Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Umumnya, terutama orang Jawa tidak asing dengan kata
‘Nitis’ atau sering disebut juga reinkarnasi ini. Nah, pada kesempatan kali ini
saya mengulasanya yang tentu saja dari sudut pandang pribadi yang barang tentu sama sekali saya tidak
mengajak kerabat akarasa untuk ikut membenarkan apalagi mempercayainya. Sekali
lagi ini dalam pola pandang saya secara pribadi dan tentu saja besar
kemungkinan beda pandangan dengan sampeyan semua.
Sejatinya, tulisan ini
pernah saya posting dalam blog lama saya yang sekarang suspended karena lupa
memperpanjang domainnya. Syukurlah masih ada berkas tulisannya yang saya simpan
dalam draf tulisan di kompasiana. Sedianya memang hendak saya posting di sana,
karena berbagai pertimbangan pada akhirnya hanya tergolek di draf, menanti
untuk di posting.
Akhirnya, dengan
mengucap bismillah pada awal pekan yang baik ini saya mebagikannya di akarasa
ini. Seperti judul tulisan ini, yakni reinkarnasi atau orang Jawa menyebutnya
nitis ini saya yakin kerabat akarasa tidak asing istilah ini, karena cukup banyak buku dan
literature telah ditulis dan diterjemahkan terkait dengan reinkarnasi baik
pengkajian secara ilmiah maupun pengalaman pribadi tentangnya.
Masyarakat kita yang
sebagian besar beragama Islam dan Nasrani sepertinya terhenyak. Tentu saja
karena tema reinkarnasi atau ‘nitis’
tidak populer (untuk tidak mengatakan tidak ada) dalam dua agama besar
di negeri kita ini. Lalu yang meyakini reinkarnasi, atau yang memang ada bibit
keyakinan berupa pertanyaan-pertanyaan mendasar berkaitan dengan konsep
eskatologis pun membolak-balik halaman demi halaman kitab suci guna menelisik
dan menginterpretasi kembali teks-teks agama yang “sepertinya” menyembunyikan
ajaran reinkarnasi di balik ayat-ayat yang menggunakan kata-kata metaforis dan
bersayap. Mereka memaknai kembali apa itu alam barzakh, hari berbangkit, sorga,
pahala dan dosa, hari pengadilan, dan neraka, bahkan sampai pada pemaknaan
kembali hakekat Tuhan Yang Maha Adil.
Banyak yang menentang,
namun tidak sedikit yang menerimanya itu hal yang lumrah. Yang menerima
reinkarnasi menyuguhkan teks-teks yang diyakini berhubungan dengan reinkarnasi
dan penafsiran yang sesuai dengan prinsip keadailan Ilahi, sedangkan yang menolak,
menyuguhkan teks-teks yang menceritakan kekalnya sorga, kekalnya neraka, adanya
hari pengadilan sebelum jatuhnya ketentuan, apakah manusia masuk ke dalam sorga
atau neraka. Di antara dua keyakinan itu, yang manakah yang disebut dengan
“keyakinan”? Tentu saja, pada hemat saya, dalam masalah hidup yang fundamental,
tidak mungkin dua keyakinan—yang menerima dan yang menolak—sama-sama benar.
Karena kita hidup pada bumi yang sama, dan hukum alam yang mengaturnya harus
sama pula, tiada pernah berubah. Lalu keyakinan manakah yang benar?
Jika hal itu berkenaan
dengan prinsip hidup fundamental—seperti reinkarnasi atau ‘nitis’—tentunya tak
ada aturan, hukum yang berbeda bagi masing-masing individu. Tidak mungkin,
reinkarnasi dialami oleh penganut Hindu dan Budha sementara umat Islam dan
Nashrani tidak mengalaminya, karena mereka meyakini konsep itu tidak ada dalam
kitab suci mereka. Seperti halnya hukum gravitasi, di mana-mana pun berlaku
sama.
