Akarasa - Saat mengunjungi Kota Yogyakarta ini, rasanya belum lengkap jika belum menjejakkan kaki di kawasan-kawasan khusus kerajaan ( kekeratonan atau kadipaten ) Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebut saja Istana Puro Pakualaman sebagai salah satunya. Kadipaten Pakualaman yang merupakan kediaman Kanjeng Sri Paduka Paku Alam IX –Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta- dan keluarga ini terletak di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta.
Inisiatif
dan rasa penasaran itu muncul sesaat setelah mendengar pembahasan singkat
tentang tempat-tempat yang menarik untuk wisata budaya dari sebuah stasiun
radio swasta di Yogyakarta. Pasalnya siaran untuk segmen pagi itu
menginformasikan bahwa Istana Puro Pakualaman memiliki sebuah perpustakaan
dengan berbagai koleksi naskah-naskah kuno. Kemarin secara otomatis menggugah
saya untuk datang dan menyaksikan sendiri seperti apa naskah-naskah kuno yang
ada. Bahkan menurut narasumber dalam siaran pagi itu, perpustakaan Pakualaman
juga menyimpan silsilah keluarga Sri Paduka Paku Alam I hingga VIII, serta
silsilah beberapa raja pendahulu hingga ke Nabi Adam dan Hawa. Nah, seperti
yang sudah saya tulis sebelumnya pada edisi jelajah Yogyakarta ini untuk
menelusur tapak sejarah pada kesempatan ini saya sarikan dari berbagai sumber
tentang awal berdirinya Puro Pakualaman yang letaknya tak begitu jauh dari
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah
Puro Pakualaman ini bermula dari Perjanjian Daendels dengan Sultan H.B.II. yang
diwakili oleh Pangeran Adipati Anom (H.B.III.) pada tgl, 10 Januari 1811,
sangat merugikan dan menyakitkan hati H.B.II. Sehingga menimbulkan peperangan
dan pertentangan antara H.B.II. dan Pangeran Pati, inilah menjadi bibit
kekacauan dan malapetaka yang melanda kerajaan Yogyakarta. Tampilah Pangeran
Natakusuma dan putranya Tumenggung Natadiningrat menjadi penengah dan
memberikan saran-saran untuk keutuhan Kesultanan, dan beliau menganggap
Daendels sangat kejam. Oleh Hindia-Belanda kedua Pangeran tsb, dijebloskan ke
penjara dan diputus akan dibunuh mati. Tetapi oleh penguasa benteng Cirebon
Waterloo sengaja mengulur waktu eksekusinya, hingga saat penggantian Daendels
oleh Gubernur Jenderal Janssens atas perintah Kaisar Napoleon Bonaparte. (kala
itu negeri Belanda dan jajahannya dikuasai oleh Perancis). Sebab itulah yang
menyelamatkan kedua Pangeran tsb, dari maut.
- Memperbaiki upeti pesisir.
- Menyerahkan kembali pusara para leluhur.
- Pemulangan kembali para pangeran yang diasingkan.
Permintaan
pertama tidak bisa dikabulkan opleh Raffles, dia hanya bersedia untuk membayar
uang kerugian. Sama halnya dengan janji kepada Keraton Surakarta.
Permintaan
kedua juga ditolak, karena itu berarti harus diserahkan seluruh daerah pesisir
utara.
Hanya
permintaan ketiga yang dikabulkan. Setelah Komisaris Robinson kembali, maka
kembali H.B.II. menunjukkan kekuasaanya dan berhasil mengangkat dirinya senagai
Sultan, dan Pangeran Pati tetap/kembali menjadi Pangeran-Mahkota.
