Akarasa
– Selamat malam kadang kinasih akarasa, beruntunglah panjenengan semua yang
berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Siang tadi, ketika saya berbincang
dengan kenalan yang baru saja kenal di Yogyakarta ini dan kebetulan beliau
adalah seorang dosen pasca sarjana disalah satu ptn terkenal yang ada di kota
ini, dari obrolan yang tersebut ada satu uneg-uneg yang menjadi inspirasi
tulisan ini. Kita tahu semua, Yogyakarta adalah kota pelajar dan banyak orang
pinter dan cerdas disini. Pertanyaan saya, apakah bila semakin cerdas orang
akan bisa mengenali dan mengakui keberadaan Petitah Semesta ini?
Atau
sebaliknya semakin bodoh maka orang semakin tidak mampu mengenali bayangan
jejak-jejak Petitah Semesta?
Jujur
saya tergelitik untuk menanyakan hal ini karena zaman kita diliputi oleh
semangat memaksimalkan peranan kecerdasan otak, tidak hanya di lingkungan
lembaga pendidikan formal tetapi juga sampai di sel terkecil hubungan sosial
manusia yaitu keluarga.
Tidak
bisa dipungkiri, dunia pendidikan saat ini harus merespon tuntutan global untuk
bersaing di era pasar bebas. Yaitu sebuah era yang ditandai dengan semakin
majunya teknologi karena kreativitas dan inovasi untuk meraih keunggulan
finansial dan ekonomi. Dunia pendidikan yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi global dipastikan akan gulung tikar dan tidak lagi
diminati oleh masyarakat. Mereka yang tidak kreatif dan inovatif akan juga
dilibas jaman. Mereka akan tersingkir dari bursa-bursa lowongan kerja dan
kemudian tidak mampu berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Kemiskinan itu
sangat tidak nyaman sehingga wajar dan manusiawi bila orang berlomba-lomba untuk
mendapatkan kerja yang paling ideal dan paling banyak menghasilkan uang.
Bursa-bursa
kerja akan terus terbuka bagi mereka yang kreatif, profesional, memiliki
dedikasi dan integritas yang tinggi. Apalagi ditunjang dengan pendidikan yang
tinggi, bagus dan terkenal. Mau bukti, bisa kita lihat pada iklan lorongan
pekerjaan di media massa.
Rata-rata
mensyaratkan agar pelamarnya berasal dari perguruan tinggi yang terkenal (ada
jaminan otaknya encer?), usia muda, berpenampilan menarik dan sukur-sukur
berwajah cantik. Begitulah, kecerdasan otak menjadi hal yang wajib untuk
dipenuhi oleh jaman nanoteknologi saat ini. Dan dalam psikologi, kecerdasan
otak memiliki standar yaitu Intelligent Quotient (IQ). Rumus IQ adalah IQ =
MA/CA x 100%. MA adalah Usia Mental dan CA adalah usia kronologis. Semakin
tinggi Usia Mental dibanding dengan Usia Kronologis maka IQ orang tersebut akan
tinggi dan semakin cerdaslah orang tersebut. Banyak dijumpai saat ini anak
jenius, yaitu anak yang usia mentalnya melebihi usia kronologis anak sebayanya,
gaya bicara dan berpikirnya seperti orang tua, bahkan banyak yang sudah hapal
Kitab Suci. Tapi banyak pula lahir anak idiot, yaitu anak yang usia mentalnya
tertinggal dibanding usia kronologis teman-teman sebaya mereka.
Boleh
dikatakan abad 21 adalah abad dimana otak telah dijadikan pusat orientasi.
Dengan Otak yang encer maka semua solusi hidup bisa dipecahkan, namun
sebaliknya dengan otak yang bebal maka solusi menjauh, justeru yang datang
adalah masalah demi masalah. Untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup maka
tidak ada cara lain selain harus mengasah ketajaman otak setajam-tajamnya.
Kita
tidak menyangkal titik orientasi jaman yang sudah berubah ini.
Sejarah
membuktikan orientasi manusia telah bergeser dari alam semesta
(kosmosentrisme), dari Tuhan (teosentrisme), dari manusia (antroposentrisme),
untuk memasuki wahana bahasa (logosentrisme) yang merupakan permainan
artikulasi dan representasi dari isi otak dan pikiran manusia. Logosentrisme
memiliki ciri utama yaitu reperesentasi, hanya wakil dari realitas. Bukan
realitas itu sendiri sehingga yang terjadi adalah realitas maya/jadi-jadian dan
dibuat lebih (hiper).