Spiritualitas menuntut
kejujuran dalam berproses menuju kebenaran sejati. Dan saya yakin, keyakinan
kita pada konsep-konsep keagamaan yang biasa kita pegang sesungguhnya berasal
dari warisan yang kita warisi dari orang tua dan lembaga kegamaan yang telah
ada sejak kita lahir. Orang tua dan lembaga agama harus kita akui, masih
sedikit yang bisa mengajarkan agama secara rasional dan berdasarkan pengalaman
langsung dalam keberagamaan dan spiritual. Dan konsep-konsep itu telah tertanam
dalam diri kita menjadi mind set sebagai hasil pengkondisian yang tidak
memberikan pilihan pada kita selain agama yang dipercaya sebagai satu-satunya
yang benar.
Bagi saya, keyakinan
adalah sesuatu yang harus kita alami dan kita sadari dalam kesempurnaan
kekinian. Karena kebenaran yang kita hadapi selalu saja terjadi dalam kekinian.
Jika dalam al-Quran Tuhan menyatakan bahwa Ia lebih dekat dari urat leher kita
sendiri, dan tidak ada sesuatu di luar Tuhan, tentunya sorga dan neraka pun ada
di dalam Tuhan bukan? Berada dalam kekinian. Berada dalam diri kita.
Tuhan bukan masa lalu,
juga bukan masa depan. Dan esok belum terjadi, kalaulah esok terjadi tentulah
itu dialami dalam kekinian. Dan masa lalu hanyalah memori, yang ketika
tersimpan dalam memori otak manusia, maka urusannya adalah lupa dan ingat.
Namun, masa lalu dan masa depan sesungguhnya tersimpan dalam kekinian yang
abadi. Dan yang bisa melampaui waktu, baik esok hari atau kemarin hari, adalah
hening dalam diri kita yang saya sebut sebagai kesadaran. Kesadaran melampaui
ruang dan waktu.
Dalam kesadaran,
segalanya tercakup di situ. Melampaui dualitas baik buruk, kelahiran dan
kematian. Dan kesadaran hanya bisa dialami dalam pengalaman yang serba baru.
Tuhan yang bersemayam dalam diri kita itu adalah kesadaran. Yang terus bekerja
tiada henti-hentinya. Dalam al-Quran Dia menyatakan, “Setiap hari Ia selalu
sibuk.” Kesadaran tak pernah tidur, namun selalu terjaga dalam nurani
manusia. Kesadaran adalah saksi yang
menyaksikan permainan dualitas pikiran kita.
Karena itu, keyakinan
kita yang belum menyentuh wilayah kesadaran, belum sampai pada tahapan haqqul
yaqin, sesungguhnya masih terbuka kemungkinan untuk berubah, meskipun kita
menyebutnya itu sebagai keyakinan atau sebagai keimanan. Demikian pula dengan
konsep reinkarnasi. Mungkin kita menolak reinkarnasi, karena pemahaman pada
agama kita berbeda dengan ajaran reinkarnasi, berbeda dengan konsep kekalnya
sorga, kekalnya neraka, tempat kembalinya semua umat manusia. Namun jika kita
menolak konsep reinkarnasi, apakah kita bisa membuktikan bahwa konsep kita yang
paling absah, bisa dinalar, bisa dialami, dan disadari?
Bagaimana dengan
kesaksian orang yang mengaku pernah lahir sebelum kehidupannya saat ini. Jadi,
dalam pandangan saya, kebenaran itu harus disadari dan dialami sendiri,
dirasakan. Pertama-tama kita perlu membuka ruang nalar untuk memahami tanpa
kesinisan terlebih dulu, karena kita pun tak bisa membuktikan bahwa keyakinan
kita yang benar, kita menyatakan benar karena “agama” atau pemimpin lembaga
keagamaan kita menyatakan itu benar dan “sesuai” dengan “nash” agama.