Sultan
Sepuh tetap ingin mempertahankan tata-cara dan istiadat lama ; Patih Danureja
disingkirkan dengan dalih dia pro Belanda dan pengkhianat, maka langsung
dijatuhi hukuman mati (Patih Seda Kedaton). John Crawfurd sebagai Residen
mendapat kesan bahwa Sultan Sepuh sangat anti pemerintahan Eropa, begitu juga
sikap Sesuhunan Surakarta. Oleh karena itu, Raffles pada Desember 1811 terpaksa
dating sendiri untuk meninjau Jawa Tengah dan minta kedua raja Yogyakarta dan
Surakarta harus berada di Semarang untuk menyambut tamu agung tsb. Secara
formil Sri Susuhunan bersedia melaksanakan; tetapi Sri Sultan menunjukkan sikap
yang patut dibanggakan, beliau mengatakan dalam suratnya kepada Raffles dengan
sebutan “Saudara” dan bukan dengan predikat “Tuan Besar”.
Pada
saat itu pula Raffles mengatakan bahwa kenaikan tahta H.B.II. oleh dirinya sendiri
tidak berlaku dan beliau akan datang
mengunjungi baik Surakarta maupun Yogyakarta, dengan perantaraan
Pangeran Natakusuma yang sangat dia percaya itu karena dia tahu bahwa Pangeran
Natakusuma bersama dengan isteri ketiga H.B.II. Ratu Kencana Wulan dan Bupati
Madiun R.Rongga Prawiradirja (menantu H.B.II.) bersekongkol membuat kekacauan
pemerintahan Daendels, untuk memperkuat hubungan maka Tumenggung Natadiningrat
dikawinkan dengan putrid sulungnya Ratu Kencana Wulan yang kemudian bergelar
Kangjeng Ratu Ayu.
Pesan
Raffles yang dibawa P.Natakusuma antara lain: kemungkinan besar Sultan H.B.II.
bisa tetap duduk diatas tahtanya, bila beliau mau merahabilitir kedudukan
Pangeran Adipati dan meminta maaf. Ampat hari kemudian Raffles dating sendiri
dengan membawa kekuatan militernya. Dari pihak Sultan beliau sudah siap siaga
perlengkapan siap tempur.
Menurut
cerita rakyat yang bersumber dari kraton (dari mulut ke mulut), Sultan H.B.II.
bisa menerima kedatangan Raffles, akan tetapi sejak dari Pengurakan ke Sitihinggil
tidak boleh naik kereta jadi harus jalan kaki menuju ke Kraton, dengan sakit
hati yang amat sangat Raffles melakukan apa yang diminta oleh H.B.II. Hal ini
disampaikan oleh pembantu Raffles yang bernama Stutinghe.
Di
dalam Kraton Sultan H.B.II. menempatkan sebuah “tabouret” (semacam meja kecil
yang rendah) di bawah “dhamparnya” dimaksud agar beliau duduknya lebih tinggi
daripada Raffles. Oleh salah satu anggota rombongan Raffles “tabouret” tersebut
disepaknya. Para pembesar kraton yang melihat kejadian itu langsung mencabut
keris mereka atas penghinaan tsb. Sri Sultan menasehatkan agar para pembesar
kraton sabar, jangan meluapkan emosi mereka. Sultan H.B.II. cukup puas dengan
pengakuan Raffles atas kedudukan dan kekuasaannya. Dalam surat perjanjian
antara kedua tokoh tsb, tidak sepatah kata pun disebut tentang Pangeran Anom.
H.B.II. bahkan mengadakan konsesi yang lebih penting daripada Sri Sesuhunan,
namun tidak semua bagian yang diambil oleh Daendels dikembalikan kepada Sri
Sultan. Pertentangan antara H.B.II. dan Pangeran Pati semakin parah. H.B.II.
walaupun sangat benci terhadap Pangeran Natakusuma tetapi sangat mengakui
kecerdasan dan kecerdikannya, beliau menganggap seorang negarawan dan
budayawan. Sebagai perantara kejernihan Kasultanan antara Sultan dan Pangeran
Pati. Karena jasa Pangeran Natakusuma terhadap Kasultanan dan Raffles, dalam
perjanjian itu Grobogan tidak dikembalikan; oleh Raffles dihibahkan kepada sang
Pangeran.
