Akarasa –
Assalamu’alaikum. Selamat menjemput pagi kadang kinasih akarasa. Disela menunggu
selesainya satu kewajiban pekerjaan, seperti biasa dalam setiap bepergian ada
satu hal yang tidak pernah ketinggalan saya bawa dari rumah. Buku. Dan buku
kali ini adalah Kawruh Begja Sawetah, yakni tentang perenungan laku kehidupan
dari Ki Ageng Suryomentaram. Membaca buku ini memang mengajak kita membuka
lebar-lebar nalar kita. Ada satu hal yang menarik yang hingga saya menulis ini
adalah satu bab tentang Mencari Kebahagiaan.
Secara pribadi saya
sepakat tentang pemikiran Ki Ageng, bahwasanya kebanyakan orang hanya mengenal
dua perasaan dalam hidupnya, yaitu kenikmatan dan kepedihan. Meski dalam laku
kehidupan dalam logika berpikir yang paling sederhana, orang mencari
kebahagiaan dengan cara menghindari kepedihan. Nalar yang digunakan adalah
bahwa kalau kepedihan dapat dibuang maka akan datang kebahagiaan.
Kemiskinan itu adalah
kepedihan. Untuk membuang kepedihan karena kemiskinan maka orang berjuang untuk
tidak miskin. Seluruh hidupnya dikerahkan untuk mencari uang agar tidak miskin.
Apakah setelah tidak miskin atau kaya maka dia akan bahagia?
Tidak memiliki anak itu
adalah kepedihan. Seorang isteri dan mungkin juga bersama suaminya pergi ke
sana kemari dan dengan segala cara berusaha untuk memiliki anak. Setelah anak
lahir maka bahagialah mereka. Tetapi apakah mereka tetap bahagia pada waktu
anaknya sakit atau bahkan meninggal dunia?
Ingin memiliki
kekuasaan juga merupakan kepedihan. Dengan berbagai cara seseorang berusaha
mendapatkan kekuasaan. Dia ingin menduduki jabatan tertentu agar berkuasa.
Untuk berkuasa seseorang tidak segan untuk meniadakan kekuasaan orang lain
dengan cara perang atau membunuh, memfitnah serta upaya-upaya lain yang
dipandang perlu. Apakah setelah berkuasa dia bahagia?
Tidak memiliki sesutu
tidak menjadikan orang menderita kepedihan. Yang mendatangkan kepedihan adalah
keinginan untuk memiliki sesuatu. Orang miskin tidak perlu menderita kepedihan
selama dia tidak menghendaki kaya. Orang tidak mempunyai anak tidak perlu merasakan
kepedihan selama dia tidak menghendaki untuk memiliki anak. Orang tidak
berkuasa juga tidak perlu menderita kepedihan selama tidak memburu kekuasaan.
Apakah dengan demikian
kita tidak perlu menghendaki sesuatu? Apakah kalau saya miskin maka biarkan
saja miskin. Kalau tidak punya anak ya diterima saja. Apakah dengan bersikap
seperti itu maka hidup tidak menjadi hampa karena tanpa kehendak, tanpa upaya
dan hanya menerima saja apa keadaan yang ada? Lalu apa artinya hidup?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas merupakan masalah yang terus menerus diketengahkan orang,
bahkan menjadi perdebatan sepanjang masa. Orang mencoba menjawab dengan caranya
masing-masing. Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa kalau orang
menghendaki bahagia, maka hiduplah dengan ‘pasrah’ berserah diri pada Tuhan.
Orang Jawa menganjurkan agar hidup dengan ‘nrimo ing pandum’ atau menerima apa
yang ada (diberikan oleh Tuhan).
Sekelompok orang lain
mengatakan bahwa kita tidak boleh pasrah dan nrimo atau menerima nasib. Kita
harus berusaha mengubah nasib. Yang miskin harus berusaha agar tidak miskin.
Yang tidak punya anak harus berusaha mempunyai anak. Yang tidak berkuasa harus
berusaha memiliki kekuasaan agar berdaya. Pokoknya harus berusaha.
Pada kesempatan kali
ini saya ingin mengulas kedua sikap tersebut di atas, yaitu sikap pasrah dan
sikap harus berusaha. Apakah dengan pasrah tetap miskin orang dapat hidup.
Apakah dia tidak memerlukan uang untuk makan, berpakaian, menyekolahkan anak
dan sebagainya. Apakah pada suatu waktu dan keadaan orang miskin tidak menjadi
beban orang lain atau menyusahkan oang lain dengan meminta tolong? Kalau tidak
ditolong dia bersama keluarganya akan mati kelaparan atau mati kedinginan dan
kepanasan karena tidak memiliki rumah. Dengan demikian perlu dipertanyakan, apa
gunanya dia hidup kalau hanya untuk mati?
Baik, kita terima
pendapat yang mengatakan bahwa orang harus berusaha. Jadi yang miskin harus
berusaha untuk mencari nafkah yang cukup untuk makan, untuk berpakaian, untuk
memiliki rumah tempat dia berlindung. Pertanyaannya adalah, apakah usaha yang
dia lakukan akan dapat menghasilkan uang
untuk itu semua? Usaha yang bagaimana yang akan dapat memenuhi kebutuhan?
Seseorang miskin tidak
tanpa sebab. Dia miskin karena tidak berpendidikan cukup. Mungkin juga dia
berpendidikan cukup tetapi malas. Atau dia tidak malas dan berpendidikan cukup
tetapi tidak jujur atau berwatak melawan sehingga orang tidak mau memberi
pekerjaan. Kalau orang ini tetap dalam keadaan atau sikap watak seperti itu,
apakah usaha yang dia lakukan akan berhasil? Artinya apakah dia akan dapat
mengubah keadaan?
