dirinya tidak bisa terbunuh atau mati. Namun akhirnya datanglah
seorang tokoh ksatria dari negeri Tibet bernama Aji Saka. Di tangan Aji Saka
lah Dewata Cengkar kuwalahan soal kadigdayan. Terjadi pertarungan hingga
akhirnya Dewata Cengkar kalah. Meski demikian, pertarungan itu tidak
menyebabkan raja tersebut terbunuh, dia hanya kalah bertarung. Cengkar kemudian
melarikan diri ke laut selatan dan malih rupa menjadi bajul putih atau buaya
putih. Aji Saka kemudian mengutus anaknya bernama Jaka Linglung, untuk
mengejarnya ke laut selatan.
Jaka Linglung
sendiri konon adalah merupakan sosok lelaki yang sakti mandraguna, namun ia
mempunyai fisik buruk rupa dan mengerikan. Kepercayaan masyarakat sekitar, Jaka
Linglung digambarkan sebagai ular naga raksasa. Sebelum berangkat ke laut
selatan, Jaka diberi pesan oleh ayahnya. Jika menang melawan Bajul Putih, ia
tidak diperbolehkan pulang melalui jalur darat, melainkan harus melalui perut
bumi.
Mengapa lewat
jalur bawah tanah? Karena, fisik Jaka Linglung supaya tidak dilihat oleh
masyarakat, sebab jika melihatnya, dikhawatirkan akan menjadi bahan
pergunjingan masyarakat. Terlebih fisiknya yang menakutkan. Bajul Putih pun
akhirnya berhasil dibunuh oleh Jaka Linglung dalam pertarungan di laut selatan.
Jaka pun kemudian pulang sebagaimana pesan ayahnya, yakni melalui jalur bawah
tanah. Begitu keluar, ia menyembul di daratan Desa Kuwu ini.
Kubangan lubang
tanah yang menyemburkan lumpur di lahan tanah tak kurang sekitar 40 hektar di
Desa Kuwu inilah yang kemudian dipercaya sebagai tapak tilas makhluk mengerikan
berwujud ular naga raksasa yang heroik tersebut mencari lokasi kerajaan
bapaknya. Itulah sebab mengapa masyarakat sekitar percaya bahwa lubang di
Bledug Kuwu itu terhubung dengan laut selatan, sehingga air semburan itu berasa
asin.
Masih menurut
cerita kuncen, Lapindo di Porong, Sidoarjo dan yang dua tahun lalu muncul juga
di desa Mbetatu, Kabupaten Gresik adalah tempat Joko Linglung tersesat mencari
bapaknya, Aji Saka. Menurut pak kuncen ada kesamaan dengan tempat ini, airnya
sama-sama asin.
Adanya kandungan
garam ditempat itu
oleh masyarakat setempat
dimanfaatkan untuk membuat
garam secara tradisional
dengan cara airnya dikeringkan di glagah (bambu yang dibelah jadi dua).
Ada juga yang membawa lumpur Bledug Kuwu untuk dibawa pulang dan konon lumpur
itu buat lulur di kulit agar kulit terhindar dari penyakit kulit juga diyakini
bisa membuat lebih cemerlang bagi kulit yang sudah sehat.
Dan yang menatik
lagi, bahkan letupan di Bledug Kuwu ini juga punya nama masing-masing. Letupan
terbesar Bledug Kuwu dinamai Joko Tuwo. Dia meledak secara berkala sekira 15
detik sekali dengan bunyi “Bledug” seperti namanya kini. Lemparan lumpur sekira
5-10 meter ke udara dan jatuh ke tanah sekira 10 meter. Sementara letupan
terkecil disebut Roro Denok, bunyinya lebih lemah. Kapasitas lemparan ke udara
hanya 1-2 meter ke udara. Frekuensi letusan Joko Tuwo 4-5 kali per menit.
Sementara letusan kecil mencapai 10 kali lebih per menit. Kerabat akarasa
penasaran pada saudara tua Lapindo, datang saja ke Bledug Kuwu. Sekian…
0 on: "Cerita Legenda Jaka Linglung dan Bledug Kuwu"