Kerabat
akarasa jika kebetulan warga Tuban tentu tidak asing dengan Sandur. Meski belum
pernah melihat pertunukkannya minimal tidak asing dengan nama yang saya sebut
di atas. Kerabat akarasa yang kebetulan generasinya di bawah saya bisa jadi
asing terhadap kesenian yang satu ini. Padahal pada pertengahan tahun 80-an
kesenian ini sangat eksis dan masih sering tampil. Saya tidak tahu apakah Sandur
yang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional kerakyatan ini masih
eksis dan terpelihara, karena kelompok seni yang ada di desa saya sudah tidak
ada. Semoga di lain daerah masih ada dan tetap eksis.
Kesenian
tradisional Sandur ini pada masanya dipercayai mempunyai kekuatan magis bagi
masyarakat pendukungnya, saya masih ingat sekali kita yang sebagai penonton
yang masih anak-anak akan dilaburi dengan kembang boreh agar terhindar dari
tolak bala dari gaib yang ikut dalam pertunjukkan tersebut. Konon kesenian ini dalam proses lahirnya pada masa
penjajahan Belanda.
Saat
ini Sandur termasuk kesenian tradisional kerakyatan yang langka, bahkan dapat dikatakan
hampir punah, bisa jadi karena minimnya durasi pementasan kesenian tersebut. Sandu
memang tidak identik sekali dengan Tuban. Sandur juga terdapat di daerah-daerah
lain, seperti daerah Bojonegoro, Probolinggo, Pamekasan, Bangkalan, Jombang,
Surabaya, Tuban dan Lamongan. Secara pragmatis menurut saya, dewasa ini di
daerah, daerah yang saya sebutkan di atas, hampir tidak pernah ada durasi
pementasan kesenian Sandur tersebut. Jika dimungkinkan ada, maka durasinya
sangat kecil bila dibandingkan dengan daerah Lamongan yang katanya masih eksis hingga saat ini.
Kesenian
Sandur di Tuban mempunyai kesamaan dengan kesenian Sandur yang ada di daerah
Lamongan dan Bojonegoro. Kata Sandur berawal dari sebuah anekdot “Seni Sandur
Saya Mundur”. Dengan kata lain bahwa Sandur berasal dari kata mesisan ngedur atau beksan mundur,
karena sandur dipentaskan semalam ngedur (semalam suntuk).
Membicarakan
kesenian tradisional kerakyatan yang berupa kesenian Sandur ini seolah mengajak
kita memasuki lorong gelap sejarah kesenian yang berbasis sinkretisme ini.
Kesenian yang terminologinya lahir di tengah masyarakat agraris yang hampir
punah keberadaan dan eksistensinya. Sehingga perangkat dan materi
pertunjukannya banyak menyimbolkan idiom-idiom pertanian. Misalnya dalam
dialog, pertunjukan sandur tema cerita yang diangkat bertemakan sawah, ladang
dan kehidupan para petani yang ada di pedesaan.
Sebelum
kesenian ini dipentaskan, biasanya diadakan upacara ritual terlebih dahulu.
Peristiwa tersebut merupakan bagian awal pertunjukan atau pementasan, dengan
kata lain ritual tersebut merupakan suatu bentuk mensucikan semua perangkat
pertunjukan yang berupa jaran kepang (kuda kepang), cemeti atau cambuk (bahasa
jawa: pecut), instrumen musiknya berupa: gendang, jidor, cimplungan, tamborin,
dan gamelan jawa diantaranya: kenong, kempol, gambang kayu, saron demung, saron
barong, pun perangkat lainnya. Biasanya pencucian tersebut dilakukan tujuh hari
sebelum pertunjukan, dan dilakukan di tempat yang dianggap keramat atau yang
dikeramatkan atau di punden.
Sebelum
pementasan berlangsung, diawali prosesi ritual dengan pembakaran kemenyan atau
dupa yang dilakukan seorang germo (pawang) Sandur. Dalam adegan tersebut
disertai mulut komat-kamit, tidak lain memberikan mantra pada alat-alat yang
digunakan pada pementasan sandur tersebut, seperti barong, kuda kepang, cemeti
dan alat lainnya, disamping ritual tujuh hari sebelum pertunjukan. Kemudian
dilanjutkan berbagai tembang-tembangan diantaranya: tembang kembang lombok,
kembang ganggeng, kembang wijen, kembang glonggong, kembang girang, kembang
klopo, kembang lampes, kembang jeruk, kembang putat, kembang pucang, dan
lain-lainnya, yang kesemuanya berfungsi meminta bantuan para roh penunggu desa
guna terselenggara dan suksesnya pertunjukan kesenian tersebut.
