Pada waktu Prabu Brawijaya ke VII atau
Ongkowijoyo VII bertahta selaku raja di Majapahit, (raja-raja yang dahulu juga
dinamakan Brawijaya), Tuban jadi andalan Majapahit. Prabu Brawijaya kawin
dengan Dwarmawati Putri Prabu Campa, suatu kerajaan di Kamboja. Pada waktu
Brawijaya memerintah di Majapahit. Tuban merupakan bawahan dari padanya, di
daerah Tuban berkuasa berturut-turut para Bupati, Aryo Randu Kuning, Aryo
Bangah, Aryo Dandang Miring, Aryo Dandang Wacono, Aryo Ronggolawe, Aryo
Sirolawe, Aryo Wenang, Aryo Leno, dan Aryo Dikoro, yang menurut sejarah
memerintah sejak tahun 1200 hingga datangnya agama Islam ditanah Jawa pada
permulaan abad ke XV.
Pada waktu Brawijaya (Wikramawardhana) memerintah, datanglah para penyiar agama Islam ditanah Jawa. Mereka adalah :
1. Maulana Malik Ibrahim menetap di Laren (kurang lebih 6 pal dari Gresik). Wafat tahun 1419 dan dimakamkan di Gresik.
2. Raden Rahmat anak dari Raja Campa (putri lain dari Raja Campa yaitu Dwarmawati kawin dengan Brawijaya, dengan demikian pernah paman R. Rahmat) Raden Rahmat menetap di Ampel (Surabaya) (dan mendapatkan nama Sunan Ngampel). Wafat tahun 1467 dan dimakamkan di Ngampel.
3. Pangeran Paku, anak dari Putri Blambangan (dekat Banyuwangi) dan menetap di Giri. Wafat pada tahun 1483 dan dimakamkan di Giri.
4. Mahdum Ibrahim, Putra Raden Rahmat (Sunan Ngampel) menetap di Bonang (dekat Lasem) dan dinamakan Sunan Bonang. Dari Desa Pantai Bonang, beliau memperluas agama Islam kejurusan Tuban. Dapat dipercaya, sejarah yang menjelaskan bahwa beliau datang dari Tuban : Ibunya Ageng Manilo, kakak perempuannya Nyai Ageng Manyuro (Putri dari Sunan Ngampel) dan murid-murid lainnya lagi banyak dimakamkan di Tuban.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1486 dan
dimakamkan di Bonang. Akan tetapi selanjutnya dipindah dimakamkan dalam Kota
Tuban. Di dalam keterangan Dr. D.J.C. Schrieke, Sunang Bonang tidak disebut
sebagai orang Islam yang pertama, tetapi sebagai imam (jauh sebelum beliau di
Tuban telah ada orang-orang yang telah memeluk agama Islam). Ini dapat dibuktikan,
dimana para Bupati Tuban, mulai Bupati Arjo Tejo, pada tahun 1460 telah memeluk
agama Islam.
5. Sunan Drajat (masih Moenat) putra ke II dari Sunan Ngampel, menetap di Drajat (dekat Sedayu).
6. Sunan Kalijogo (R.M. Sahit) Putra Wilotikto Bupati Tuban dan kemenakan Sunan Bonang, menetap di Kalijogo dan dengan demikian dinamakan Sunan Kalijogo.
7. Syeh Nurudin Ibrahim Ibn Maulana Israel atau secara singkat dinamakan Syeh Ibn Maulana, menetap di Gunung Jati (dekat Cirebon) dan demikian dinamakan Sunan Gunung Jati.
Brawijaya VII Raja Majapahit, melepaskan demi permintaan Permaisuri Dwarawati, salah seorang selir, yang telah hamil. Beliau menghadiahkannya kepada putranya Aryo Damar, yang menetap di Palembang. Disana istri tersebut (Dewi Kiyan, dari Tiongkok) melahirkan seorang putra yang dinamakan Raden Patah. Aryo Damar sendiri dengan Dewi Kiyan tersebut mempunyai seorang putra yang dinamakan Raden Kusen. Maka Raden Patah dan Raden Kusen adalah dua orang bersaudara, mempunyai ibu yang sama : yang pertama putra cucu Brawijaya, sedang yang kedua putra dari Aryo Damar.
