Akarasa - “Ilmu iku kalakone kanthi laku”: ilmu itu terlaksana karena dilakukan di dalam perbuatan yang nyata. Dalam konteks khasanah falsafah Jawa, kata “ngelmu” menunjuk pada ajaran hidup menuju kesempurnaan diri pribadi. Ajaran itu teori dan teori tidak akan membawa manfaat apa-apa bila tidak dipkraktekkan dalam hidup sehari-hari. Pada kesempatan minggu yang terik ini kita akan mengkaji falsafah Jawa Ngelmu Sangkan Paran. Sebelumnya mohon kerabat akarasa maklumi ada banyak kekurangannya. Karena hakikatnya kita sama-sama belajar dan sangat berterima kasih sekali jika panjenengan-panjenengan sekalian mau menambahkan kekurangannya.
Umum dimanapun di dalam sebuah ajaran
ada perintah dan larangannya. Tujuan perintah larangan adalah untuk
mendisiplinkan diri agar diri yang sebelumnya “liar” menjadi “jinak”, diri yang
sebelumnya memperturutkan keinginan “diri”/ego/keakuan menjadi diri yang bisa
menurut dengan diri-Nya/Ego-Nya.
Pertanyaannya kemudian, kenapa diri ini
harus manut dengan keinginan atau kehendak-Nya? Ada sebuah analogi yang gampang
dicerna. Misalnya, sebuah mobil BMW diciptakan dan diproduksi oleh pabrik BMW
di Jerman. Pabrik sudah mengeluarkan petunjuk penggunaan, aturan perintah dan
larangan.
Pabrik tidak asal bikin petunjuk penggunaan. Sang insinyurnya sudah memiliki prediksi agar mesin dan bodi mobil itu awet, maka oli harus dignti saat mobil sudah mencapai sekian kilometer. Insinyur juga memiliki prediksi bahwa usia efektif mobil tersebut sekian tahun. Hingga mencapai batas usia tertentu, maka mobil akan digolongkan istimewa dan menjadi barang antik.
Pabrik tidak asal bikin petunjuk penggunaan. Sang insinyurnya sudah memiliki prediksi agar mesin dan bodi mobil itu awet, maka oli harus dignti saat mobil sudah mencapai sekian kilometer. Insinyur juga memiliki prediksi bahwa usia efektif mobil tersebut sekian tahun. Hingga mencapai batas usia tertentu, maka mobil akan digolongkan istimewa dan menjadi barang antik.
Begitu pula manusia. Manusia diciptakan
oleh Tuhan dan Sang Insinyur Manusia ini sudah mengeluarkan buku panduan
lengkap, tata cara hidup dan berkelakuan agar dipedomani sebagai arahan hidup
mulai o tahun hingga semilyar tahun mendatang.
Beda dengan benda yang “ada”nya begitu
sederhana. “Adanya” manusia ini sungguh luar biasa. Manusia diberikan
kebijaksanaan untuk menentukan masa depannya sendiri sebelum dia dilahirkan di
dunia. Manusia diberi kekuasaan-Nya untuk merancang sendiri dia nantinya akan jadi
apa, akan kemana, apa tujuan hidupnya. Ya, karena Tuhan Maha Pemurah, maka
manusia dijinkan menjadi insinyur yang bebas merancang dirinya sendiri.
Ruh yang merupakan “manusia sejati” dan “sejatinya manusia” itu, sebelum ada di dunia telah merancang dirinya sendiri dengan menulis di buku kitabnya masing-masing. Tuhan hanya memberikan kata “ACC” dan membubuhkan “stempel” saja. Tuhan pun menekankan bahwa yang berlaku nanti di bumi adalah hukum sebab akibat. Hukum karma, sunatullah atau disebut juga dengan hukum alam.
Jadi, salah bila dikatakan bahwa adanya sial, bencana, bahaya, ketidaksuksesan hidup itu karena Tuhan. Tuhan tidak cawe-cawe sama sekali. Itu murni urusan manusia yang tidak paham dan malah mungkin melanggar pantangan hukum sebab akibat.
Keberhasilan dan kesuksesan adalah akibat dari sebuah sebab. Sebab keberhasilan/kesuksesan adalah kerja keras. Untuk bekerja keras butuh motivasi kerja yang tinggi dan niat yang teguh. Tubuh/Raga yang rajin bergerak mencari rezeki yang halal, asalnya adalah jiwa/batin yang tenang, nyaman dan bahagia.
Kembali ke tema awal. Apa saja tata cara Ngelmu Sangkan Paran? Di dalam khasanah Kejawen, dalam buku “Cipta Brata Manunggal” karangan Ki Brotokesawa disebutkan laku yang perlu dijalani:
1. Sabar, tawakal, tekun, dan nrimo
2. Jaga kebersihan lahir batin
3. Olah raga
4. Olah nafas
5. Berpakaian yang pantas dan bersih.
7. Olah cipta, banyak membaca dan menggali ilmu pengetahuan
8. Bekerja rajin
9. Sore hari belajar untuk tambahan pengetahuan
10. Makan teratur dan higienis.
11. Minum air putih dingin pagi, siang, malam
13. Istirahat selama 6 atau 8 jam sehari semalam.
14. Perasaan dan pikiran terarah.
16. Tidak terlalu banyak bicara. Tidak bicara kotor dan berbicara seperlunya. Bila akan tidur hendaklah instropeksi diri sambil berdoa sebagaimana yang tertera di kalimat pembuka.
