Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Laku prihatin adalah kata yang saya percaya akrab diindera
dengar setiap kita. Kalau boleh jujur meski saya mengakrabinya tetap saja saya
masih ‘mumet’ memaknainya. Setelah sekian lama, dari beberapa pembimbing
spirirual yang saya ‘ngangsu kaweruh’
barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing
batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja,
karena batin (jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau kita sendiri) memuaskan
hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang
keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya.
Apalagi untuk urusan
“under ground stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan
nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai
ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu ).
Sebagai rambu-rambu agar supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas
kewajaran. Jadi, garis besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar
badan/jasad ini selalu berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati
(kareping rahsa sejati) yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada
kodrat Tuhan).
Sehingga kecenderungan
nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat negatif nuruti
rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan kepada kesucian sang
guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang selalu berkeinginan baik
(an nafsul mutmainah). Nah, “kekalahan” jasad (bumi) atas jiwa yang suci ini
seringkali terasa pedih/gundah/marah di dalam kalbu.
Karena banyaknya
pertanyaan mengenai tata cara atau apa yang harus ditempuh dalam mengawali
sebuah perjalanan spiritual (laku prihatin) untuk menggapai tataran kesejatian,
maka pada kesempatan ini saya akan ulas sebatas pengetahuan melalui tulisan
yang lumayan panjang ini. Sebelumnya, untuk sekedar dipahami kerabat akarasa
ulasan dalam bentuk tulisan di sini, semua semata-mata atas dasar yang saya
pahami saja, dan saya yakin masih banyak kekuarangannya. Saya harap dimaklumi.
Bagi kerabata akarasa
yang budiman yang menanyakan bagaimana memulai sebuah “laku” prihatin untuk
menggapai spiritualitas sejati, berikut ini yang dapat ulas secara sederhana
semoga tata bahasa saya mudah dipahami.
Sekedar contoh langkah-langkah yang saya lakukan selama ini untuk
memahami kehidupan sejati dan selanjutnya kalau sudah pada tataran yang
sempurna Insya Allah kita akan menggapai kemuliaan hidup. Terdiri dari 5 jurus
atau empat tahapan yakni;
Nol adalah nihil.
Substansi nihil di sini berarti belum ada manifestasi perbuatan konkrit. Masih berupa niat; niat ada dua level yakni;
Niat Demi Tuhan, dan Niat Ingsun. Yang pertama
menyiratkan pemahaman saya yang belum utuh akan jati diri. Setiap mengikrarkan Demi Tuhan; saya
terbayang bahwa perbuatan baik saya tujukan kepada Tuhan, dengan membayangkan
Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi kemudian dalam
perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa saya lebih merasa
mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun lebih pas, karena
bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita?
Tuhan (Sifat hakekat)
berada dalam JATI DIRI (sifat zat). Maka Ingsun bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku
atau Ingsun” merupakan hakekat Tuhan (sifat zat) dalam diri. Aku (manusia)
melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan di dalam makhlukNya). Saya
temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada sesama itu tidak lain
memposisikan diri kita pada jalur “kodrat” Ilahi. Jelasnya menurut pemahaman
saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki makna; sebuah ucapan yang keluar dari
hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.
1. Membersihkan hati;
dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang
buruk dan tidak menyenangkan, tetapi selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai
diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung
merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun
mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal, banyak membantu, merasa
sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan
sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung
musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya sebagai cobaan bagi orang-orang beriman. Ini
menjadi suatu “kelucuan” hidup yang
sering tidak kita sadari.
2. Berusaha setiap
saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama. Dalam terminologi ajaran Jawa
disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4 cara dan tingkatan; yakni
(1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah tutur kata/nasehat yg baik dan
menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga, (4) dhonodriyah harta. Yang terakhir
inilah yang paling sulit dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita lakukan semua kebaikan kepada sesama dengan
tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam
membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.
3. Belajar tulus dan
ikhlas sepanjang masa. Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yang sempurna.
Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu
buang air besar. Kita enggan menoleh,
bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas.
Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian
hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta
paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak
lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil
kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu
sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.
4. Meghilangkan sikap
ke-aku-an (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari
menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian
badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur)
menjadi semakin terang dalam kehidupan.
5. Perbanyak
bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum
memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap
detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali
lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah
mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya
dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri
kita agar selalu membiasakan bersukur
TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.
Dalam setiap melakukan
amal baik kepada sesama, kita “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan
dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan orang, maka kita
hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan
menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan kamulyan
sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan
berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang,
selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan
semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima. Semoga!
Maturnuwun..
0 on: "Laku Prihatin, Perih Ing Batin"