Atas permintaan Aryo Damar, Raden Kusen pergi
ke Majapahit untuk tinggal menetap pada neneknya Brawijaya. Akan tetapi Raden
Patah membenci ayahnya Brawijaya, karena beliau melepas ibunya.
Raden Patah kawin dengan cucu Sunan Ngampel dan
menetap di Bintoro (Demak). Brawijaya mengirim seorang utusan kesana untuk
memanggil putranya datang ke Majapahit. Suatu siasat dari Brawijaya melunakkan
anaknya dari kebencian yang telah dikandungnya, ialah dengan mengangkat Rden
Patah sebagai Bupati Bintoro.
1460 pada waktu Sunan Ngampel wafat, Raden Patah minta bantuan pada para penyiar agama Islam, yaitu Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Ngundung dari Kudus, untuk bersama-sama memerangi Brawijaya, yang dipimpin oleh Panglima Raden Kusen yang tetap setia kepada Prabu Majapahit, neneknya.
1460 pada waktu Sunan Ngampel wafat, Raden Patah minta bantuan pada para penyiar agama Islam, yaitu Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Ngundung dari Kudus, untuk bersama-sama memerangi Brawijaya, yang dipimpin oleh Panglima Raden Kusen yang tetap setia kepada Prabu Majapahit, neneknya.
Tuban yang semula daerah bawahan dari
Majapahit, pada waktu perangnya agama Islam dengan agama Hindhu, memihak R.
Patah. Pada waktu itu Syeh Abdurahman, yang juga disebut Aryo Tejo, merupakan
bawahan dari Majapahit.
Brumund mengatakan, bahwa
memeluk agama Islam sepanjang pantai utara Pulau Jawa, lebih-lebih yang menetap
di Jawa Tengah, dapat melebarkan daerah pemeluk agama Islam dan menggabung
dengan Kerajaan Demak.
Dari peperangan yang berlangsung lama sekali.
Tidak banyak diketahui orang. Hanya diketahui bahwa R. Kusen panglima dari
angkatan perang Majapahit berhasil menghancurkan Tentara Islam yang panglimanya
adalah Sunan Ngundung dari Kudus.
Diantara mereka yang setelah peperangan lari
menuju barat sepanjang pantai, antara lain terdapat Maulana Iskak, dari kakak
Sunan Ngampel. Maulana Iskak lari ke Gresik (lebih kurang 5 pal dari Tuban),
yang kemudian dikejar oleh Angkatan Perang Majapahit di bawah Pimpinan Pati
Barat Ketigo, yang kemudian di Gresik mengulangi perang kembali. Tetapi dapat
dipukul mundur karena kekuatan yang gaib, dari kalam Maulana Iskak.
Pada tahun 1478 Patah menaklukkan
Majapahit dan membawa segala kekayaan dari keraton ke Demak. Para pribumi dari
Tuban dapat menjelaskan bahwa “Watu tiban” yang letaknya dibelakang kantor
pemerintahan daerah yang sekarang, dan barang lainnya yang sekarang berada di
makam Sunan Bonang, setelah jatuhnya Majapahit, oleh Sunan Bonang dari
Majapahit dibawa ke Tuban.
Mengenai nasib Prabu Brawijaya tersiar banyak
dongengan-dongengan. Sementara orang mengatakan bahwa beliau gugur di Majapahit
atau bunuh diri : orang lain lagi mengatakan bahwa beliau lari ke Blambangan
atau Pulau Bali, sedang cucunya yang tetap setia padanya lari ke Terung
(Sidoarjo).
Diketahui oleh para pribumi di Tuban, bahwa
Prabu Brawijaya ini akhirnya dimakamkan di atas angin, Desa Kedong Ombo dekat
ibukota Tuban. Setelah beliau akhirnya pergi lari ke Blambangan atau Pulau
Bali, R. Patah meminta Sunan Kalijaga datang kepada Prabu Brawijaya agar raja
ini bersedia datang ke Demak yang akan diterima baik oleh putranya ialah Raden
Patah. Sunan Kalijaga telah dapat menemui Prabu Brawijaya yang kalah dalam
peperangan itu dan dapat berhasil mempengaruhi Prabu Brawijaya yang beralih
memeluk agama Islam. Kemudian mereka melalui laut bersama-sama pergi ke Tuban.
