Selamat datang
kerabat akarasa yang setia berkunjung disini. Ada satu kata yang menyita
pikiran saya beberapa hari ini karena ada beberapa email yang masuk yang isinya
menanyakan tentang kesaktian. Saya katakan menarik hingga menyita pikiran
karena sakti atau kesaktian itu kaitan yang bagaimana, apakah kita harus kebal
senjata api dan tidak mempan oleh senjata tajam? Terlebih sakti atau kesaktian
yang bekaitan erat dengan olah spiritual.
Saya rasa, kesimpulan
dari semua itu terlebih tentang olah laku spiritual atau mistik Kejawen
merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku mistik
merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada
Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan kehendak
Tuhan (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah kepada Tuhan
YME. Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati mistik
Kejawen.
Muara dari perjalanan
spiritual pelaku mistik Kejawen, tidak lain untuk menemukan “lautan” rahmat
Tuhan, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning atunggil
(dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Meraih nibbana
menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul wujud. Dengan pencapaian
pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan batin sekalipun menghadapai
situasi dan kondisi yang sangat gawat.
Ini kenapa? Karena
antara manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta terjadi titik
temu yang harmonis. Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energi
Tuhan, menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau diistilahkan
sebagai sesotya manjing embanan, ing
batin amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandaikan Tuhan
bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan.
Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia. Tuhan yang bersemayam di dalam
batin (immanen), melimputi seluruh yang ada “being” di dunia ini. Jika manusia
berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang sakti mandraguna.
Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan rapal wirid
semalam suntuk, atau membeli dengan mahar.
Namun kesaktian itu
diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu
manembah dalam setiap perbuatannya. Ciri khas orang yang kesaktiannya berkat
manembah (kesaktian sejati) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya
selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas
tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti
hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu
lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh,
dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih kasih. Saya rasa
itulah sakti mandraguna yang sesungguhnya. Maturnuwun..
terima kasih sudah memberi pencerahan yang bagus buat kita-kita yang masih belum mengerti tentang kejawen
BalasHapus