Akarasa
– Sejarah adalah guru kehidupan. Setelah beberapa hari tidak posting apapun,
kali ini saya mengajak akarasa menguak sejarah yang ada di Lasem. Satu kota
kecamatan kecil di Kab. Rembang, Jawa Tengah yang ternyata pada masanya adalah
sebuah pusat pemerintahan dan tentu saja banyak menyimpan sejarah yang kita
tidak banyak tahu. Lasem, selain terkenal dengan motif batiknya yang
terakulturasi dengan budaya Tionghoa juga terkenal dengan Situs Pasujudan Sunan
Bonang-nya. Tapi siapa sangka, di Lasem ini pula lah ada jejak saudara kita
dari Tionghoa pernah ada menjabat sebagai Adipati. Dan beliau ini saya rasa
adalah adalah adipati pertama orang Tionghoa di Jawa. Oe Ing Kyat atau lebih
dikenal dengan nama Tumenggung Widtadiningrat.
Menelusuri
situs pesarehan Tumenggung Widyadiningrat yang berada di Desa Warunggunung
Pancur dan terletak di puncak gunung Bugel ini bukanlah perkara mudah. Jalan
terjal dan berbatu menghadang setiap jejak. Namun semua itu akan terbayar saat
kerabat akarasa sampai di puncaknya. Sekilas tentang Tumenggung Widyadiningrat atau Oe Ing Kyat
adalah adipati Lasem yang memimpin pasukan Cina mengusir penjajah Belanda
bersama dengan Raden Mas Panji Margono; Kyai Badawi atau Mbah Joyo Tirto; Ki
Naya Gimbal; Pengeran Surya Kusuma dan para pemimpin lain. Mereka bahu mambahu
mengumpulkan para laskar-laskar di alun-alun depan masjid jami’ Lasem untuk
bersiap-siap melakukan peperangan.
Disini
dipuncak Gunung Bugel tempat beliau dikebumikan, Oe Ing Kyat beserta laskarnya
bermarkas. Mereka memilih tempat ini guna tidak ketahuan Belanda selain itu
bisa mengawawasi datangnya musuh ke arah Lasem. Para pemimpin Lasem banyak yang
menyebar kewilayah-wilayah ujung Lasem, ada yang bermarkas di Dasun dekat
pantai, ada di timur dan barat, mereka berjaga di empat arah mata angin. Inilah
siasat yang dipakai para pejuang kita dalam perang.
Sejarah
perlawanan rakyat Lasem melawan Kompeni sudah dimulai sejak jaman Amangkurat IV
(1719-1726). Ketika Pengeran Purbaya mengangkat senjata melawan Kompeni, orang
Lasem banyak yang bergabung dengan Sang Pangeran. Di masa itu Bupati Lasem
adalah Tejakusuma V. Beliau kemudian digantikan oleh seorang keturunan Tionghoa
bernama Ui Ing Kiat yang bermarga Oei atau dalam bahasa Mandarin disebut Huang.
Ia diberi nama Tumenggung Widyadiningrat oleh Pakubuwono II. Hal itu karena
anak Tejakusuma V yang bernama Raden Panji Margana lebih suka menjadi petani,
maka Keraton Kartasura merestui penunjukkan Tumenggung Widyadiningrat.
Raden
Panji Margana sendiri telah memiliki hubungan erat dengan orang Tionghoa. Pada
1740 semasa pengungsi Tionghoa Batavia tiba di Lasem. Ia pun turut membaur dan
melawan Kompeni. Ia diangkat sebagai pemimpin dan dibantu para tokoh masyarakat
Tionghoa, termasuk Tumenggung Widyadiningrat yang menyatakan memihak kepada
para pemberontak melawan Kompeni.
Tokoh
Tionghoa lain di Lasem yang tak kalah penting ialah Tan Ke Wie. Ia adalah
seorang pembuat batu bata. Tan Ke Wie selain seorang guru silat yang disegani
di Lasem juga dikenal sebagai dermawan. Para pemberontak, baik Tionghoa maupun
Bumiputera mengenakan seragam yang sama, yaitu baju Tionghoa dan celana
komprang hitam. Tak terkecuali Raden Panji Margana yang selalu mengenakan
pakaian tersebut. Hal ini menyulitkan musuh untuk membedakan mana pemberontak
Tionghoa dan mana yang bukan.
Pada
masa Amangkurat V, pemberontakan Tionghoa-Jawa melawan Kompeni masih berlanjut.
Semua diawali sejak 6 April 1762, ketika di suatu Wilayah di Pati, Raden Garendi
dinobatkan sebagai Raja Mataram degan gelar Sunan Amangkurat V atau Sunan
Kuning. Saat penobatan, di samping kanan duduk para ulama dan di samping kiri
para panglima yang berbusana Tionghoa.