Di atas angin dekat Tuban pada waktu itu telah
menetap Raden Margono, Putra Prabu Siliwangi Raja Pajajaran telah memeluk agama
Islam, yang oleh karenanya diusir ayahnya. Raden Margono kawin dengan Nyai
Ageng Junun, putri dari Nyai Ageng Manyuro (putri dari Sunan Ampel dan kakak
dari Sunan Bonang).
Di dalam hutan lebat yang kemudian menutup
daerah atas angin, menetaplah Prabu Brawijaya yang telah didalam peperangan dan
lari itu. Sekalipun beliau memeluk agama Islam, beliau tidak bersedia pergi ke
Demak untuk menemui putrannya R. Patah, yang pernah menghancurkan beliau dalam
peperangan dan sekarang mungkin karena menyesal ingin menjumpai ayahnya kembali
dan menolongnya.
Nasib Prabu Majapahit ini akhirnya sangat
menyedihkan, yang menyelesaikan hari-hari akhirnya sampai wafat di dalam tempat
pembuangan selaku seorang pertapa dekat Tuban. Rumah dari bambu dan meratap
sirap adalah merupakan penutup makamnya (sekarang sudah diperbaiki).
Pada tahun 1478 setelah Majapahit jatuh Raden Patah menjadi Raja Demak dengan nama Panembahan Jimbun. Pada waktu itu Tuban menjadi bawahannya.
Pada tahun 1478 setelah Majapahit jatuh Raden Patah menjadi Raja Demak dengan nama Panembahan Jimbun. Pada waktu itu Tuban menjadi bawahannya.
Tahun 1490 R. Patah Raja Demak
wafat dan diganti oleh putranya Pangeran Sabrang Lor yang wafat pada tahun 1493
dan diganti oleh putranya atau saudara dari R. Patah, yaitu Pangeran Trenggono,
beliau ini menjadi raja di Demak sampai pada tahun 1539.
Dalam catatan Groeneveldt mengenai Kepulauan
Malaya dan Malaka tertulis pada tahun 1416 ada seorang musyafir bangsa Tiongkok
yang menyatakan : Pulau Jawa dahulunya namanya Japa, ini mempunyai 4 kota
kesemuanya dengan tembok-temboknya tinggi. Kapal-kapal dari negara-negara lain
yang datang di Pulau Jawa pertama-tama singgah di Ts’ets’un (Kota Gresik), kemudian
di Surabaya, Tuban dan akhirnya di tempat yang dinamakan Majapahit, dimana
bersemayam seorang raja.
Seorang ahli sejarah Dr. B.J.O. Schrieke di
dalam skiripsinya yang dinamakan, “buku mengenai Sunan Bonang” yang dipetik
dari Pararaton menjelaskan, bahwa Tuban pada abad XIII telah dikenal sebagai
pelabuhan di Jawa Timur. Bahkan sejarah Tuban ini adalah sudah dikenal jauh
sebelumnya, dimana dapat dibuktikan di Tuban telah diketemukan batu yang ada
tulisannya. Ini adalah suatu prasasti, demikian kata Dr. Schrieke tersebut,
sebagai bukti bahwa Tuban umurnya telah berabad-abad. Soal yang layak
diberitakan, bahwa ada suatu kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh raja
dalam bidang perdagangan melalui laut, yang cap negaranya adalah Garuda Mukha.
Kemudian dijelaskan bahwa
hanya ada dua orang raya yang menggunakan cap Garuda Mukha tersebut ialah :
1.
Raja
Kediri tahun 1136. Dapat disangkal bahwa tulisan pada batu berasal daripada
Raja Kediri ini, karena Kerajaan Kediri tidak pernah mempunyai wilayah seutara
itu.
2.
Tidak ada lain daripada Prabu Airlangga
sendiri, raja dari Jawa Timur. Dengan demikian batu tersebut sudah ada pada
waktu pertengahan abad ke II.
Dari catatan-catatan dihimpun oleh bangsa
Portugis yang pergi menjelajah lautan, ternyata bahwa pada tahun 1513 Tuban
telah diketahui oleh orang-orang Portugal Antonio d’Abreu berlayar pada tahun
1513 sepanjang pantai utara Pulau Jawa sedang seorang pedagang yang bernama
Nakhoda Ismail oleh d’Albuquerque dari Malaka ditugaskan berlayar, tetapi dekat
Tuban kapalnya pecah. Pada waktu itu Tuban dikatakan wilayah dari
“Sanguedepaten dama” (sang Adipati Demak, dari Raja Demak waktu itu Pangeran
Trenggono). 1521 Antonio de Brito
diperintahkan oleh Raja Portugal berlayar dan datang di Tuban dan Gresik.