Sri
Sultan memperkuat penjagaan kraton dan memperkuat tentaranya sementara beliau
menolak menandatangani kontrak pungutan uang tol-tol pintu gerbang. Pihak
pemerintah mendengar, bahwa antara Sri Sultan dan Sri Susuhunan terjalin
hubungan denmgan tujuan untuk memperbaharui persyaratan pembayaran uang upeti
pesisir, merehabilitir soal tata-cara tradisional yang lama dan penyerahan
kembali bagian-bagian tanah yang diambil oleh pihak kompeni, dan bila tidak
berhasil, maka kedua kerajaan akan bersama-sama menggempur pihak gupermen
Kompeni. Pangeran Pati sendiri tidak setuju akan hal ini, maka Pangeran Pati
dicopot gelarnya dan beberapa antek Pangeran banyak yang dibunuh. Saat ini
keadaan kasultanan kacau-balau.
Raffles
memerintah Kol. Gillespie dengan kekuatan terdiri dari 1200 orang tentara
Inggris yang terpilih, dan diperkuat oleh 800 orang tentara P.A. Prang Wadana
bersama-sama menyerbu kraton Yogyakarta, tepatnya 20 Juni 1812. Setelah
mendapat perlawanan yang tidak seimbang, kraton dikuasai oleh pihak Inggris.
Semua harta kekayaan Sri Sultan jatuh ke kekuasaan Inggris. Pada maklumat 28
Juni 1812 Sri Sultan Sepuh dinyatakan turun tahta dan diasingkan ke Pulau
Pinang. Sebelum berangkat beliau berpesan kepada Pangeran Pati, agar tidak
melupakan jasa dari P.Natakusuma dan kelak kalau beliau dinobatkan menjadi
H.B.III. , ajaklah untuk ikut mengemudikan Pemerintahan.
Tanggal
28 Juni 1812 jadi hari itu Pangeran Pati dinobatkan menjadi H.B.III. dengan
perjanjian kontrak dengan Inggris, ternyata kekuasaan mereka sudah begitu
dipangkas(dikuras) hingga dengan rasa terpaksa mereka (Yogya dan Surakarta)
harus mengakui kekuasaan bangsa Eropa sebagai penguasa seluruh Pulau Jawa.
Kedua Kerajaan terpaksa mengurangi
kekuatan militernya, terbatas pada tentara penjagaan kraton saja, semua
kekuatan defensif berada di tangan
penguasa Inggris.
Selanjutnya
Yogyakarta harus menyerahkan kekuasaanya atas Kedu, Pacitan, Japan, dan
Grobogan, Surakarta menyerahkan sebagian Kedu lainnya, Pacitan, Blora dan
Wirasaba. Seperti diketahui, Kedu merupakan milik Negaragung. Dengan disitanya
bagian itu, maka sebagai bagian “apanage-stelsel” para pembesar kraton, ini
merupakan pukulan berat.
Sehari
setelah penobatan Sultan H.B.III. tepatnya 29 Juni 1812. Raffles mengangkat
P.Natakusuma sebagai “Pangeran Merdika” dengan pangkat “Pangeran Adipati”
dengan nama Paku-Alam, ini juga merupakan imbalan atas jasa-jasa P.Natakusuma.
Sri Sultan menyetujui dan menyerahkan sebidang tanah seluas 4000. cacah, hal
ini sesuai dengan amanat Sultan H.B.II. (Sultan Sepuh). Oleh Raffles kebaikan
budi H.B.III. ini dibalas dengan mengembalikan tanah Sela, dimana banyak dari
nenek-nenek moyang beliau dimakamkan. Jadilah kini Pangeran Natakusuma bergelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku-Alam, dengan menerima 750 uang Spanyol
perbulan, dengan keharusan mengasuh 100 orang tentara dragonders. Ini sama
halnya dengan keadaan di Kepangeranan Mangku-Negara di Surakarta. Akhir kata
sekian dulu dan sampai ketemu lagi pada tulisan selanjutnya. Maturnuwun..
0 on: "Memintal Benang Merah Sejarah Puro Pakualaman"