![]() |
Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat |
Akarasa – Selamat pagi kadang
kinasih, sedulur sinorowedi akarasa sekalian. Seperti yang sudah saya tulis
kemarin pada edisi jelajah Jogja ini tentang Tamansari yang merupakan salah
satu tapak sejarah yang masih tersisa dan masih bisa kita saksikan hingga kini.
Bicara tentang kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini tentu tak lepas dari
Perjanjian Giyanti menjadi babak akhir Kerajaan Mataram Islam dan babak baru
Kasultanan Ngayogyakarta. Meski secara administrasi terlihat menguntungkan
Ngayogyakarta, namun secara politik, perjanjian ini mengokohkan cengkeram
Belanda di Jawa. Berikut ini saya sarikan dari wikipedia dan cerita tutur ,
harapan saya semoga kerabat sekalian tidak bosan membacanya. Karena tulisan ini
lumayan panjang alangkah baiknya panjenengan sediakan cemilan dulu disanding
dengan secangkir kopi agar membacanya lebih gayeng. Monggo...
Tepat 260 tahun lalu, pada Kamis
Kliwon, 13 Februari 1755, momen penting yang menandai babak baru perjanjian
Giyanti, yang ditandatangani Pangeran Mangkubumi dengan Gubernur VOC untuk Jawa
Utara, N. Hartingh.
Dari naskah perjanjian itulah,
Mataram akhirnya terbagi dua. Wilayah timur berkedudukan di Surakarta menjadi
pusat pemerintahan Kasunanan, diberikan kepada Sunan Pakubuwono III, dan
wilayah barat menjadi pusat pemerintahan Kasultanan berkedudukan di Yogyakarta,
diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan
Hamengkubowono I.
Diceritakan, Perjanjian Giyanti
adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana
III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak
ikut dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar
haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok pemegang
legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian
yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure
menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti
diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti
(ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa
Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah
Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah
Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana
III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat
(daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia
diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di
dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang
menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan. Peta pembagian Mataram setelah
Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757.
Menurut dokumen register harian N.
Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N.
Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan
dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari
berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit
orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung
Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens.
Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai
pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada
dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan.
Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran.
Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara
mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka
pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi
jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan
dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak
5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai
Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di
daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan
diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota
kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan
setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya
dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering
menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan
Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi.
Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota
kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November
tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC
Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara
dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23
September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755
ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti
dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan
kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran
Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya
kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat
Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem
(Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing,
mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya
seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum
kemudian Belanda menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni. Pokok -pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki
kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala
keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati
yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut
haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan
oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18
Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000
real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan
pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual
kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati
segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu
dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC
ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C.
Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem
(Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan
residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang
sebenarnya (bukan di tangan Sultan). Maturnuwun
*disarikan dari wikipedia
0 on: "Kesultanan Ngayogyakarta Benarkah Hadiah Dari Belanda?"