Jaka Tingkir mempunyai peranan penting dalam sejarah Jawa kuno yang ayahnya pada waktu itu Bupati Pengging (dekat Sala sekarang) yang atas perintah Raden Patah dibunuh karena tidak suka mengakui Raden Patah selaku Raja Demak. Pangeran Trenggono menyayangi Joko Tingkir tersebut, memberikan putrinya untuk diperisterikan, menghadiahkan nama Panji Mas, dan mengangkatnya sebagai Bupati Pajang dari Mataram (wilayah Jawa Tengah).
1539 Pangeran Tranggono wafat. Daerah Demak
dibagi Pajang dan Mataram ada di bawah Jaka Tingkir, Panji Mas. Anak tertua
dari Pangeran Trenggono mendapat bagian Semarang dan Demak, putra ke dua
mendapat bagian Kedu dan Bagelen, sedang putra yang bungsu Jipang (Kerajaan
Hindu Jawa Bowerno, yaitu Bojonegoro dan Blora), seorang anak menantu lagi Jepara,
Pati dan Rembang anak menantu lagi diberi Madura, Sedayu, Gresik, Surabaya dan
Pasuruan. Dalam hal ini mungkin termasuk Tuban.
Bupati Jipang menaruh dendam dan iri hati
terhadap kakaknya dan juga iparnya yaitu Bupati Jepara, Pati, Rembang dan
menyuruh membunuhnya : ini menyebabkan setelah wafatnya Pangeran Trenggono
banyak intrik-intrik yang selesai setelah Adipati Jipang wafat. Oleh Jaka Tingkir
atau Panji Mas, Adipati Jipang dibunuh dalam perkelahian berdua.
1568 Jaka Tingkir (Panji Mas) menugaskan Raja
Islam di Giri untuk dinobatkan sebagai Sultan Pajang dan Jipang. Pada saat itu
Tuban menjadi wilayah Pajang dan Jipang. Putri Jaka
Tingkir kawin dengan Bupati Tuban Aryo Permalat. Pemerintahan
di Mataram yang pada waktu itu terdiri dari 300 Kepala Somah oleh Sultan Pajang
dikuasakan pada Kyai Gede Pemanahan yang menetap di Pasar Gede dan kemudian
tahun 1575 wafat dan diganti oleh Mas Ngabei Sutowijoyo. Beliau ini dari Sultan
Pajang mendapatkan Gelar Senopati ing Ngalogo.
1582 Sultan Pajang diracun oleh Mas Ngabei
Sutowijoyo. Ketika itu Tuban menjadi jajahan Mataram. Dari catatan Frank van
der Does pada waktu belajar, dijelaskan bahwa orang-orang Belanda pada tahun
1596 tanggal 2 Desember datang di Tuban berlabuh dan berdagang.
1598 Jacob van Heemskerk datang di Tuban diterima secara orang timur oleh raja bersama gubernurnya yang bernama Ragalela berasal dari Portugal.
1598 Jacob van Heemskerk datang di Tuban diterima secara orang timur oleh raja bersama gubernurnya yang bernama Ragalela berasal dari Portugal.
Dikatakan : “Saya ingin sekali tahu Kota
Tuban”, demikianlah tulisan dari Vice Admiral Jacob van Heemkerk di dalam
catatan pelayarannya yang selanjutnya dikatakan, “demikian raja menyertai saya
dengan dua orang datang ke daratan, untuk melihat istananya. Setelah datang di
daratan, saya membawa dua atau tiga orang dan seorang anak lagi, yang rupanya
putih. Raha dan penggawanya sangat heran dan membawa kami ke dalam ruangan
dimana telah hadir permaisuri-permaisuri raja (selir) yang banyak yang menurut
dugaan kami berjumlah 50 sampai 60 orang. Orang-orang peserta saya dipanggil
untuk mendekat pada beliau dan penggawa yang nampak selalu keheran-heranan.
Raja berbicara sekedar pada permaisuri (kedua
beliau ini nampaknya sama sangat gemuknya) kata-kata mana saya tidak mengerti,
tetapi para beliau itu kemudian sama ketawa terbahak-bahak, beliau kemudian
memerintahkan untuk meniup terompet, yang segera dilaksanakan, kemudian mereka
pergi untuk menyertai kami, diikuti dengan beberapa orang wanita, putrinya
masih remaja, yang sama membawa air, sirih, kapur dan lain-lain barang lagi”.