Otak
memiliki kecenderungan untuk memilah, memilih, membedakan satu dengan yang
lain, mengkanalisasi setiap hal dalam kategori-kategori. Ini adalah kegiatan
menganalisa. Otak juga memiliki kemampuan yang hebat untuk mensintesakan,
menyimpulkan dari kegiatan menganalisa tersebut. Itulah kedahsyatan otak yang
terus menerus diasah di bangku-bangku
lembaga pendidikan modern dan tradisional, di pondok-pondok pesantren,
perguruan-perguruan, padepokan-padepokan dan seterusnya.
Pertanyaannya
sekarang apakah kepintaran selalu simultan/seiring/senyampang dengan
perkembangan ruhani untuk mencari hakekat dan jati diri individual untuk
kemudian akan bisa mendapatkan jawaban-jawaban tentang soal-soal Ketuhanan,
Kemanusiaan, Keadilan, Kebebasan, Keadilan dan nilai-nilai lain, dan seterusnya
dan seterusnya. Bila sudah mendapatkan jawaban apakah mereka akan semakin bijaksana
dalam berperilaku dan berbuat?
Jawaban
sementara yang merupakan hipotesis saya sbb: TIDAK ADA JAMINAN. Banyak orang
pintar yang kreatif dan inovatif mengolah hidupnya, menguasai banyak materi
untuk memenuhi keinginan hidup (bukan kebutuhan hidup) ternyata miskin dan
tidak cerdas secara spiritual. Kemandirian dan otonomi manusia bebas manusia
untuk menyimpulkan SANGKAN PARANING DUMADI ternyata tersingkir/tercampakkan
untuk memenuhi hasrat manusia akan materi yang dianggapnya sumber kebahagiaan.
Manusia seperti ini akan limbung dan berjalan tanpa arah serta tujuan hidup
yang lurus. Ia tidak mampu mengenali jejak-jejak kehadiran Tuhan baik yang ada
dalam dirinya sendiri (Mikrokosmos) dan juga yang ada di alam semesta
(Makrokosmos).
Kebetulan
saya banyak kenal dari berbagai
kalangan. Mulai yang hanya lulus SD, hingga tamat perguruan tinggi strata dua.
Jenis dan jenjang status sosial serta pangkat dan derajat yang beragam pula.
Apakah mereka yang berpangkat, memiliki jabatan dan pendidikan tinggi ternyata
memiliki jiwa kemanusiaan yang lebih tinggi daripada mereka yang hanya lulus
SD? Tidak toh. Selanjutnya, tidak ada jaminan pula yang satu akan lebih tinggi
tahapan pencapaian spiritualitasnya.
Adalah
sangat tidak adil bila Petitah Semesta ternyata mengistimewakan yang satu dan
bersikap pilih kasih. Bila Tuhan Maha Adil, maka dia akan menciptakan manusia
menjadi individu-individu sesuai dengan kapasitasnya dan mengadili sesuai
dengan kapasitasnya pula. Misalnya Tuhan menciptakan individu bernama D dan
dilahirkan ke dalam keluarga mampu. Sementara di lain tempat dia menciptakan
individu bernama S dalam keluarga yang tidak mampu. Nasib selanjutnya kedua
individu ini tentusaja sangat tergantung pada batas-batas tertentu meskipun
Sumber daya Manusia-nya sudah diolah secara maksimal. Nah, apa dan bagaimana si
individu tersebut berhasil untuk menemukan jalan hidup yang sesuai dengan yang
digariskan oleh-Nya, terserah kepada individu itu sendiri. Ini tentu sebuah
persaingan fair berebut tiket menuju keabadian.
Mengolah
hidup tidak hanya dengan memakai akal, pikiran, rasio, otak kiri saja namun
juga perasaan, budi, otak kanan untuk mempertimbangkan benar salah. Keduanya
perlu dipertajam. Otak kiri dengan cara menganalisa, otak kanan dengan cara
merasa, meyakini, mempercayai. Bila keduanya sudah diolah sedemikian hingga
tercapai batas maksimal kecerdasan, maka dia pasti akan menemukan apa yang
dicari. Berat sebelah menggunakan dua belah otak akan mengakibatkan stress,
tertekan, dan bahkan bisa jadi sakit mental.
Adalah
sebuah pesan yang perlu dipertimbangkan bahwa bila pikiran kita sedang suntuk
maka istirahatkan dengan rekreasi dan refreshing. Bila hati kita sedang gundah
dan putus asa maka segarkanlah dengan cara merasakan kedamaian Petitah Semesta.
Berkomunikasi intensif sekaligus meminta pertolongan kepada Sang Pemberi
Hidayah. Mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk berkomunikasi? Terserah
Panjenengan sekalian. Maturnuwun…
0 on: "Spiritual : Mengenali Jejak Petitah Semesta"