Kesenian
yang berbau magis ini biasanya ditanah lapang atau bekas sawah yang telah di
panen. Di beri pembatas sedemikian rupa yang berbentuk segi empat, tiap
sudutnya diberi tiang pancang. Dan tiap-tiap tiang pancang tersebut diberi
sesaji yang berupa kupat, lepet, janur kuning dan kembang wangi, khusus untuk
kembang wangi dan kemenyan ditempatkan di sudut bagian Timur Laut (Jawa; pojok
lor wetan) atau posisinya sebelah kanan pada waktu pertunjukan serta diberi
tambang sebagai pembatas antara penonton dengan arena pertunjukan.
Kesenian
Sandur selain menggunakan gerak (tari) juga menggunakan dialog yang menggunakan
bahasa Jawa campuran (bahasa Jawa: ngoko dan kromo), disamping itu juga
menggunakan tetembangan (nyanyian Jawa). Pertunjukan sandur ini diawali dengan
sebuah prolog yang dilakukan salah satu wiyogo (pemukul gamelan atau panjak)
sebagai narator terhadap tema yang akan dipentaskan, dilanjutkan dengan adegan
tari jaranan yaitu sebuah tari yang intinya hanya sebagai pengisi waktu
menunggu cerita inti Sandur. Tarian tersebut juaa diiringi dengan
tembang-tembangan.
Adegan
ini dilakukan oleh dua orang laki-laki hingga ada yang sampai trance atau
kesurupan, adegan macam inilah biasanya yang ditunggu-tunggu masyarakat
pendukungnya. Setelah permainan tari jaranan (kuda kepang) selasai dilanjutkan
adegan yang disebut pentolan, sebuah adegan yang berisi lelucon. Usai adegan
pentolan barulah memasuki acara utama sandur. Uniknya kesenian Sandur ini,
disamping bagi sarana hiburan masyarakat pedesaan juga sebagai sarana terapi
berbagai penyakit atau tolak balak pada pagebluk.
Cerita
pertunjukan Sandur tersebut menggambarkan seorang pengembara mencarai
pekerjaan, yang diperankan oleh tokoh Balong dan Pethak. Dalam pengembaraanya,
kedua tokoh tersebut bertemu seseorang tokoh petani tulen, yang bernama Pak
Empang, dan sekaligus dijadikan anak, di lanjutkan dengan membuka lahan,
menanam, hingga proses memetik hasilnya (panen), diselingi acara ritual
khitanan tokoh Pethak dan perkawinan pada tokoh Balong serta mendatangkan
kesenian yang berupa seni tayub sebagai hiburan.
Puncak acara ini dilakukan pada tengah malam dengan atraksi kalongking yaitu seorang pemain berjalan diatas tambang dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah, kedua ujung tambang diikat pada batang bambu yang di tancap di tengah-tengah lapangan. Ketika berada di tengah tambang pelaku kalongking langsung melakukan tapa kalong dengan posisi kepala di bawah dengan kaki mengait tambang. Kini Sandur memang “kalah” berkontes dengan berbagai ragam kesenian lain di Tuban, seperti Sindir (tayub), ketoprak, lebih-lebih dengan kesenian modern seperti organ tunggal dan lainnya. Dan kita hanya bisa bergumam lirih, Sandur riwayatmu kini?
Puncak acara ini dilakukan pada tengah malam dengan atraksi kalongking yaitu seorang pemain berjalan diatas tambang dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah, kedua ujung tambang diikat pada batang bambu yang di tancap di tengah-tengah lapangan. Ketika berada di tengah tambang pelaku kalongking langsung melakukan tapa kalong dengan posisi kepala di bawah dengan kaki mengait tambang. Kini Sandur memang “kalah” berkontes dengan berbagai ragam kesenian lain di Tuban, seperti Sindir (tayub), ketoprak, lebih-lebih dengan kesenian modern seperti organ tunggal dan lainnya. Dan kita hanya bisa bergumam lirih, Sandur riwayatmu kini?
Ini sandur yang berada di daerah Tuban mana ya mba/mas?
BalasHapusdulu semasa saya kecil masih sering kesenian sandur ini mentas, setahu saya tersebar di Kec. Semanding, Tuban, Merakurak
Hapuskalau boleh tau ini Sandur paguyuban apa ya mas? dan lokasi sandur kelompok ini dimana ya mas?
HapusWAH, sayangnya saya tidak tahu namanya mas, lokasinya di desa Jadi kec Semanding.
Hapus