Antara orang Belanda dan raja nampaknya
terjalin suatu pengertian yang baik, ternyata raja memberi hadiah yang berharga
berupa sebuah keris dengan tempat dari emas yang tentunya menimbulkan
keheranan. Vice Admiral mencatat di dalam bukunya agar kelak membawa kain untuk
pakaian terdiri dari bunga-bunga yang berwarna ditambah dengan barang-barang
lain yang sangat indah untuk disampaikan kepada raja, sekalipun demikian Vice
Admiral tadi menggerutu, karena dangkalnya pelabuhan, sehingga kapalnya harus
berlabuh jauh dari pantai.
1601 Mas Ngabei Sutiwijoyo wafat setelah
memanggil para bupati dari Cirebon, Sumedang, Madura dan Tuban untuk datang di
ibukota Pasar Gede untuk mengakuinya sebagai Raja Mataram. Beliau diganti oleh
putranya yaitu Panembahan Sedo Krapyak (Mas Jolang).
1613 Panembahan Sedo Krapyak wafat setelah bertempur dengan Gresik yang tidak suka mengakui kedaulatannya. Pada waktu itu Gresik di bawah Pimpinan Gubernur Jenderal Both sedang membangun suatu gedung, yang oleh Panembahan Sedo Krapyak dimusnahkan.
Panembahan Sedo Krapyak diganti oleh putranya bernama Martopura, yang telah menjadi raja sampai tahun 1638 yang kemudian diganti oleh kakaknya Cokrokusumo (R. M. Rangsang) yang kemudian mendapatkan gelar Sultan Agung dan wafat pada tahun 1645. Banyak bupati dari Jawa Timur diantaranya bupati dari Surabaya, Lasem dan Tuban tidak bersedia mengakui kedaulatan Sultan Agung dari Mataram yang dianggap jahat itu dan bertempur bersama-sama melawan tentara kerajaan.
Pada waktu itu ternyata Angkatan Laut Tuban sangat kuatnya. Hal ini dapat diketahui di dalam tulisan pada tahun 1615 oleh Balthazar van Eijndhoven, yang menyatakan : “musuh-musuh dari kaisar (yang dimaksud Sultan Agung Mataram) ialah Tuban, Lasem, Brondong, Surabaya, Paciran yang bersama-sama melawan tentara kerajaan pada tahun 1615, di daratan raja sangat kuat, tetapi di laut Tentara Tuban yang kuat”.
1615 Tuban yang bupatinya bernama Pangeran
Dalem, diserang dan dikuasai oleh prajurit-prajurit Mataram dibawah Pimpinan
Kyai Randu Watang yang dapat menguasai bentengnya Pangern Dalem dan menyita
meriam yang keramat dari Tuban yang bernama Kyai Sidomurti yang didapatnya dari
orang-orang Portugis atau orang-orang Belanda yang pertama-tama mendarat di
Jawa.
Pangeran Dalem yang di lautan lebih kuat daripada
di daratan lari ke Bawean dan kemudian sebagai Bupati Tuban diganti oleh utusan
dari Mataram yaitu Pangeran Pojok. Dengan demikian maka Tuban menjadi wilayah
Mataram kembali. 1620 Surabaya
diserang oleh tentara dari Mataram, sedang Lasem dan Pasuruan telah dijatuhkan
lebih dulu.
1623 Surabaya diserang kembali oleh Mataram dan
dikuasai. 1645 Sultan Agung wafat
diganti oleh puteranya yang kedua yaitu Pangeran Aryo Prabu, dengan Gelar
Amangkurat. Dalam waktu pemerintahannya ada 4 orang Gubernur Pantai yaitu di
Juana, Jepara, Semarang, dan Demak. Bupati Tuban pada waktu itu kedudukannya
tidak mudah dan seperti juga halnya bupati-bupati bawahannya dari Mataram
lainnya, lebih banyak berada di ibu kota Amangkurat dari pada didaerahnya
sendiri.
Maka tidak meng¬herankan, bahwa pada
pemberontakan Trunojoyo tahun 1674 Bupati Tuban berada di pihak pemberontak.
