“Kita
diciptakan berasal dari tanah, tapi mengapa kebanyakan kita masih sering
bersifat langit?”
Akarasa - Saya
teringat ungkapan yang pernah saya baca beberapa waktu lalu. Seketika saya
berpikir, berusaha menggabungkan berbagai fakta, lantas menyetujui ungkapan
tersebut. Ya, memang benar, manusia sejatinya adalah makhluk yang berasal dari
tanah, namun kebanyakan mereka sering lupa, sehingga merasa seolah-olah
setinggi langit.
Sering kali
kita merasa tinggi dengan apapun yang kita dapatkan dan usahakan. Sering merasa
bahwa diri kita lebih segala-galanya dari orang-orang di sekitar kita. Sering
juga kita merasa lebih benar daripada orang-orang di luar sana. Padahal, di
atas langit tentu masih ada langit. Tentu saja ada yang lebih hebat, lebih
benar, dan lebih tinggi daripada diri kita ini. Dan berpetualanglah jika ingin
tahu ini semua.
Lalu, apa
yang patut kita sombongkan? Jika ternyata ada yang lebih hebat dari diri kita.
Boleh sombong, asal bisa membuktikan bahwa tiada kekuatan lain yang lebih hebat
di luar sana selain diri kita. Padahal, tentu saja tidak ada. Ya, karena kita
hanya manusia. Makhluk yang asal mula kejadiaannya saja dilahirkan dalam
keadaan lemah, dibesarkan melalui perantara manusia lain, dan tentu saja
sebelum itu semua terjadi ada Dzat Maha Segalanya yang meniupkan ruh dalam
sekepal daging hingga akhirnya hidup dan bernyawa.
Ada sesuatu
lain yang lebih hebat dari kita, maka kita tidak sepantasnya untuk sombong lagi
bersifat langit!
Jika mungkin
dari kalian ada yang merasa hebat telah mencapai segala pencapaian-pencapaian
dalam hidup, boleh bangga, namun jangan terlalu terlena. Boleh merasa bangga
terhadap diri sendiri, namun juga jangan lupa, bahwa ada andil Petitah Semesta
dalam segala hal yang kita capai. Sesungguhnya kita tidak bekerja sendiri, ada
kekuatan lain yang mendorong keberpihakan terhadap diri kita.
Dan sejatinya,
banyaknya pertikaian di sekitar kita ini karena makin banyaknya manusia yang
bersifat langit. Merasa hebat, merasa pandai, merasa tinggi, merasa lebih dari
manusia lain. Jika eksistensinya itu terusik atau terancam oleh kehadiran
manusia lain, mereka akan memunculkan rasa permusuhan. Jika gesekan yang
terjadi makin menjadi-jadi, tentunya pertikaian tidak dapat dihindarkan.
Banyaknya
golongan atau kelompok yang merasa lebih benar daripada yang lain. Banyaknya
manusia yang merasa lebih benar daripada yang lain. Perdebatan dan pertengkaran
seolah tak ada habisnya, hanya untuk mengukuhkan bahwa salah satu di antara
mereka adalah yang paling benar. Padahal, itu sia-sia. Tidak ada yang mutlak
benar, tentu ada kecacatan barang sedikit, namun sayang mereka malas
mengakuinya. Ataukah mereka kurang pandai merasa, hanya bisa merasa pandai?
Coba saja
jika banyak manusia yang mawas diri, merasa memiliki banyak kekurangan, serta
lebih mampu menyikapi segala hal dengan rendah hati. Tentu saja, tidak akan ada
pertikaian dan perdebatan sia-sia yang tak ada ujungnya. Sebagai manusia kita
perlu berlatih untuk pandai merasa, mau mengakui kelebihan orang lain, dan
tidak terlalu berbangga diri.
Sejatinya,
mengakui kekurangan diri sendiri lebih melegakan dibandingkan melimpahkan
segala kesalahan terhadap orang lain. Mengakui kekurangan diri akan membuat
kita lebih dapat mentoleransi dan memaafkan diri. Sedangkan melimpahkan
keburukan pada orang lain, akan menyebabkan munculnya prasangka dan kedengkian
yang berakar tunggang dalam hati kita.
“Jadilah
seseorang yang pandai merasa, bukan merasa pandai”, wejang pewaskita yang
selalu berdentum dalam pikiran saya. Seolah mengingatkan bahwa kita bukanlah
apa-apa, hanya manusia biasa.
Jadi,
pantaskah kita sebagai manusia yang diciptakan berasal dari tanah masih
bersifat langit? Maturnuwun..
~Ngayogyokarto
pada September yang terik~
0 on: "Dadio Wong Sing Biso Rumongso dalam Logika Berpikir"