Akarasa - Jaka Tingkir adalah putra dari
Ki Ageng Pengging. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia Jaka Tingkir yang
bernama kecil Mas Karebet tinggal seorang diri dan diasuh oleh
sanak-saudaranya. Setelah besar, Mas Karebet dibawa oleh janda Ki Ageng Tingkir
(kakak dari ayah Karebet) pergi dari Pengging untuk diboyong ke Tingkir dan
diangkat sebagai anak.
Setelah berada di desa
Tingkir, Mas Karebet terkenal dengan nama Ki Jaka Tingkir. Dia gemar pergi ke
hutan, gunung atau gua-gua untuk bertapa. Semakin dewasa Ki Jaka Tingkir tampak
lebih tampan. Banyak wanita terpikat ketampanan Jaka Tingkir. Sementara Jaka
Tingkir sendiri belum memikirkan masalah percintaan dan lebih senang bertapa di
tempat yang sepi. Namun Nyi Ageng Tingkir menasehati putranya agar tidak pergi
bertapa ke gunung atau semacamnya karena mengarah pada kekafiran dan memintanya
untuk berguru pada mukmin.
Pada suatu hari Jaka
Tingkir bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkata bahwa kelak Jaka
Tingkir akan menjadi raja. Sebagai calon raja, dia disuruh belajar mengaji dan
menghamba kepada Sultan Demak (Sultan Trenggana). Setelah sampai di rumah, Jaka
Tingkir menyampaikan pertemuannya dengan Sunan Kalijaga kepada ibunya. Atas
nasehat ibunya, Jaka Tingkir pergi ke Kembanglampir untuk berguru kepada Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga menerima Jaka Tingkir menjadi muridnya dengan senang
hati, serta mengenalkannya dengan Pemanahan dan Penjawi, putra Ki Ageng Sela.
Ketiganya belajar tentang ilmu sufi, ilmu keprajuritan dan ilmu tata
pemerintahan.
Setelah ilmu yang
mereka dapatkan sudah cukup, Sunan Kalijaga mempersilahkan mereka pulang. Ki
Jaka Tingkir menceritakan hasil kepergiannya kepada Nyi Ageng Tingkir, ibunya
itu kemudian menyarankannya untuk segera menghamba kepada Demak, dan
sesampainya di Demak disuruh menghadap Tumenggung Suranata. Jaka Tingkir
menemui Ki Ageng Ngenis untuk minta doa restu. Dia diangkat menjadi anak oleh
Ki Ageng Ngenis, dan diberi pelajaran mengenai ilmu sufi dan pemerintahan.
Setelah itu Jaka Tingkir berangkat pergi ke Demak.
Setibanya di Demak
Jaka Tingkir menemui Kyai Gandamestaka. Dengan senang hati Kyai Gandamestaka
bersedia mengaku Jaka Tingkir sebagai anaknya. Jaka Tingkir sangat tekun
belajar mengaji di masjid Suranatan. Masjid itu terletak di sebelah utara
keraton. Pekerjaan Tumenggung Suranata melayani Sultan Demak apabila akan
bersembahyang di masjid itu. Sebab ada aturan bilamana Sultan Demak hadir di
masjid, semua anak tidak diperbolehkan mendekati masjid.
Keluarga Tumenggung
Suranata bersiap-siap menyambut kedatangan Sultan Demak. Semua anak yang berada
di sekitar masjid disuruh pergi. Gandamestaka menyuruh Jaka Tingkir pergi,
tetapi Jaka Tingkir tetap duduk di serambi masjid karena keinginannya melihat
Sultan Demak. Gandamestaka mengusirnya lagi, dengan sekali lompat ke belakang,
Jaka Tingkir sudah berada di seberang kolam tempat anak-anak lain berkumpul. Pada
waktu itu Sultan Demak sudah hadir di masjid. Secara kebetulan Sultan Demak
melihat ketangkasan melompat Jaka Tingkir. Ia terpikat ketangkasan dan
keterampilan Jaka Tingkir. Atas izin Gandamestaka, Jaka Tingkir diambil anak
angkat oleh Sultan Demak.
Ki Jaka tingkir
dinobatkan menjadi putra angkat Sultan Demak. Ia dapat keluar masuk keraton dan
bergaul dengan para putri Sultan Demak. Pada suatu hari Sultan Demak dan Jaka
Tingkir berjalan di hutan, sedangkan semua putra dan istrinya merupakan satu
rombongan yang berjalan di belakang. Jaka Tingkir mampu membinasakan seekor
harimau yang menyerang Sultan Demak. Selain itu saat menyusuri sungai dengan
perahu, Jaka Tingkir mampu mampu menangkap buaya yang menyerang Sultan Demak.
Hal tersebut membuat Sultan Demak semakin sayang kepada Jaka Tingkir. Atas
dasar jasa, keberanian, dan kesaktiannya itu maka Jaka Tingkir dinobatkan
menjadi panglima yang membawahi empat ratus orang prajurit dan mendapat hadiah
sebidang tanah. Gelarnya adalah Raden Lurah Jaka Tingkir.
Sultan Demak
berkeinginan memilih rakyatnya untuk diangkat menjadi prajurit. Orang yang
ingin menjadi prajurit diuji terlebih dahulu, dengan cara diadu dengan seekor
banteng. Siapa yang mampu membinasakan banteng itu dengan tangan kosong,
ujiannya lulus dan diterima menjadi prajurit. Walaupun anak buah Jaka Tingkir
terdiri dari orang-orang sakti, diantara mereka banyak yang akan diganti yang
lebih muda dan sakti. Di desa Kedung Pingit ada seoerang jagoan bernama
Dadungwuk yang pergi ke Demak untuk mengikuti sayembara. Jaka tingkir ingin
menguji kesaktian Dadungwuk. Dalam perkelahian itu Dadungwuk terbunuh oleh Jaka
Tingkir.orang-orang yang melihat kejadian itu langsung terkejut. Perbuatan Jaka
Tingkir dianggap semena-mena sebab membunuh orang yang tidak berdosa. Sultan
Demak menjadi murka setelah mengetahui peristiwa tersebut. Jaka Tingkir
akhirnya dihukum dengan cara diusir dari Demak dan kedudukan yang sudah
dihadiahkan oleh Sultan Demak dicabut.