Menurut sejarah yang dituturkan oleh pribumi di Tuban, agaknya Trunojoyo pernah
juga datang di Tuban antara lain di Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding, yang
menyebabkan orang pribumi sekarang banyak yang ingin pakai nama “Truno”.
Hampir semua daerah pantai menyatakan dirinya
bebas dari penguasaan Mataram yang dipandang jahat dan sewenang-wenang itu. 1677 Adipati Anom ialah putra dari
Amangkurat yang telah memadamkan pemberontakan, dilantik sebagai Susuhunan
Mataram dengan nama Amangkurat ke II. Kemudian dicapai persetujuan dengan
Mataram, yang menyatakan bahwa semua pelabuhan tepi pantai utara mulai dari
Krawang sampai Jawa Timur, jadi termasuk Tuban digadaikan pada Belanda, karena
utangnya Mataram pada waktu peperangan.
1678 Angkatan Perang dibawah Hurt dan St.
Martin melawan Trunojoyo. Sebagian dari Angkatan Perang dibawah Kapten Muller
dan Kapten Remesse menuju Rembang. Bupati Tuban Raden Arya Dipusana bertempur
pada pihak, Trunojoyo dan di Singkul (Sedayu) gugur dalam serangan Angkatan
Perang Hurt, Kediri yang digunakan sebagai basis Trunojoyo, dikuasai oleh Tak.
Para Bupati Tuban dan Sedaju kemudian kembali memihak Mataram. 1679 Pangeran Puger dan Senopati
berontak.
1703 Amangkurat ke II dari Mataram diganti oleh
Amangkurat ke III (Sunan Mas). 1704 Pangeran
Puger minta pertolongan Pemerintah Belanda menyerang Raja Amangkurat ke III.
Para bupati dari pantai utara berada di pihak Pangeran Puger dan mengakui
beliau sebagai Susuhunan Pakubuwono yang pada tahun 1705 oleh Pemerintah
Belanda diakui sebagai Raja Mataram. 1705
Dibuat persetujuan baru dengan Mataram dan menyerahkan Cirebon serta Priangan
pada Belanda. Raja Amangkurat ke II atau Sunan Mas dipecat sebagai raja dan
memihak pada pemberontak Suropati.
1706 Angkatan Perang dibawah Mayor Govert Knol
menyerang pemberontak. Suropati dekat Kali Porong mendapat luka-luka dan gugur. 1707 Angkatan Perang dibawah Pimpinan
Van de Wilde mengalahkan Kediri. Bupati Sampang Cakraningrat menggunakan
kesempatan ini untuk diangkat sebagai Panembahan dari daerah pantai bagian
timur. Dengan demikian beliau mengalahkan Bupati Gresik dan memindahkan Bupati
Sedayu ke Tuban. De Wilde kemudian mengalahkan kembali kabupaten-kabupaten
pantai dan mengangkat orang yang terpercaya sebagai Bupati Tuban. Telah
ditentukan bahwa Susuhunan Mataram dapat mengangkat Gubernur Daerah Pantai
Timur, tetapi dengan persetujuan Pemerintah Belanda. Sunan Mas menyerah dan
dibuang ke Sailan. Pada tahun 1708 Pangeran Puger diangkat jadi raja dengan
gelar Paku Buwono ke I.
1709 Semua bupati dipanggil mengikuti
konperensi kerja di Kartasura dengan Gubernur Knol dan Susuhunan. Pada waktu
itu sistem tanam paksa dan wajib bantu diadakan. Dengan demikian Tuban harus
mewujudkan 240 ringgit kontan ditambah dengan 12,5 koyan beras ditambah lagi
benang kain, kayu sapan dan kulit kerbau. Waktu itu Kerajaan Mataram dibagi
atas 43 kabupaten. Jabatan Gubernur Daerah Pantai dicabut. 1710 Para pemberontak dibawah
Bupati Winongan, menguasai Pasuruan. Kepala-kepala pemberontak menghancurkan
Tuban. 1719 Paku Buwono ke I mangkat dan diganti oleh P.
Prabu juga dinamakan Sunan Prabu atau Amangkurat ke IV. Yang membantu para
pemberontak antara lain Diponegoro, Diposanto, Pangeran Purboyo, Pangeran
Blitar, Aryo Mataram, dan Mangkunegoro. Pada tahun 1723 pemberontakan berhenti.