Banyak yang menyatakan bahwa
ajaran reinkarnasi berasal dari negeri Timur: India, Cina, Nusantara. Atau
berasal dari agama yang lahir di Timur: Hindu, Budha, Tao, faham Kebatinan,
atau bahkan Kejawen. Jika Krishna, Budha, Lao Tse menyatakan keberadaan
reinkarnasi, lalu Muhammad, Yesus, Musa “tidak” menyatakan keberadaan
reinkarnasi, lalu apa dengan demikian para orang suci itu berbeda pandangan
atas hukum alam yang seharusnya satu dan sama adanya?
Reinkarnasi adalah
suatu relitas yang bisa kita sadari dengan kepekaan kesadaran kita sehari-hari.
Kematian adalah sesuatu yang terjadi setiap hari. Bahkan kematian adalah
hakekat yang melandasi segala sesuatu. Kematian adalah kepastian yang melebihi
hidup itu sendiri. Bahwa cahaya selalu lahir dalam rahim kegelapan. Kita mati
dari diri kita kemarin dan lahir kembali menjadi diri kita saat ini.
Kesalahan terbesar
manusia sebenarnya ketika mereka merasa terpisah dari Tuhan. Jika kita merasa
Tuhan berada “di sana”, tentunya perasaan tersebut sebetulnya telah membatasi
kemahaadaan dan kemahaesaan Tuhan. Karena itu, setiap konsep yang dibangun dari
perasaan terpisah tentunya akan
menghasilkan sikap selalu menyesal, sikap inferior, suatu sudut pandang, bahwa
ada sebuah kekuasaan di luar diri kita yang sewenang-wenang dalam menentukan
nasib kita, dan kita tak punya pilihan dengan kehendak-Nya.
Sementara dalam
al-Quran, Tuhan menyatakan: Tiada daya dan upaya selain dengan-Nya? Bahwa
energi Tuhan berada dalam diri kita. Bahwa sifat-sifat Tuhan terkandung dalam
diri manusia. Dan dalam ayat lain di al-Quran, Tuhan menyatakan: Sesungguhnya
kehinaan yang menimpa manusia adalah akibat perbuatan tangan-tangan mereka
sendiri. Hanya manusia saja yang belum menyadarinya. Manusialah yang menentukan
takdirnya sendiri. Tuhan hanya memfasilitasinya. Termasuk kondisi seseorang
yang menderita hidupnya ketika lahir di dunia tentu tidak bisa terlepas dari
semangat ayat di atas.
Demikianlah,
reinkarnasi atau ‘nitis’ adalah realitas sehari-hari, adalah konsep perubahan
yang terus berjalan untuk menuju penyempurnaannya. Reinkarnasi, perubahan dan
penyempurnaan jiwa itu adalah suatu keniscayaan yang tetap ada meskipun semua
orang di dunia tidak meyakininya. Bulan akan tetap ada meskipun semua orang
buta meniadakannya. Nah, realitas hanya bisa menjadi keyakinan jika kita
menyadari saat mengalaminya, jika kita menyaksikan sendiri diri kita di masa
lalu. Dan dari situ, reinkarnasi tidak hanya sekedar konsep yang perlu
diperdebatkan, namun ia adalah realitas, keberadaan yang harus dan pasti suatu
saat akan disadari oleh setiap jiwa. Jika kita telah mengalami dalam kesadaran reinkarnasi
maka konsep itu pun berhenti dan menjadi keyakinan yang kuat.
Seperti pada narasi
sebelumnya, kita perlu memahami sesuatu yang abstrak terlebih dahulu secara
nalar. Karena, meskipun nalar seringkali ragu dan terjebak dalam dualitas,
namun pemahaman sesuatu dengan nalar yang benar tentunya akan memudahkan kita
untuk mendekatkan kita pada keyakinan.