Dalam buku “Cipta Brata Manunggal” juga dipaparkan proses tingkat-tingkat manembah/sembah kepada Gusti. Berikut tingkatan itu:
Ruh yang merupakan “manusia sejati” dan “sejatinya manusia” itu, sebelum ada di dunia telah merancang dirinya sendiri dengan menulis di buku kitabnya masing-masing. Tuhan hanya memberikan kata “ACC” dan membubuhkan “stempel” saja. Tuhan pun menekankan bahwa yang berlaku nanti di bumi adalah hukum sebab akibat. Hukum karma, sunatullah atau disebut juga dengan hukum alam.
Jadi, salah bila dikatakan bahwa adanya sial, bencana, bahaya, ketidaksuksesan hidup itu karena Tuhan. Tuhan tidak cawe-cawe sama sekali. Itu murni urusan manusia yang tidak paham dan malah mungkin melanggar pantangan hukum sebab akibat.
Keberhasilan dan kesuksesan adalah akibat dari sebuah sebab. Sebab keberhasilan/kesuksesan adalah kerja keras. Untuk bekerja keras butuh motivasi kerja yang tinggi dan niat yang teguh. Tubuh/Raga yang rajin bergerak mencari rezeki yang halal, asalnya adalah jiwa/batin yang tenang, nyaman dan bahagia.
Kembali ke tema awal. Apa saja tata cara Ngelmu Sangkan Paran? Di dalam khasanah Kejawen, dalam buku “Cipta Brata Manunggal” karangan Ki Brotokesawa disebutkan laku yang perlu dijalani:
1. Sabar, tawakal, tekun, dan nrimo
2. Jaga kebersihan lahir batin
3. Olah raga
4. Olah nafas
5. Berpakaian yang pantas dan bersih.
7. Olah cipta, banyak membaca dan menggali ilmu pengetahuan
8. Bekerja rajin
9. Sore hari belajar untuk tambahan pengetahuan
10. Makan teratur dan higienis.
11. Minum air putih dingin pagi, siang, malam
13. Istirahat selama 6 atau 8 jam sehari semalam.
14. Perasaan dan pikiran terarah.
16. Tidak terlalu banyak bicara. Tidak bicara kotor dan berbicara seperlunya. Bila akan tidur hendaklah instropeksi diri sambil berdoa sebagaimana yang tertera di kalimat pembuka.
Dalam buku “Cipta Brata Manunggal” juga dipaparkan proses tingkat-tingkat manembah/sembah kepada Gusti. Berikut tingkatan itu:
SEMBAH RAGA, yaitu tapaning badan jasad
kita. Tubuh, jasad bergerak atas perintah batin. Batin diperintah oleh dua
unsur, baik (nur Ilhiah) dan buruk (nar Iblis). Agar tubuh disiplin, terarah
dan terkendali maka perlu dilatih. Tingkatnya adalah syariat. Tubuh tetap
melakukan disiplin ibadah.
SEMBAHING CIPTA, di Islam dinamai
Tarekat, sembahnya hati yang luhur. Untuk mencapai hati luhur perlu kesadaran
nalar (logika). Diperlukan olah nalar yang bagus sesuai dengan prinsip-prinsip
logika. Tujuan sembah cipta adalah mengerti akan “kasunyatan”. Ilmu pengetahuan
harus dikuasai agar memiliki perbandingan baik dan buruk. Kebijaksanaan akan
lahir bila kita mampu menekan dan mengendalikan hawa nafsu. Memahami Ilmu
Ketuhanan diperlukan syarat berupa cipta yang bersih dari hawa nafsu dan olah
nalar yang mumpuni. Ilmu Ketuhanan adalah ilmu yang “sangat halus” yang bisa
ditangkap dengan kegigihan memperhalus batin dan mentaati prinsip-prinsip
berpikir yang lurus.
Tujuan dari sembah cipta itu mengendalikan dua macam sifat: angkara( yang menimbulkan watak adigang, adigung, adiguna, kumingsun dsb.) dan watak keinginan mengusai akan kepunyaan orang lain (kemelikan-jw). Cipta yang bersih yaitu kalau sudah bisa mengendalikan angkara murka, Tandanya bila cipta sudah “manembah”, yaitu waspada terhadap bisikan jiwa.
Jadi sembah itu intinya melatih cara kerja cipta, dengan cara Tata, Titi, Ngati ati, Telaten, dan Atul. Atul adalah pembiasaan diri agar mendarah daging menjadi kebiasaan dan watak yang akhirnya terbiasa mengetahui sejatinya penglihatan (sejatine tingal) yaitu Pramana, bisa dikatakan sampai kepada jalan sejati, yaitu penglihatan pramana (tingal pramana).
