Akarasa – Assalamu’alaikum para kadang kinasih
akarasa. Pada kesempatan posting kali ini saya akan mengulas Petuah-petuah
Leluhur Jawa yang saya yakin bagi panjenegan semua yang kebetulan wong Jowo
tentu tidaklah asing dengan apa yang akan saya bagikan disini. Dan tentu saja
dengan bahasa keawaman saya dalam menyusun kalimat, dalam hal ini sekiranya
terlebih dahulu harap dimaklumi. Seperti pada tajug di atas, saya yakin meski kerabat
akarasa bukan orang Jawa sudah sering mendengarnya. Makna harafiahnya
adalah “memberi tanpa mengharapkan imbalan”. Dalam kesempatan
kali ini saya ingin menyudutpandang lebih dalam makna “sepi ing
pamrih” ini.
Bertelekan dari petuah diatas, dalam logika
berpikir akan timbul pertanyaan mendasar, apakah “sepi ing pamrih’ itu dalam
kehidupan nyata memang ada? Kita yang kebetulan Muslim sering mengatakan bahwa
apa yang kita lakukan hanyalah untuk Allah, tidak lain dari itu, Lillahi
ta’alla. Kalau apa yang kita lakukan adalah untuk Allah, tentu dalam
logika berpikir kita berharap imbalan juga, misalnya mendapat berkah atau
berharap mendapat surga nantinya. Apakah hal itu bukan pamrih?
Ada juga orang yang mengatakan bahwa apa yang
dia lakukan itu karena dia mau melakukan, karena kemauan dia semata, tidak ada
yang mendorong atau memaksa dia melakukan. Lho, bagaimana kalau yang dia
lakukan itu merugikan orang lain, apa akan tetap dia lakukan?
Sebagaimana pernah saya posting sebelumnya di
akarasa ini, manusia itu dilengkapi dengan kekuatan yang bernama ‘rasa’ atau ‘empati’ yang
merupakan produk dari nurani. Orang awam seperti kita menyebutnya‘suara
hati’. Hanya manusia yang memiliki ‘nurani’. Makhluk lain tidak
memiliki.
Pada dasarnya (secara alamiah) manusia berkomunikasi dengan
dunia luar melalui nuraninya. Yang saya maksud dengan dunia luar adalah dengan
sesama manusia, dengan hewan, tetumbuhan, dan dengan alam pada umumnya. Dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, manusia seharusnya juga menggunakan nuraninya.
Setiap kali kita berkomunikasi dengan dunia
luar, maka akan timbul perasaan tertentu yang disebut empati. Rasa
atau empati tadi merupakan respons kita terhadap sinyal-sinyal dari dunia luar.
Rasa atau empati merupakan energi positif yang sangat kuat dan
cerdas. Sebagai energi positif, empati pada dasarnya merupakan “rasa kasih
sayang”.
Setiap kali “rasa kasih sayang” muncul dalam
diri kita maka timbul dorongan dalam diri kita untuk memberi atau melakukan
suatu kebaikan bagi pihak lain yang mengirim sinyal kepada kita. Pihak lain itu
bisa sesama manusia, hewan, tetumbuhan dan sebagainya. Begitulah mekanisme
alamiah manusia.
Seperti yang sudah saya narasikan diatas, manusia
dilengkapi dengan sistem komunikasi bernama ‘nurani’. Nurani
menghasilkan energi bernama ‘empati’ atau ‘rasa kasih sayang’ sebagai respons
terhadap sinyal yang datang dari dari luar. Empati merupakan energi positif
yang tidak dapat menggerakkan otot-otot kita untuk berbuat sesuatu.
Tetapi empati dapat berubah menjadi energi
yang dikirim ke otak dan disebut “niat”. Setelah mendapatkan sinyal
berupa “niat’ tadi maka otak mulai bekerja. Kerjanya otak itu didasarkan pada
data dan informasi yang sudah tersimpan di dalamnya.
Kemudian, setelah menerima sinyal berupa “niat”,
maka otak mulai membandingkan niat dengan data dan informasi yang ada serta
melakukan analisis. Setelah melakukan analisis, maka otak merumuskan apa yang
akan diputuskan. Setelah ada keputusan maka otak memerintahkan otot-otot untuk
bergerak melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh “niat”.
Kembali ke masalah “sepi ing pamrih”.
Jadi “sepi ing pamrih” dapat terjadi kalau kita berbuat sesuatu atas dasar
proses atau mekanisme “sinyal luar - nurani – empati – niat – otak”. Tentu
kita tidak berharap apapun dari apa yang kita perbuat atau kita lakukan karena
semua itu berjalan secara alamiah dan otomatis saja.
Begitulah makna dari “sepi ing pamrih”.
Sebagai imbalan, secara alamiah dan otomatis kita merasakan sesuatu
yang nikmat tetapi tidak dapat kita gambarkan dengan kata-kata. Itulah rasa
bahagia.
Tetapi perlu kerabat akarasa ketahui bahwa
mekanisme “sinyal luar - nurani – empati – niat –otak” tidak
selamaya berfungsi dengan benar.
Dari banyak pengalaman tertentu yang pernah
terjadi dalam hidup seseorang, maka orang tercekam oleh rasa takut dan
ketegangan. Rasa takut ini melemahkan respons nurani dalam menerima sinyal dari
luar. Dengan lain perkataan produk nurani berupa “empati” atau “rasa kasih
sayang’ juga melemah. Kalau rasa takut tadi mencekam lebuh kuat, maka produksi
nurani berupa ‘empati’ atau ‘rasa kasih sayang’ akan terhenti.
Dalam hal produksi “empati’ terhenti karena
nurani melemah, maka sinyal dari luar akan langsung diterima oleh otak. Jadi
otak memproses sinyal dari luar tanpa diperintah oleh nurani. Hasilnya
adalah “pemikiran” dan langsung disalurkan sebagai perinah
terhadap otot-otot untuk bertindak.
Tanpa nurani bekerja secara normal, maka
perilaku manusia hanya dikendalikan oleh“pikiran” dan “naluri” .
Dari dalam dirinya tidak ada “rasa kasih sayang”. Yang ada hanya pemikiran yang
dikendalikan oleh “naluri bertahan hidup”.
Hewan merupakan makhluk yang hidupnya hanya
dikendalikan oleh “naluri bertahan hidup”. Hewan tidak diperlengkapi dengan
nurani maupun pikiran. Kalau nurani manusia tidak berfungsi maka manusia
akan lebih buruk dari hewan karena hidupnya dikendalikan oleh kombinasi
“pikiran + naluri bertahan hidup”.
Perang, korupsi, perampokan, pembunuhan,
perkosaan dan pelanggaran hak hidup orang lain pada dasarnya adalah karena
manusia tidak dikendalikan oleh nurani tetapi oleh kombinasi
kekuatan “pikiran dan naluri bertahan hidup”.
Kesimpulannya, “sepi ing pamrih” memberi imbalan berupa kebahagian yang hakiki. Akhir kata,
sekian dulu ulasan logika berpikir tentang ‘ sepi ing pamrih’ yang bisa saya sigi
dari sudut pandang saya pribadi. Wassalam.
Maturnuwun…
Ayodya, 221015
0 on: "Sepi Ing Pamrih Dalam Perspektif Kekinian"