Kalau kerabat akarasa
kebetulan berkunjung ke Tuban, dan terlebih juga sedang wisata religi. Jangan lupa berziarah ke makam Sunan
Bejagung. Memang, tidak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi jangan salah, selain
ramai dikunjungi, terlebih pada Jum’at Wage, makam ini juga dianggap bisa
mendatangkan berkah.
Konon, pada era imperalisme Eropa di Tanah Jawa, tak ada
satupun orang-orang dari belahan dunia barat itu yang bisa memasuki kawasan
Makam Modin Asngari di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding ini.
Dalam riwayatnya wilayah
Bejagung pun tidak pernah terjamah penjajahan Belanda. Bahkan hingga masa clash
II tahun 1948, keramat Tanah Bejagung masih bertahan. Tentara NICA yang
mendarat di pantai Glondonggede dan berhasil menguasai kota Tuban, tetap tak
mampu menjamah Bejagung. Bejagung pun tetap menjadi wilayah aman bagi para
pengungsi dan pejuang.
Kembali pada sosok
Sunan Bejagung, Saat itu Islam baru memulai perkembangannya di Jawa. Syaikh
Abdullah Imamuhdin Asy’ari bersama kakaknya, Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy,
memutuskan menetap di wilayah Tuban dan menjadikan kadipaten terkemuka
Majapahit ini sebagai pusat pengembangan dakwah Islam ke seluruh Jawa dan
Nusantara. Syaikh Ibrahim Ash-Shamarqandy atau sering disebut Brahim Asmoro,
memilih Desa Kradenan yang berada di pesisir timur kotaraja Tuban sebagai
tempat bermukimnya, sementara Syaikh Abdullah Imammuhdin Asy’ari memilih tempat
di dekat kotaraja Kadipaten Tuban, Mojoagung.
Nama Mojoagung
sendiri konon berawal dari peristiwa datangnya Patih Barat Ketigo, utusan Majapahit
untuk menguji ilmu Syaikh Imammuhdin Asy’ari. Harapannya, jika Syaikh Imamuhdin
Asy’ari bisa dikalahkan, usaha dakwahnya yang dipandang mengancam pemerintahan
Hindu Majapahit bisa dihambat, atau bahkan dihentikan sama sekali. Patih Barat
Ketigo merasa haus kala itu. Ia mendekati sebatang pohon kelapa dan dengan
sekali goyang semua buah kelapa berjatuhan di tanah. Tapi ia harus merasa malu
karena Syaikh Imamuhdin Asy’ari dengan kesaktiannya mampu merundukkan pohon
kelapa dan memetik sebuah saja tanpa menjatuhkan buah lainnya.
Tak hanya itu, Syaikh Imamuhdin Asy’ari menasehati Barat Ketigo agar jangan tamak. Perut manusia hanya cukup diisi air sebanyak buah maja, tidak harus menjatuhkan seluruh buah kelapa. Syaikh Asy’ari kemudian mengambil sebutir buah maja seukuran bola tenis, lalu mengisinya dengan air. Anehnya, kendati telah diminum berkali-kali hingga perut Barat Ketigo kekenyangan, air dalam buah maja itu tak juga tandas.
Akhirnya, Barat Ketigo menyatakan kalah dan mengakui ketinggian ilmu Syaikh Asy’ari, lalu pulang ke Majapahit. Ia lalu menetapkan tempat tersebut dengan nama Mojoagung. Lambat laun karena pelafalan dari Mojogung, Mejagung, terus berubah menjadi Mbejagung sampai sekarang ini.
Tetapi kepulangan
Barat Ketigo dengan tangan hampa itu justru membuat Raja Majapahit marah besar.
Mojogung atau Mbejagung tempat “pesantren” Syaikh Imamuhdin Asy’ari pun
digempur dengan ratusan prajurit dengan mengedarai gajah. Mengetahui hal itu,
Syaikh Imamuhdin Asy’ari mengambil sebatang ranting pohon dan membuat garis
melingkari wilayah pesantrennya.
Atas karomah yang dimilikinya, pasukan bergajah Majapahit menjadi tidak melihat apa-apa saat mendekati Bejagung. Bahkan mereka bersama gajahnya mendadak menjadi batu karena ucapan Syaikh Asy’ari saat menenangkan santri-santrinya yang ketakutan. Dan memang di selatan Pesarean Bejagung ini ada tempat namanya Watu gGjah. Batu-batunya memang sangat mirip barisan gajah.
Seperti lazimnya makam para wali
lainnya, salah satu kekaromahan Sunan Bejagung ini yakni adanya sebuah sumur
giling yang digali sendiri oleh Sunan yang terletak di sebelah utara komplek
makam. Sumur berbentuk persegi yang dipercaya sebagai salah satu maha karya
Sunan Bejagung ini airnya tak pernah kering sepanjang musim bahkan saat musim
kemarau terparah sekalipun. Untuk menaikkan air dari sumur ini, dibuat
kumparan besar dari kayu yang diletakkan melintang di atas sumur. Kumparan itu
dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk diputar. Dengan kedalaman 62 meter,
bisa dibayangkan betapa sulitnya menaikkan air dengan katrol kecil.
Karena cara pengambilan air yang
menggunakan kumparan kayu besar (gilingan). Seperti pemintal benang yang
banyak digunakan para pengrajin batik gedog dari
Kecamatan Kerek, Tuban. Maka sumur hasil karya Syeikh Asy’ari tersebut kemudian
dinamakan sumur Giling.
Bagi masyarakat Tuban, terutama yang
tinggal di wilayah Kecamatan Semanding, Sumur Giling tak ubahnya sumur zam-zam
yang ada di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Menurut keyakinan masyarakat
setempat, air sumur sedalam 62 meter tersebut memiliki berjuta karamah atau
kasiat. Keyakinan itulah yang mengundang banyak orang berbondong-bondong datang
ke situs makam salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa ini. Kendati tidak
masuk dalam daftar anggota Wali Songo, makam Sunan Bejagung tetap disejajarkan dengan
para wali lainnya.
Menurut cerita tutur yang berkembang
di masyarakat, pembuatan sumur tersebut dilakukan hanya butuh waktu satu
hari satu malam. Banyak orang percaya air Sumur Giling Sunan Bejagung
mengandung energi luar biasa. Lantaran berada pada kedalaman 62 meter di bawah
tanah diyakini mampu membuat badan lebih sehat.
Terlepas dari semua mitos tersebut,
sumur giling tua peninggalan Sunan Bejagung itu menjadi bukti yang masih
tersisa dari peradaban masa lalu bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman Majapahit,
bangsa ini telah mengenal tehnologi pengeboran, hal itu tidak bisa
terbantahkan dengan bukti-bukti yang masih ada seperti Sumur Giling Sunan
Bejagung tersebut. Sekian dulu napak tilas kita kali ini, sampai ketemu pada
tulisan yang lain selanjutnya. Sebagai apresiasi dari sebuah tulisan saya
sangat berterima kasih jika kerabat akarasa meninggalkan komentar di bawah
tulisan ini. Maturnuwun…
0 on: "Keramat Sunan Bejagung Tuban"