1727 Sunan Prabu mangkat dan diganti oleh
puteranya yang kemudian diangkat dengan Gelar Paku Buwono ke II jadi raja. Pada
tahun 1733 dibuat persetujuan baru dengan Paku Buwono ke II. 1740 Di Pulau Jawa timbul
pemberontakan Cina. Paku Buwono ke II membantu para pemberontak. Tuban, Gresik
dan Lamongan pun membantu pihak Cina, tetapi kemudian oleh Bupati Madura
Cakraningrat dan puteranya Bupati Sedayu yang keduanya tetap setia kepada
Belanda dapat menduduki Tuban, Gresik dan Lamongan. 1741
Para pemberontak mengakui Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai raja.
Pemerintah Belanda memberikan bantuan lagi dan mengakhiri pemberontakan.
1743 Dibuat suatu persetujuan baru dengan Paku
Buwono ke II dimana sebagian besar dari Jawa Timur termasuk Daerah Rembang
menjadi daerah Kompeni. P. Cakraningrat dari Madura yang pernah memberikan
bantuan yang kuat minta diserahkan Gresik, Tuban, Sedayu dan Surabaya sebagai
wilayah kabupaten anaknya yaitu Bupati Sedayu yang kemudian pakai gelar Panembahan.
Ini menyebabkan Van Imhoff memberikan perhatian
kepada para penguasa O.I.C, karena soal-soal yang tidak layak dari Bupati
Madura, tindakan-tindakannya yang kurang dapat dibenarkan, sikap¬sikapnya yang
pemarah, dan tindakan-tindakan lain lagi yang berani tetapi tidak sehat.
Pemberontakan baru dari
Cakraningrat menyebabkan Tuban dan Sedayu dikuasai oleh Komisaris Varrijssel.
Bupati Tuban dan bahkan Putra Cakraningrat yaitu Bupati Sedayu, mengakui
kedaulatan Kompeni. 1745 Sekalipun Tuban masih merupakan daerah Mataram,
dapat mengadakan pilihan dan penunjukan atas persetujuan Verrijssel,
pemimpin-pemimpin terdiri dari pembesar Jawa masing¬masing di Gresik, Tuban dan
Sedayu.
Orang Madura yang masih bersembunyi di Rembes (Tuban) kemudian dapat
diusir. 1746 Gubernur Jenderal Van Imhoff turun ke Jawa Timur
ka¬rena menurut laporan di Jawa Timur selalu banyak menghebohkan Kompeni. Pada
waktu itu atas usul Komisaris Verrijssel oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff
Tuban menjadi daerah bawahan Rembang, dengan demikian hubungan Tuban daerah
timur yang mengakui penguasa Surabaya terhenti.
1749 Daerah Kerajaan Mataram diserahkan kepada
Kompeni. Meskipun demikian Gubernur Jenderal Van Hohendorff mengangkat Pamgeran
Pati sebagai Paku Buwono ke III. Kemudian timbul pemberontakan dari Mangkubumi,
yang menyatakan diangkat sebagai Sultan Mataram. Kemudian timbul pertempuran
terhadap Mangkubumi dan Mas Said. 1755 Oleh
Gubernur Semarang Nikolas Hartingh separuh dari Mataram diserahkan kepada
Mangkubumi, yang kemudian mendapat Gelar Sultan Amangkubuwono dan menetap di
Yogyakarta.
1757 Mas Said mendapat Gelar Pangeran Adipati
Aryo Mangkunegoro, Bupati Madura diangkat menjadi “Wedono” atau “pelindung”
dari kabupaten-kabupaten timur seperti Pamekasan, Pasuruan, Bangil,
Probolinggo, Gresik, Lamongan, Sedayu, Lasem dan Tuban. Gubernur dari Daerah
Pantai Utara Jawa Hartingh menulis didalam catatan serah terima tahun 1761
mengenai Tuban sebagai berikut : Tuban
adalah daerah yang luas dan lebar, tetapi daerah pegunungan dan hutan. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Kali Solo, disini letaknya Pasar Prambon
Wetan, yang perbaikannya tergantung kepada keadaan daerah atasan, dalam mana
Tuban selama bertahun-tahun belum pernah memberikannya, disini kepalanya ialah
Tumenggung Rana Negara orang sudah tua, bodoh, sangat jahat terhadap rakyat,
tetapi prajurit yang baik yang menyebabkan daerah ini dapat diserahkan kepada
Kompeni dan tetap setia kepadanya, ia selalu dapat menghalaukan musuh, sehingga
padanya perlu diberikan sesuatu dispensasi. Dia memberikan pada Rembang 100
koyan beras kontan dan seribu pikul kayu sebetan untuk penggergajian bagi
Kompeni, uang sejumlah 325 ringgit dan persewaan tanah sejumlah 2250 ringgit
setiap tahunnya. Juga apabila pekerjaan terlalu sibuk, masih diberikan tambahan
kayu glondongan untuk penggergajian, dan tepi pantai dipergunakan untuk
perahu-perahu kecil, juga kayu diberikan untuk pembuatan pasar-pasar dan untuk
diberikan kepada pedagang-pedagang kecil.
