Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Selain Alas Purwo di Banyuwangi, Alas Ketonggo di Ngawi ini
adalah salah satu obsesi saya sejak lama untuk saya kunjungi. Ya, harus saya
akui, selagi longgar dalam aktifitas pekerjaan, sebisa mungkin ada satu tempat
yang menyimpan sejarah dan mitos untuk dapat saya singgahi. Berlebihan memang. Tapi
begitulah kenyataannya.
Beberapa bulan yang
lalu akhirnya Alas Ketonggo yang sarat sejarah Majapahit dan penggede bangsa
ini pun kesampaian. Alas Ketonggo atau Alas Srigati di Kab. Ngawi. Karena obsesi
itulah, hampir semalaman sebelum berangkat mataku sulit terpejam membayangkan
betapa asiknya perjalanan ke Alas Ketonggo, Paron, Ngawi, Jawa Timur itu. Rencananya
saya berangkat dengan dua teman yang sudah janjian sebelumnya.
Saat adzan subuh
berkumandang dari corong langgar yang tak jauh dari rumah di mana saya tinggal.
Saya beranjak dari peraduan untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna
perjalanan nanti.
Sekitar pukul
09.00 WIB, dua teman saya datang. Setelah sejenak berbincang sambil
meyeruput kopi panas, kami pun langsung berangkat dengan mobil menuju lokasi.
Estimasinya jarak tempuh ke Ngawi paling lama 4-5 jam perhitungannya pada lepas
Asyar nanti kita sudah sampai lokasi.
Perjalanan melewati
jalan-jalan kota dan jalan raya provinsi tidaklah terlalu istimewa. Namun
memasuki pedesaan wilayah Padangan, Bojonegoro suasana mulai terasa istimewa.
Hawa lumayan sejuk memasuki anggota tubuhku yang dari Tuban menuju Ngawi
sekaligus merangkap sopir. Di kanan kiri jalan, tampak rimbunnya hutan jati
yang tertimpa cahaya senja.
Kali Tempur |
Baiklah, saya ceritakan
sedikit mengenai tempat tujuan saya kali ini yakni Alas Ketonggo. Bagi siapa
pun yang gemar akan wisata spiritual pasti sudah pernah mendengar nama Alas
Ketonggo atau ada sebagian orang yang menyebutnya dengan alas Srigati. Kawasan hutan
yang memiliki pemandangan cukup indah dan rindang ini ternyata menyimpang
sejuta misteri penuh nuasa mistis.
Alas Ketonggo, adalah
hutan dengan luas kurang lebihnya 5000 meter persegi, yang berada lereng Gunung
Lawu tepatnya di Desa Babadan, Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, dengan waktu
tempuh sekitar satu jam dari pusat kota Keripik ini kearah selatan.
Perjalanan dari Tuban
ke Ngawi ini sebenarnya relative mudah, hanya beberapa ruas jalan di Kalitidu,
Bojonegoro saja yang agak macet karena ada pengecoran jalan yang belum rampung.
Ternyata benar perhitungan saya, kami
baru sampai di gerbang Srigati atau Alas Ketonggo sekitar pukul 5 sore. Meski
sebelumnya kami sempat nyasar kurang lebih 20 KM kebablasen.
Karena baru pertama
kali, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil gambar disekitar lokasi.
Setelah merasa cukup dengan mengambil gambar disekitar lokasi pintu masuk Alas
Ketonggo dan melapor sama juru kunci perihal kedatangan kami. Kami melepas
penat karena semenjak berangkat dari Tuban menuju ke Alas Ketonggo ini kami
tanpa istirahat, sekaligus kami sempatkan untuk mengisi perut yang memang
banyak warung di pintu masuk ini.
Bersama Juru Kunci |
Di Srigati atau Alas
Ketonggo ini dari penuturan Pak Marji adalah konon kabarnya, tempat ini dulunya
adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan
Majapahit karena kerajaan diserbu oleh bala tentara Demak dibawah pimpinan
Raden Patah. Disini, terdapat Pelenggahan Agung yang banyak dijadikan sebagai
tempat bermeditasi bagi mereka yang ingin Ngalap berkah dalam usaha dan lain-lain.
