Akarasa
– Selamat siang kadang kinasih akarasa, dalam hidup kadang manusia dihadapkan
situasi dimana kita merasa perjalana begitu terjal dan menyesakkan. Satu hal
yang paling mendasar yang perlu kita pahami bahwa, setiap manusia sedang
berjuang meski tidak di jalan yang sama. Setiap manusia mendapat bagiannya
masing-masing dari Sang Mahaadil.
Bertelekan
pada narasai diatas, maka kita tidak perlu berkecil hati. Semua orang sama
mengalami. Toh kita tidak pernah sendiri. Bukankah Petitah Semesta lebih dekat
daripada urat nadi kita sendiri? Sebagian dari yang tersesat, bukan karena lupa
kemana arah tujuan. Tapi karena butuh seseorang untuk meyakinkan, bahwa di
perjalanan ia tak sendirian. Setiap perjalanan memberi pelajaran untuk mengenal
diri sendiri lebih dalam.Merujuk pada tajug diatas, falsafah ngaji rasa adalah
falsafah hidup masyarakat Jawa maupun Sunda yang sarat akan makna. Falsafah
hidup ini sebenarnya menyebarluas di kehidupan leluhur kita dulu namun banyak
dari generasi kini yang belum tentu tahu dan menghayati pemaknaannya.
Istilah
“Ngaji rasa” adalah gabungan dari dua kata yaitu ngaji dan rasa. “Ngaji”
berasal dari kata kaji yang artinya ‘belajar’, mempelajari atau mengkaji
sedangkan kata “rasa” adalah tanggapan yang dialami indra atau yang dialami
hati. Kata ngaji dari istilah “ngaji rasa” lebih dekat pada kata “mengkaji”
artinya mengkaji sesuatu yang menjadi tanggapan indrawi maupun tanggapan hati.
Sebab
hidup manusia diberkahi dengan akal dan hati, maka akal yang mengusahakan untuk
mengaji dan hati yang mengusahakan untuk merasa. Akal dan hati tidak bisa
dipisahkan karena saling berhubungan, juga keduanya adalah modal utama untuk
ngaji rasa. Rasa sebagai objek untuk dikaji tidak hanya sebatas perasaan yang
kita rasa, namun juga rasa sebagai pengertian respon indrawi yang mencakup rasa
sakit, pahit, geli, gatal, ngilu dan sebagainya.
Konsep
pada falsafah ngaji rasa terletak pada keterhubungan antar rasa (rasa dan
perasaan), artinya satu adalah semua dan semua adalah satu. Dalam sebuah hadis
dikatakan: ibarat satu tubuh; apabila matanya marasa sakit, seluruh tubuh ikut
merasa sakit; jika kepalanya merasa sakit, seluruh tubuh ikut pula merasakan sakit. Jika kita sakit gigi misalnya, maka tubuh
serasa seluruhnya sakit meskipun tidak bisa kita tunjuk dan bawaannya tidak
enak untuk melakukan apapun. Begitu juga seharusnya dalam lingkup sosial,
empati sesama manusia. Jika temanmu merasakan penderitaan atau tersakiti maka
sepatutnya kamu juga berempati untuk menolong dan menjaganya supaya ia tidak
merasa tersakiti (rasa atau perasaan).
Pemaknaan
tentang ngaji rasa adalah bagaimana kita mempertimbangkan sesuatu sebelum
bertindak dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan pada diri kita. Pertanyaan
dan pernyataan ini benar-benar ditunjukan pada nurani diri sendiri. Di sinilah
letak ngaji dalam falsafah “ngaji rasa” terutama tindakan-tindakan yang
ditunjukkan pada orang lain. Contohnya, Jika kita bercanda dengan menghina
keterbatasan orang lain, maka sebelumnya kita ajukan dulu pada diri kita; “jika
saya di posisi dia, apakah saya juga akan merasa senang atau tidak?” Kata
kuncinya adalah berbalik, balikan perasaan orang lain dengan persaan kita
sendiri lewat pertanyaan dan pernyataan.
“Jika
kamu tidak suka dihina, maka jangan hina orang lain. Jika kamu merasa sakit
dipukul orang lain, maka jangan pukul orang lain”
“Jika
kamu merasa senang dicintai orang lain, maka cintailah orang lain. Jika kamu
senang di tolong orang lain, maka tolonglah orang lain”
Jauh
lebih dalam pemaknaan ngaji rasa yang berhubungan dengan nurani adalah ngaji
rasa pada diri sendiri dengan tindakan jelek yang dilakukan pada diri sendiri
(mendzalimi diri). Sebelum mendzalimi diri sendiri maka pertimbangkan dahulu
(ngaji) pada diri sendiri apakah dengan tindakan ini saya akan merasa rugi?
Sombong atau iri hati misalnya, kan tidak ada ruginya bagi orang lain. Lalu apa
ada yang bisa saya pertanyakan lagi sebagai bahan mengaji? Ada.
Yang
saya sakiti adalah hati nurani sendiri, jika saya membiarkannya terus melakukan
dosa (kejelekan) maka dalam hati nurani saya akan menjadi titik hitam per satu
dosa. Jika terus menerus melakukan kejelekan makan akan banyak titik hitam dan
terus menghitamkan hati nurani kita. Jika hati kita sudah sangat hitam, maka
susah untuk menangkap cahaya (kebaikan). Kebaikan yang ia dapat sendiri maupun
diberitahu oleh orang lain meskipun ia “tau” tentang kejelekkannya. Ingat, tau
belum tentu ngerti , ngerti juga belum tentu bisa.
Begitu
pula sebaliknya, jika kita melakukan yang terbaik untuk diri sendiri, siapa
yang merasa untung dan senang? Tidak hanya diri kita tapi juga orang lain, dan
itulah konsep holistik dalam falsafah “ngaji rasa” karena jika diri sendiri
sudah baik pasti akan berdampak pada orang lain. Disadari atau tidak, kebaikan
dan kejelekan pasti akan menular.
Bayangan
saya jika setiap pejabat benar-benar mempertimbangkan rasa dan perasaan sebelum
bertindak untuk dirinya atau orang lain, maka penyakit negeri ini prihal
korupsi akan hilang. Koruptor yang marak sekali saat ini saya yakin tidak
mempertanyakan diri atas pertimbangan kerugiannya jika ia di posisi rakyat yang
didzalimi penguasa korupnya dengan sepenuh hati. Demikian sekilas catatan saya
tentang ngaji rasa sesuai dengan pemaknaan yang saya pahami. Ngaji rasa akan
menciptakan keselarasan cinta dan kasih antar manusia dan semua ciptaan Tuhan.
Sekian dulu semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya. Maturnuwun….
0 on: "Memaknai Falsafah Ngaji Rasa"