Akarasa – Selamat malam atau tepatnya malam menjelang pagi para kadang
kinasih akarasa. Pada kesempatan pagi dini hari ini saya ingin membincang
tentang laku hidup atau lebih tepatnya falsafah hidup Pasrah dan Prihatin untuk mengejawantah rumus-rumus kodrat Petitah Semesta. Saya
yakin sebagian besar dari panjenegan sekalian yang kebetulan wong Jowo tentu
tidak asing dengan dua falsafah yang saya maksud di atas. Sikap hidup orang
Jawa yang diwariskan dari para leluhur terjelma didalam lelaku dan
usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang
demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap
hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu dan uang atau
melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati
hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap,
berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan
& kompetensi masing-masing.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa
terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan
prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat
mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan
masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk
sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya.
Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas
menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep
kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak
memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang
mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal
hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan alam kelanggenggan nantinya.
Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada
“aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita
sampai pada muara keberuntungan memasuki samudra anugrah Tuhan. Tapi orang
kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah”
(rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samudra
anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya.
Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan
segala macam tatanan.
Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang
(eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita
menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama
saja membangun sikap fatalistis. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan,
penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak
sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas
ihtiar manusia. Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk
berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang
mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur
dan cara-caranya, bukan pada garis nasib.
Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata
cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan. Bila kita
menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan
menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang
menjadi seteru Tuhan.
Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena
manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya
manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk
manusia.
Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk
menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang
sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan
kehendak Tuhan, karena Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan
tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa
rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap
bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang
belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.
Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery,
penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat,
sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan
manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak
Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka
berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib. Kadang dengan didahului oleh
kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arah penemuan baru. Dalam bahasa
yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami. Seorang ilmuwan
penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah
salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan.
Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan
bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?
Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah
langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan
kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus
(kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara
perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya
selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon). Manakah yang lebih
religius ? Mana pula yang sekedar agamis ?
Jika kita tetap berprasangka dan menutup mata, jangan menyalahkan
siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam
keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan
kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu berpikiran positif. Sebaliknya, tiada
bosan-bosannya mengkritik diri sendiri. Sekian dulu dan semoga ada manfaatnya. Maturnuwun...
Ayodya, 101015
0 on: "Mengejawantah Rumus Kodrat Tuhan"