Masyarakat sekitar
percaya bahwa Pelenggahan tersebut merupakan tempat dimana Raden Wijaya bertapa
mencari petunjuk sebelum membangun kerajaan Majapahit. Di Srigati juga terdapat
sebuah batu besar yang biasa di sebut "Watu Gede" atau Batu Besar,
konon disinilah merupakan pintu gerbang kerajaan "Dunia Lain" yang
ada disana. Selain itu disini ada sebuah tempat bertemunya dua muara sunga yang
disebut "Kali Tempuk" yang sering digunakan untuk mandi bagi mereka
yang mendalami ilmu kekebalan, agar awet muda, dan berbagai tujuan lainnya.
Setelah menikmati mie
rebus dan segelas kopi di warung waktu sudah menujukkan pukul 18.30. seperti
petunjuk Pak Marji sang juru kunci adalah waktu yang tepat untuk mandi di kali
tempuk atau dua aliran sungai yang bertemu.
Mudah saja menuju akses ke lokasi Kali Tempuk
ini karena ada papan petunjuknya. Sampai pada lokasi terlihat masih ada banyak
peritual yang tapa berendam di kali ini sambil menyulut dupa/hioswa. Karena
menunggu terlalu lama peritual yang lain mentas, akhirnya saya putuskan untuk
mandi juga dan tak berapa lama kemudian peritual lain selain kami bertiga sudah
mentas dan naik. Tinggal kami bertiga.
Salah satu hal yang
akan membuat hati merasa diselimuti hawa
mistis di sini adalah ketika kita melihat orang-orang yang sedang melakukan
ritual. Ada yang bertapa dipinggir kali, nyekar bunga di bawah pohon, bahkan
ada yang rela tinggal di situ mengabdikan dirinya untuk terus bertapa di alas
(hutan) ini. Memasuki Palenggahan Agung yang nampak adalah kain putih sebagai
simbol kesucian yang menambah hawa mistis di sini.
Tak lebih dari sejam
kami bertiga berendam di Kali Tempuk itu, selain karena banyak nyamuk juga
lumayan dingin. Setelah mengobrol sejenak dan menikmati nuansa malam sungai
yang terbalut mistis tadi kami bertiga pun beranjak naik untuk melewatkan malam
di Palenggahan Agung.
Namun anehnya, perasaan
saat akan menuju ke Kali Tempuk ini tidak ada jalan bercabang namun bengitu
kami sampai ada jalan bercabang. Barangkali tadi kami kurang jeli, pikirku.
Tapi hati kecilku sangat yakin kalau jalan setapak ini tunggal yang harusnya menikung
kekiri kalau dari atas. Karena bingung, saya minta seorang temen yang paling
depan untuk berhenti sejenak dan meminta pertimbangan pilih yang mana, kiri
atau ke kanan. Karena dua teman sepakat yakin yang kiri ya sudah saya manut
saja. Tapi sejujurnya saya yakn arah yang kanan jalan menuju ke Palenggahan
Agung.
Beberapa menit
perjalanan, saya mulai melihat keanehan yang tidak biasanya kami lewati barusan
saat akan menuju ke Kali Tempuk. Di arah depan ada kabut yang amat tebal,
mungkin ini fenomena alam biasa. Jadi tidak ada alas an dengan kabut itu.
Kira-kira semenit
perjalanan kami menembus kabut tebal itu, akhirnya kabut mulai menipis. Setelah
itu, kami memasuki sebuah perkampungan yang amat asing bagiku. Mengapa,
seingatku tak ada kampung selain deretan warung penyedia makanan dan minuman di
Alas Ketonggo ini. Saya mulai tersadar kalau kami memang kesasar.
“Kayaknya, kita salah
jalan ya, Kang!” kata seorang temen yang paling depan yang lantas kemudian saya
mengajak dua teman yang lain untuk berhenti berjalan.
“Wah, kalau begitu kita
tanya saja ke orang-orang itu,” ujar temen saya yang lain. Ketika itu memng
terlihat beberapa orang tengah berjalan searah dengan kami atau sebaliknya.