Entah ada dalam logika
berpikir kerabat akarasa atau bukan, pertanyaan-pertanyaan yang saya narasikan
di atas merupakan permasalahan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana saya
singgung di atas, orang hidup mencari kebahagiaan dengan cara membuang
kepedihan. Dengan lain perkataan orang beranggapan bahwa dia akan bahagia kalau
kepedihan dapat dibuang atau dihilangkan. Kemiskinan adalah kepedihan.
Kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai adalah kepedihan, dan
sebaginya.
Kehidupan manusia pada
umumnya berkisar pada keinginan untuk ‘memiliki’. Orang miskin adalah orang
yang tidak memiliki uang sehigga dia berusaha untuk memiliki uang. Orang yang
tidak mempunyai anak berusaha mendapatkan anak agar memiliki anak. Orang yang
kehilangan sesuatu atau seseorang berarti dia kehilangan yang telah dimiliki.
Yang kemudian perlu
dipertanyakan adalah, apakah setelah orang mendapat apa yang ingin dia miliki
maka dia akan bahagia? Kenyataan tidak selalu menunjukkan demikian karena orang
kaya ada yang bunuh diri atau setidaknya hidup dalam keadaan tertekan. Demikian
juga orang yang mempunyai anak atau mempunyai kekuasaan. Kita juga melihat
banyak selebriti yang dipuja masyarakat, orang kaya dan pejabat yang berkuasa
terjebak dalam pengaruh minuman keras, narkotika dan obat-obat terlarang lain.
Bertelekan apa yang
saya ilustrasikan diatas, ada satu pertanyaan yang paling mendasar, lalu harus
bagaimana? Nah, inilah yang harus kita ketahui. Pada umumnya orang tidak
mengetahui perbedaan antara kebahagiaan dengan kenikmatan. Yang selalu dicari
dan dikejar adalah kenikmatan. Sebagian besar orang beranggapan bahwa dengan
‘memiliki’ maka dia akan bahagia, padahal dengan memiliki orang hanya akan nikmat.
Kenikmatan yang
diperoleh dengan cara ‘memiliki’ ini atau bahasa lebih mriyayi biasa di namakan
‘kenikmatan duniawi’ atau ada juga ada
yang menyebut sebagai ‘kenikmatan fisik’ atau ‘kebahagian fisik’. Kenikmatan
duniawi merupakan kebutuhan untuk melepaskan diri manusia dari kepedihan dalam
kehidupan.
Sebagai kebutuhan,
kenikmatan duniawi tidak terbatas pada jumlah dan kualitas. Dengan lain
perkataan, kenikmatan duniawi itu subjektif karena kebutuhan orang
berbeda-beda. Ada orang yang memiliki uang dalam jumlah tertentu sudah merasa
tercukupi kebutuhannya dan dia nikmat. Orang yang lain merasa harus memiliki
uang seribu atau satu juta lebih banyak agar nikmat.
Kenikmatan duniawi
sifatnya pasang surut, karena mengikuti hukum alam.
Hukum alam mengatakan
bahwa sesuatu itu hadir di alam dengan berpasangan, yaitu dua hal yang
berlawanan sifatnya. Ada positip ada negatip. Ada tinggi ada rendah. Ada baik
ada buruk. Ada jantan ada betina, dan seterusnya. Jadi ada kenikmatan dan ada
ketidaknikmatan.
Sifat alam kedua adalah
selalu berubah. Perubahan ini berdasarkan waktu. Keadaan atau kondisi berubah
berdasarkan waktu. Perubahan dapat terjadi secara pelan dalam jangka waktu lama
atau secara evolusi. Tetapi keadaan dapat juga berubah dengan serta merta atau
instant dalam waktu lebih singkat. Siang dan malam sebagai akibat dari putaran
bumi pada porosinya adalah berlangsung dalam waktu 12 jam. Tetapi bumi
mengelilingi matahari dalam waktu 12 bulan atau satu tahun. Batubara yang
mengendap di lapisan bumi terluar berasal dari tetumbuhan yang mengeras dalam
waktu jutaan tahun. Kurang lebihnya demikianlah pelajaran IPA saat Madrasah
dulu.
Kenikmatan duniawi yang
mengikuti hukum alam juga mengalami perubahan alias tidak langgeng. Kenikmatan
duniawi dapat berubah intensitasnya menjadi kurang nikmat, atau hilang sama
sekali menjadi ketidaknikmatan. Orang kaya yang tadinya nikmat dapat bangkrut
dan dia menjadi tidak nikmat lagi. Orang yang nikmat mempunyai anak atau isteri
idaman, kenikmatannya dapat berkurang karena anak atau isterinya sakit atau
berkelakuan yang bertentangan dengan idaman.
Kalau anak atau isteri idaman tadi meninggal, maka kenikmatan akan sirna
sama sekali. Demikian juga dengan jabatan dan kekuasaan.
Yang dapat saya
simpulkan dari beragam bentuk pertanyaan di atas adalah bahwa kebahagiaan itu
berbeda dengan kenikmatan. Yang kita kejar dengan label ‘berupaya’ itu
sebenarnya adalah kenikmatan duniawi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
agar kita terbebas dari kepedihan hidup. Untuk sementara sekian dulu, Insya
Allah dikesempatan yang lebih baik lagi saya sambung lagi. Wasaalam.
Maturnuwun...
Pandanaran, 281015
0 on: "Menalar Hakikat Nikmat Yang Sesungguhnya"