Istilah
Sunan Kuning konon berasal dari kata Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi.
Sebutan ini diberikan oleh Panglima Tionghoa saat upacara penobatan. Karena
tidak bisa mengucapkan kata itu dengan baik, mereka menyebutnya sebagai Sunan
Kuning. Tetapi sumber lain mengatakan bahwa itu karena beliau memiliki pasukan
berkulit kuning, yaitu orang Tionghoa yang membangun perlawanan bersenjata
terhadap Kompeni.
Sunan
Amangkurat V mengutarakan kemasygulan hatinya atas sikap Pakubuwono II yang
tadinya berpihak pada Laskar Tionghoa, sekarang ganti memusuhi mereka dan memihak
VOC. Sebelumnya raja Mataram di Kartasura telah memberi perintah kepada seluruh
jajarannya untuk membantu laskar Tionghoa melawan VOC. Tetapi perintah tersebut
dicabut dan diganti dengan perintah sebaliknya, yaitu memihak VOC dan memerangi
laskar Tionghoa. Perintah ini karena Pakubuwono marasa pesimis memenangkan
peperangan jika berkongsi dengan Laskar Tionghoa.
Para
pemberontak mendukung keputusan Amangkurat V. Para pemberontak Lasem sebelumnya
disibukkan dengan serangan tentara Madura. Orang Tionghoa sempat bahu membahu
dengan pasukan Mataram, melawan Kompeni dan Madura. Memang, keadaan sempat
berbailk, para pemberontak tersebut berperang dengan pasukan Mataran yang
dikirim dari Kartasura.
Pada
masa Amangkurat V koalisi Tionghoa-Jawa semakin jelas, Lasem berada dalam
wilayah kekuasaan pemimpin lokal bernama Singseh yang bernama asli Tan Sin Ko.
Ia adalah pemimpin lokal orang-orang Tionghoa di sekitar Jepara sampai Lasem.
Singseh menjadi sekutu Bupati Grobogan, Martapuro ketika melawan VOC.
Dalam
suatu pertempuran, pasukan Singseh dan Martapuro melakukan pencegatan pasukan
VOC yang menuju Juwana pada 15 Oktober 1742. Di tengah jalan Pasukan VOC
ditemui putera Nahkoda Salam. Pedagang Melayu tersebut mengabarkan bahwa para
pemberontak telah mengosongkan Juwana dan mundur ke arah Rembang. Kapten Gerrit
Mom segera memasuki kota tersebut. Ia tiba sehari lebih awal dari pasukan
Nathanael Steinmetz yang datang melalui laut.
Singseh
berusaha menghadang pasukan VOC yang telah sampai di Rembang. Pasukan Kompeni
tersebut marupakan gabungan dari detaseman Mom, Steinmetz dan Hohendorff.
Laskar Tionghoa melawan dengan hebat. Namun karena persenjataan yang lebih
lengkap dan jumlah personel yang lebih banyak, pasukan Kompeni berhasil
menceraiberaikan musuh. Sebagian dari mereka bersama para parjurit Jawa lari
mundur ke Grobogan untuk menuju Kartasura. Sebagian lagi mundur ke arah Lasem.
Diduga mereka berniat ke Pulau Bawean dan merencanakan menuju ke Johor.
Singseh
termasuk salah seorang yang mengambil rute ini. Namun saat ia beserta tujuh
anak buahnya sedang berusaha naik perahu di pantai Lasem, patroli pasukan VOC
memergokinya. Mereka segera melakukan penyergapan Singseh dan kawan-kawan.
Komandan
patroli Kompeni tersebut bernama Bapak Slamat. Ia bekas budak seorang anggota
Dewan Hindia yang bernama Jacob Willem Dubbbeldekop.Singseh terbunuh dalam
pertempuran tersebut. Kepalanya dipenggal dan oleh Bapak Slamat diserahkan
kepada Panglima Operasi Steinmetz. Selain menyerahkan penggalan kepala, Bapak
Slamat juga menyertakan jimat Singseh, berupa patung kepala singa terbuat dari
emas.
Atas
jasanya telah menewaskan musuh besar Kompeni tersebut, Bapak Slamat mendapat
hadiah. Ia menerima sejumlah uang dan 25 rumah tangga yang terletak di dekat
Rembang. Dengan jatuhnya Rembang, maka pesisir utara yang membentang antara
Cirebon sampai Lasem, praktis dikuasai Kompeni. Untuk mempertahankan wilayah
yang berhasil direbut, Kompeni menempatkan sekitar 600 sedadunya di Rembang.
Padahal menurut informasi yang diterima, kekalahan pasukan pemberontak di Lasem
dan tewasnya Singseh menurunkan semangat prajurit pemberontak.