Sangat aneh!
“Sebentar dulu,, kita
jalan saja dulu pelan-pelan. Coba perhatikan ada yang aneh nggak dengan suasana
di kampung ini. Perasaanku mengatakan, kampung ini memang aneh.” Kataku
setengah berbisik.
Kami berjalan pelan dan
sesekali berhenti. Kami perhatikan kampung itu dengan hati yang kian tak
menentu. Hal utama yang menarik perhatianku adalah ketika aku melihat banyak
sekali jagung yang sudah dikupas dibiarkan begitu saja di pinggir jalan
perkampungan.
Beberapa orang laki-laki juga terlihat berdiri di depan pintu
pagar rumahnya masing-masing. Ada juga terlihat wanita-wanita yang menggendong
anak-anaknya dengan kain batik. Saya lihat juga ada orang sedang membuat
perapian di halaman rumahnya. Dari semua yang kami perhatikan itu, untuk
sementara kami belum menyadari adanya keanehan dari orang-orang itu.
“Kita berhenti saja
kang di depan warung itu. Kita coba tanya saja jalan ke Palenggahan Agung!”
pinta seorang temen sambil menunjuk keaarah sebuah kedai yang ada di pinggir
jalan. Dan saya menyepakatinya. Ternyata pemilik warungnya adalah seorang
wanita. Namun sebelum bertanya, saya bisikkan pada temen untuk membaca
Bismillah…
Sementara seorang teman
berjalan kearah wanita pemilik warung itu dan sedang sibuk menyapu lantai
warungnya barangkali menjelang tutup, pikir saya. Saya memperhatikan warung
kecil itu. Warung itu terlihat menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari
seperti sabun, odol, kue-kue kecil, aneka gorengan, beras, kopi sachet, sapu
lidi, dll.
Kemudian saya
perhatikan wanita pemilik warung itu. Saya coba mengenali wajahnya. Tapi tak
bisa. Rambutnya panjang terurai kira-kira sebatas punggung. Seolah mengerti
kalau sedang saya perhatikan, dia hanya menunduk sambil tangannya terus
menyapu-nyapu lantai ditempat yang sama.
Saya lihat temen saya
bertanya padanya. Tapi anehnya wanita pemilik warung itu tidak terlihat
mengangkat wajahnya. Dia seperti parasnya tidak diketahui oleh orang lain.
Sesaat kemudian, temen saya yang bertanya itu kembali kearah kami berdua.
“Gimana?” tanyaku.
“Katanya, terus saja
jalan. Nanti juga sampai!” jawab temenku. Dia lalu menggumam. “Perempuan itu
aneh sekali. Dia mau bicara denganku, tapi mukanya menunduk terus”.
“Aku juga lihat hal itu
kok!” tanggapku. Lalu saya berinisiatif, “Sebentar ya. Aku mau beli gorengan
dulu!”.
Karena rasa penasaran,
saya mencari alasan agar bisa mendekati wanita itu. Ketika itu, spontan
terlintas dalam pikiranku hendak membeli gorengan. Disamping untuk melihat
lebih dekat si pemilik warung, setidaknya gorengan itu lumayan juga untuk
pengganjal perut.
“Assalamu’alaikum!”
saya member salam padanya. Tanpa menjawab salamku, kali ini dia berhenti
menyapu tapi tetap menundukkan wajahnya.
Lalu katanya dengan
ketus, “Ada apa lagi, Mas!”
“Saya mau membeli
pisang gorengnya, Bu!” jawabku.
Wanita itu diam
sejenak, lalu jarinya menunjuk kea rah plastic pembungkus, sambil katanya lagi.
“Silahkan pilih saja…itu kantongnya!”
Saya mengambil kantung
plastic di dekat gorengan pisang itu. Laku saya masukkan 10 buah kedalamnya.
“Sepuluh biji saja, Bu. Berapa harganya?” tanyaku.
“Berapa saja, Mas”.
Jawabnya datar.