Karena jika kita terbuka dengan konsep reinkarnasi, maka pikiran yang
kita proyeksikan pada diri kita di masa lalu, tentang kejadian di masa lalu suatu
saat mungkin akan kita tangkap kenyataannya dalam alam meditasi, berupa ilham
atau sebuah gambaran dalam pikiran kita.
Energi yang menyusun
alam semesta ini satu adanya di tengah kebhinnekaannya yang luar biasa. Dalam
perbedaan wujud yang luar biasa banyak, sesungguhnya ada energi yang sama yang
membuat semuanya ini maujud. Di dalam setiap materi terdapat energi yang
mewujudkannya, dan energi bisa mengambil bentuk berupa materi. Yang non wujud
berada dalam yang wujud, dan yang wujud akan kembali, dan menyimpan sesuatu
yang non wujud.
Ada dua nama Tuhan dalam Islam yang mungkin belum
banyak kita perhatikan: Al-Dzahir dan Al-Bathin. Jadi Allah adalah yang nampak
sekaligus yang tidak nampak, dzahir dan batin. Membatasi Allah hanya pada
sesuatu yang tidak nampak justru akan membatasi kemahaadaan Allah, seakan-akan
Allah berada di awang-awang dan tidak hadir dalam dunia wujud. Saya rasa
pndangan semacam itu akan mengakibatkan orang menjadi idealis. Sementara jika
kita membatasi Allah sebagai sesuatu yang lahir saja, maka kita akan terjebak
pada pandangan materialis. Seakan-akan hanya yang maujud saja, hanya yang
positif saja yang nyata, padahal kita pun mempunyai dunia batin, kesadaran,
yang tidak dzahir namun “ada”.
Secara sederhana, kita,
dan bahkan anak kecil pun akan bertanya, dari manakah asal-usulnya? Dari
manakah asal usul keberadaan itu? jika kita menjawabnya secara berurutan,
tentunya jawaban terakhir itu akan sampai kepada ketiadaan. Jawaban terakhirnya
akan sampai pada pikiran yang menyerah karena tidak mampu menjangkaunya. Nah,
yang tak mampu diperkirakan dalam pikiran itu kita menyebutnya sebagai Tuhan.
Banyak para mistikus
yang menyatakan bahwa Tuhan adalah Ketiadaan yang merengkuh, yang mengandung
segala macam keberadaan, dalam konsepsi mistik Jawa, Tuhan disebut suwung
hamengku ana (ketiadaan yang mengandung keberadaan). Dalam
pertanyaan-pertanyaan filsafat, seringkali dikatakan bahwa yang “ada” berasal
dari yang “tiada”. Namun, bagaimana yang “tidak ada” bisa melahirkan yang
“ada”? Oleh karena itu, mereka pun berkesimpulan bahwasanya anatara “ada” dan
“tiada” itu sama saja. Kata para Budha, yang ada ini sesungguhnya tiada, maya
belaka.
Namun, “ada” atau
“tiada”, itulah yang sejati, yang nyata. Yang sempurna. Yang membuat semuanya
tidak sempurna adalah pikiran kita yang menilai. Karena penilaian adalah kerja
pikiran. Untuk sampai pada kenyataan dan hakekat sesungguhnya, para sufi
menganjurkan kita untuk melampaui ego, pikiran kita, dan ketika kita
berdisiplin diri untuk melampaui ego, tidak terikat pada pikiran yang
membonceng keinginan, kita tentu akan sampai pada realitas yang melampaui
segala macam pikiran, yang melampaui segala macam penilaian. Dan aneka macam
ritul, apakah itu meditasi, manekung, semedi adalah sebuah latihan pendisiplinan
diri untuk memupus ego kita yang tercipta dari pikiran liar (nafsu) kita
sehari-hari. Pada tahap awal, pikiran adalah jalan untuk memahami kenyataan,
namun ia juga sekaligus menjadi hijab yang membuat kita terhalang dalam
menyatukan diri dengan kenyataan yang sejati. Nuwun.
0 on: "Nitis atau Reinkarnasi adalah Realitas"