Mengenai
perlawanan pasukan pemberontak Tionghoa lain dari Lasem, ialah perlawanan yang
dipimpin Tan Ke Wie. Mereka melancarkan serangan kepada Belanda dari arah
Timur. Pasukan Belanda ini sempat kewalahan menahan serangan laskar Tionghoa.
Selesai pertempuran Tan Ke Wie menuju Jepara menggunakan perahu. Namun ketika
sampai di Pulau Mandalika, ia dihujani dengan tembakan meriam Kompeni.
Perahunya pecah dan Tan Ke Wie beserta seluruh laskarnya tewas. Untuk
memperingati peristiwa tersebut didirikan tugu peringatan tanggal 5 November
1742 di tengah tambak Bathuk Mimi, milik Tan Ke Wie.
Sejarah
Lasem tidak dapat dilepaskan dari orang Tionghoa yang diusir oleh Kompeni, dari
pemukiman lama, Batavia, yang berbaur dengan orang Jawa. Sebenarnya hal ini
untuk memecah solidaritas antara orang Jawa dan Tionghoa. Namun untuk wilayah
Lasem, cara tersebut kurang berhasil. Kesetiakawanan di antara Jawa-Tionghoa
tetap terbina dengan baik.
Solidaritas
di akar rumput agak berbeda dengan keadaan di tingkat elit kekuasaan,
sebagaimana sikap Pakubuwono II. Meskipun kebanyakan bupati diangkat oleh
Keraton Kartasura dan masih mempunyai hubungan keluarga, namun tidak menjamin
mereka rukun. Penyebab perselisihan antara lain karena saling berebut wilayah
yang tidak punya batas jelas atau kekhawatiran terhadap kekuatan VOC. Keturunan
bupati yang terguling terkadang mengerahkan massa untuk menuntut balas. Hal ini
tentu saja dimanfaatkan Kompeni untuk semakin mengadu domba pihak yang
berselisih.
Peperangan
tidak seimbang, antara pemerintah Kolonial Belanda-yang dibantu oleh adipati
Citrasoma dari Tuban-dengan para pemberontak Lasem ini menjadi penyebab
kekelahan para pemberontak. Satu per satu tokoh-tokoh pemberontak gugur dan
tertangkap. Mantan adipati Lasem tumenggung Oe Ing Kyat, Raden Panji Margana,
Kyai Ali Badawi dan tokoh-tokoh lain gugur dan tumbang.
Lasem
menyimpan jejak abadi persatuan konsisten Tionghoa-Jawa mengusir penjajah
Belanda. Persatuan itu tak pernah luntur oleh materi, pengkhianatan atau
sekedar kecemasan. Perjuangan para pendahulu, tanpa memandang suku, ras atau
latar belakang ini pantas dijadikan tonggak perjuangan konsisten melawan
penjajahan, yang licik dan kejam. Perjuangan mereka dengan mengorbankan nyawa,
memberi hikmah pentingnya persatuan bangsa Indonesia agar tidak mudah dipecah
belah.
Lasem
masih menyimpan jejak para pahlawan tersebut. Di Klenteng Gie Yong Bio, Desa
Babagan, terdapat altar untuk mengormati Raden Panji Margana. Di Gunung Bugel
di sebelah selatan Lasem, seperti pada narasi diatas terdapat makam Bupati Lasem, Oe Ing Kyat yang
oleh Pakubuwono II diberi nama Tumenggung Widyadiningrat.
Sementara
makam Tan Sin Ko alias pemimpin Tionghoa lokal ada di pantai Lasem, yang oleh
Paguyuban Warga Lasem disebutkan ada di Desa Doro Kandang. Tak bisa dilewatkan
mengenang Tejakusuma V, Tejakusuma I alias Ki Angeng Punggur, Sayyid Abdurahman
dan Kiai Ali Badhowi yang turut melawan Kompeni. Mereka dimakamkan di Kompleks
Masjid Jami, kota Lasem.
Sebenarnya
sejarah kita itu luar biasa bila dikaji, para tokoh pejuang kita sangat luar
biasa bila kita dapat menginspirasinya. Tapi pihak Belanda sangat cerdik dalam
strategi, ia menghilangkan sumber sejarah perjuangan. Tidak terkecuali pejuang
Lasem ini dalam tahun ketahun di namakan sebagai berandal oleh Belanda, itulah
agar para penduduk tidak mau meniru dan menginspirasi. padahal sebenarnya perjuangan dan dedikasi
tokoh-tokoh pemimpin tersebut layak disebut pahlawan nasional.
Maturnuwun..
Sumber
: Wikipedia dan cerita tutur
0 on: "Oe Ing Kyat Adipati Tionghoa Pertama di Jawa"