Saya sebenarnya
bingung, tapi cepat-cepat saya buang kebingunganku itu lalu merogoh kocekku.
Saya ambil selembar 5 ribuan, dan ingin kuberikan langsung padanya. Tapi
sebelum uang saya berikan, si pemilik warung berkata lagi, “Uangnya ditaruh di
atas situ saja, Mas”. Sambil menunjuk dagangan gorengannya.
Kini perempuan itu
berdiri di belakang tumpukan karung beras setinggi perutnya, dengan kepalanya
terus menunduk. Saya taruh selembar uang 5 ribuan itu, lalu segera permisi
pergi. Tak lupa saya ucapkan terima kasih pada wanita itu, meski dia tetap diam
tak menjawab.
Selepas dari warung tak
sengaja saya lemparkan pandangan pada sekeliling. Ketika saya perhatikan jalan,
orang-orang yang tadi kami lewati, semua tidak kelihatan wajahnya alias kepala
mereka semua tertunduk.
Barulah kami menyadari
keanehan yang tadi belum terpikirkan, yakni semua orang di kampung ini
menundukkan kepalanya seolah menyembunyikan wajah mereka. Dan anehnya lagi,
kami tidak merasa merinding atau takut meski kami sudah mengerti kalau sedang
berada di dunia lain.
Akhirnya, kamipun
melanjutkan jalan mengikuti jalan kecil. Sampai kemudian, kampung aneh itu
terlewati dan kami bertemu jalan yang yang mengarah ke Kali Tempuk, dan benar
kali ini tidak lagi bercabang alis jalan tunggal.
Lega rasanya karena
tampak di depan adalah deretan warung-warung meski sudah tutup. Setelah sampai
pada Palenggahan Agung kami langsung ke
mobil mengambil HP yang sengaja tidak kami bawa kecuali kamera digital saja untuk
mengambil gambar di Kali Tempuk tersebut. Keanehan kembali membuat kami saling
berpandangan setelah tahu dari HP bahwa waktu sudah menujuk pukul 03.40 WIB.
Semakin pening memikirkan kejadian yang aneh ini.
Sambil duduk-duduk di
pinggir mobil, seorang temen yang tadi kebagian membawa bungkusan pisang goreng
yang saya beli di warung perempuan aneh itu yang di taruh di ranselnya.
Anehnya, dia tidak menemukan plastic bungkusan pisang goreng tadi, yang ada
hanyalah bungkusan daun jati. Dia buka bungkusan itu, ternyata didalamnya ada
10 lembar daun kering dan selembar uang 5 ribuan yang tadi saya bayarkan di
warung wanita yang aneh itu.
Saya ceritakan
pengalaman yang aneh itu kepada Pak Marji, sang kuncen Alas Ketonggo. Dia
mengeryitkan dahi, Pak Marji mengatakan. “Kalian sudah tersesat di kampun Jin,
untungnya jin-jin di kampung itu tidak atau jarang mencelakai manusia, atau
mungkin kalian masih bisa menjada adab di Alas Ketonggo ini”. Kata Pak Marji
setenggah bergumam.
Begitulah cerita
tersesatnya kami di kampung jin Alas Ketonggo. Sampai akhirnya kami bertiga
kembali dengan selamat. Dari kisah yang saya tulis kali ini, ada pelajaran yang
bisa saya petik adalah, kemanapun pergi, jangan lupa berdzikir, agar selalu
mendapat perlindungan Nya. Jadi bukan masalah permisi atau tidak. Atau mungkin besarnya
rasa penasaran kami, sehingga kami diberi petunjuk. Akhir kata. Sekian dulu dan
wasssalam. Matur nuwun..
NB: Tulisan ini
sebelumnya sudah saya posting di kompasiana.
Menurut cerita ayah sy, sungai di Srigati itu terhubung dgn sungai di kampung sy. Lewat lorong bawah tamah. Ayah sy pernah di ajak " jln2 melewatinya" oleh kiyai tempat ayah sy mondok.
BalasHapusWaah, pengalaman yang mengesankan mas, sampeyan bisa mengirimkan cerita ini di sini jika berkenan. nuwun
Hapus