Saya yakin semua kerabat akarasa semua tahu Masjid
Agung Demak. Satu masjid yang diyakini sebagai masjid tertua di Indonesia. Seperti
umumnya masjid mahakarya waliyullah yang selalu punya keunikan tersendiri, di
masjid ini pun demikian. Keunikan yang paling menonjol adalah adanya tiang yang
terbuat dari tatal yang di susun oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Selain itu,
adanya Lawang Bledeg peninggalan Ki Ageng Selo.
Pada kesempatan ini kita kesampingkan sejenak
sejarah berdirinya Masjid Agung Demak dan Soko Tatal tersebut. Namun, mengenal Ki
Ageng Selo yang mewariskan Lawang Bledeg di Masjid Agung Demak tersebut.
Menurut
silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau
moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya.
Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII
(Surakarta).
Menurut cerita Babad
Tanah Jawi, Prabu Brawijaya terakhir
beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng
yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dinikahkan dengan putri Ki Ageng
Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari
pernikahan Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya
di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling
sulung Ki Ageng Selo. Tokoh yang akan kita kenal ini.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung
sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil
sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir
yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
Kisah ini terjadi pada jaman ketika
Sultan Demak Trenggana masih hidup. Syahdan pada suatu sore sekitar waktu
ashar, Ki Ageng Sela sedang mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda
hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir
datang menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah
karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru
sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng Selo.
Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun, ia tetap
berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir berhasil
ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang
dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap kesaktian Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo tidak boleh diberi air.
Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan orang kecil-- datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder (penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin melihat petirnya Ki Ageng.
Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa) lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung istana tempat menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah “petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang lenyap.
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut nama Ki Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar. Akhir kata, sekian dulu napak tilas kita dan sampai ketemu lagi pada tulisan selanjutnya. Maturnuwun…
Leluhur
BalasHapus