Tanda sudah sempurna sembah cipta adalah berda di dalam kondisi kejiwaan sepi dari pamrih apapun. Seperti tidak ingat apapun itu pertanda sudah sampai batas, yaitu batas antara tipuan dan kenyataan (kacidran lan kasunyatan – jw), jadi sudah ganti jaman, dari jaman tipuan menjadi jaman kenyataan.
Rasa badan ketiga (saka penggorohan maring kasunyatan Rasaning badan tetelu), wadag astral dan mental tadi seketika tidak bekerja. Disitulah lupa, tetapi masih dikuati oleh kesadaran jiwa (elinging jiwa), dan waktu itu menjadi eneng, ening, dan eling. Artinya eneng: diamnya raga, Ening : heningnya cipta, Eling: ingatnya budi rasa yang sejati.
Tujuan dari sembah cipta itu mengendalikan dua macam sifat: angkara( yang menimbulkan watak adigang, adigung, adiguna, kumingsun dsb.) dan watak keinginan mengusai akan kepunyaan orang lain (kemelikan-jw). Cipta yang bersih yaitu kalau sudah bisa mengendalikan angkara murka, Tandanya bila cipta sudah “manembah”, yaitu waspada terhadap bisikan jiwa.
Jadi sembah itu intinya melatih cara kerja cipta, dengan cara Tata, Titi, Ngati ati, Telaten, dan Atul. Atul adalah pembiasaan diri agar mendarah daging menjadi kebiasaan dan watak yang akhirnya terbiasa mengetahui sejatinya penglihatan (sejatine tingal) yaitu Pramana, bisa dikatakan sampai kepada jalan sejati, yaitu penglihatan pramana (tingal pramana).
Tanda sudah sempurna sembah cipta adalah berda di dalam kondisi kejiwaan sepi dari pamrih apapun. Seperti tidak ingat apapun itu pertanda sudah sampai batas, yaitu batas antara tipuan dan kenyataan (kacidran lan kasunyatan – jw), jadi sudah ganti jaman, dari jaman tipuan menjadi jaman kenyataan.
Rasa badan ketiga (saka penggorohan maring kasunyatan Rasaning badan tetelu), wadag astral dan mental tadi seketika tidak bekerja. Disitulah lupa, tetapi masih dikuati oleh kesadaran jiwa (elinging jiwa), dan waktu itu menjadi eneng, ening, dan eling. Artinya eneng: diamnya raga, Ening : heningnya cipta, Eling: ingatnya budi rasa yang sejati.
SEMBAH JIWA. di Islam dinamai Hakekat.
Kalau sudah bisa melaksanakan sembah cipta baru bisa melaksanakan sembah jiwa.
Artinya: rasakan dengan menggunakan rasa “kasukman” yang bisa ditemui dalam
eneng, ening dan eling tadi. Tandanya adalah semua sembah, panembah batin yang
tulus tidak tercampuri oleh rasa lahir sama sekali.
Bila sudah melihat cahaya yang terang tanpa bisa dibayangkan tetapi tidak silau, pertanda telah sampai kepada kekuasaan “kasunyatan”(kesejatian), yang juga disebut Nur Muhamad, yaitu tiada lain Cahaya Pramana sendiri, karena dinamai pramana karena cahayanya yang saling bertautan dengan rasa sejati dan budi, disitu rasa jati dan budi akan berkuasa(jumeneng), sudah sampai kepada kebijaksanaan. Artinya kebijaksanaan merasa sampai mengerti yang melakukan semadi tadi, saling berkaitan tak terpisahkan dengan cahaya yang terang benderang yang tidak bisa dibayangkan.
Bila sudah melihat cahaya yang terang tanpa bisa dibayangkan tetapi tidak silau, pertanda telah sampai kepada kekuasaan “kasunyatan”(kesejatian), yang juga disebut Nur Muhamad, yaitu tiada lain Cahaya Pramana sendiri, karena dinamai pramana karena cahayanya yang saling bertautan dengan rasa sejati dan budi, disitu rasa jati dan budi akan berkuasa(jumeneng), sudah sampai kepada kebijaksanaan. Artinya kebijaksanaan merasa sampai mengerti yang melakukan semadi tadi, saling berkaitan tak terpisahkan dengan cahaya yang terang benderang yang tidak bisa dibayangkan.
SEMBAH RASA, di Islam dinamai Makrifat.
Sembah rasa itu adalah mengalami Rasa Sejati. Inilah rasa manusia yang paling
halus, tempat semua rasa dan perasaan dan bisa merasakan perlunya menjadi
manusia yang berbudi luhur dan menyadari bahwa dia adalah pribadi yang
merupakan Wakil-Nya. Bahkan pada tahap akhir pemahaman makrifat, dia akan
“menjadi” Tuhan itu sendiri (Gusti amor ing Kawulo). Rasa hidup adalah rasa Tuhan,
rasa Ada, ya diri pribadi, bersatu tanpa batas dengan rasa semua ciptaan Nya.
Tanda bila sudah mencapai kasunyatan, sudah hilang ilah-ilah yang lain hingga
sampai mencapai TAUHID MURNI.
Maturnuwun…
0 on: "Mengkaji Ngelmu Sangkan Paran"