1787 Paku Buwono ke III mangkat dan diganti
oleh Paku Buwono ke IV (Sunan Bagus). Pada waktu itu sudah ada Gubernur dari
Pantai Utara Sebelah Timur Pulau Jawa (yang pertama tahun 1747 Honhendrff,
selanjutnya Gubernur Hartingh, Van Ossenbergh, Vos, Can der Burgh, Siberg,
Greeve dan Van Overstraten).
Kemudian Gubernur Van der Burgh pada tahun 1773
mengusulkan kepada Gubernur Jendral agar Bupati Tuban Mas Rekso Negoro atau Mas
Tumenggung Cokro Negoro dipecat sebab memberikan beban baru pada bawahannya,
pada rakyat. Dari 100 koyan beras yang tiap tahunnya rakyat harus
memberikannya, yang 30 koyan dibayar, tetapi sisa yang 70 koyan seperti benang
kain halnya, tidak dibayarnya. Keterangan
mengenai Tumenggung Rana Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam daerah Tuban lama, banyak bupatinya. Di antaranya, Tuban, daerah atasan sampai Kali Solo.
Dalam catatan serah terima pada tahun 1780
Gubernur Pantai Utara Timur Pulau Jawa Van der Burgh Gubernur yang berhenti,
menjelaskan kepada penggantinya Gubernur Siberg, bahwa Bupati Tuban Purbonegoro
(Purwonegoro) yang telah diketahui sejak beberapa lama agak menyimpang, tetapi
kemudian seperti juga halnya dengan Bupati Lasem membutuhkan waktu yang lama
kesabaran gubernur untuk dapat mengharapkan suatu perbaikan. Terhitung dari daerah pantai utara
timur Pulau Jawa yang ikut Pemerintahan Belanda adalah termasuk Karesidenan
Rembang yang membawahkan Kabupaten Rembang, Lasem dan Tuban, begitu
daerah-daerah sebelah timur Tuban dikuasai oleh penguasa¬penguasa Jawa Timur
dan dibawah Gubernur Pantai Utara Pulau Jawa dan menetap di Surabaya yang
membawahkan Residen Gresik.
1808 Dibawah Gubernur Jenderal Daendels
Pemerintahan Pantai Jawa Utara, dihapuskan. Residen menjadi Prefect (kemudian
dibawah Raja Lodewijk diganti nama Landdrost). Jawa Timur diserahkan pada
pimpinan penguasa di Surabaya. Gresik dimana ada Residennya diserahkan kepada
Onderperfect. Tuban dijadikan satu dengan Gresik. Kemudian Daendels mengadakan
konperensi, kerja dengan penguasa beberapa Perfect dan 38 bupati dari daerah
pantai utara timur mengenai susunan pemerintahan dalam daerah. Dibawah Gubernur
Jenderal Raffles Rembang terma¬suk Tuban dijadikan Karesidenan kembali.
1827 Pada waktu ada pemberontakan Pangeran Diponegoro juga di Rembang ada pemberontakan dipimpin oleh Tumenggung Sosrodilogo, kakak dari Sultan Agung Yogyakarta yang berhasil menguasai Blora dan Tuban. 1828 Jenderal Holsman mengalahkan para pemberontak. 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang. Permusuhan berhenti, dan sejak itu ketenteraman di Tuban tidak diganggu lagi oleh kericuhan, di dalam daerah.
Maturnuwun..
Nb : sumber Wikipedia dan
sumber terpilih lainnya
0 on: "Peran TUBAN Dalam Kilasan Sejarah Nusantara"