Hal tersebut membuat
Jaka Tingkir menjadi sedih. Dia memutuskan untuk prig ke hutan dan tidak pulang
ke Tingkir sebab dia merasa perbuatannya dapat merendahkan Nyi Ageng Tingkir.
Samapi malam hari ia tidak meninggalkan hutan dan tidur di atas sebatang pohon.
Tiba-tiba bertiup angin yang cukup kencang. Semua pohon porak-poranda dihempas
angin ribut. Pada pagi harinya Jaka Tingkir meneruskan perjalanan dan tiba di
gunung Kendeng. Jaka Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Butuh dan diajak pulang ke
desa Butuh.
Ki Ageng Butuh dan
saudaranya, Ki Ageng Ngerang mengambil Jaka Tingkir sebagai anak mereka. Mereka
memberikan pelajaran tentang ilmu kesaktiaan, ilmu keprajuritan, dan ilmu tata
pemerintahan kepada Jaka Tingkir. Orang-orang di desa Butuh lebih senang
memanggil Jaka Tingkir dengan sebutan Raden Pancadarma.
Selama tinggal di
Butuh, Jaka Tingkir selalu mendapat nasihat Ki Ageng Butuh. Ia disuruh pergi ke
Demak menemui teman-temannya. Kalau Sultan Demak tidak menanyakan kepergiaanya,
Jaka Tingkir disuruh pulang ke Pengging. Jaka ingkir menemui teman-temannya di
Demak pada malam hari. Ia mendapat informasi bahwa selama kepergiannya, Sultan
Demak tidak pernah menanyakan. Oleh karena itu, Jaka Tingkir meminta temannya
agar bersedia mengantarnya pulang.
Pada suatu hari Jaka
Tingkir berkunjung ke Pengging. Ia bersemedi di makam ayahnya selama tiga hari.
Berdasarkan ilham yang diterima, ia pergi berguru kepada Ki Buyut Banyubiru.
Sementara itu, seorang keturunan Brawijaya yang bernama Permanca, diambil anak
angkat oleh Ki Ageng Buyut Banyubiru. Ki Ageng Buyut Banyubiru mempunyai dua
orang saudara Ki Majasta dan Ki Wragil. Ki Majasta mempunyai anak laki-laki
bernama Jaka Wila.
Jaka Tingkir berguru
kepada Ki Buyut Banyubiru selama tiga tahun. Ia banyak mendapat pelajaran
tentang ilmu keprajuritan dan ilmu pemerintahan. Ki Buyut Banyubiru menyuruh
Jaka Tingkir pergi ke Demak lagi. Permanca, Jaka Wila dan Ki Wragil disuruh
ikut Ki Jaka Tingkir. Ki Buyut Banyubiru menasehati mereka bahwa nanti di Demak
aka nada seekor banteng mengamuk dan yang dapat membinasakan hanya Jaka Tingkir.
Dengan demikian ia akan diampuni oleh Sultan Demak.
Setibanya di Majasta,
Jaka Tingkir, Permanca, Jaka Wila dan Ki Wragil singgah selama tiga hari.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menyusuri bengawan dengan sebuah rakit.
Mereka diganggu oleh raja roh penjaga bengawan bernama Baureksa bersama
prajuritnya. Mereka dapat mengalahkannya. Prajurit Baureksa yang terdiri dari
ratusan buaya menjadi pengikut Jaka Tingkir.
Pada suatu malam, Ki
Ageng Butuh melihat wahyu kraton turun ke bumi. Ia pergi menyusuri bengawan dan
tidak sengaja bertemu dengan Jaka Tingkir bersama saudaranya. Mereka singgah di
tempat Ki Ageng Butuh, sesudah mendapat berbagai nasihat, mereka disuruh
melanjutkan perjalanan senyampang Sultan Demak sedang berburu.
Ki Buyut Banyubiru
berada di bukit Prawata. Ia bertemu seekor banteng kemudian ia memasukkan
segumpal tanah ke lubang telinga kiri banteng itu. Seketika itu banteng
terperanjat dan tampak liar. Banteng itu tiba-tiba lari menuruni lereng bukit.
Di Pasanggrahan Sultan Demak, banteng itu mengamuk sehingga banyak orang yang
mati. Tak seorangpun mampu membinasakannya.
Jaka Tingkir mengetahui bahwa yang membuat
banteng itu marah adalah Ki Buyut Banyubiru. Mereka keluar dari peersembunyian
dan mendekati pesanggrahan. Dalam kesempatan itu, Jaka Tingkir dan
kawan-kawannya menampakkan diri. Sultan Demak mengetahui bahwa Jaka Tingkir
berada diantara rakyatnya yang sedang melihat amukan banteng itu. Atas perintah
raja, Jaka Tingkir disuruh membinasakan banteng itu. Bilamana ia mampu membunuh
banteng itu, Jaka Tingkir akan mendapat pengampunan, dianugrahi kedudukan dan
putri raja.
Terjadilah perang yang
sangat ramai antara Jaka Tingkir vs banteng. Dada Jaka Tingkir tertanduk
sehingga ia tidak sadarkan diri. Setelah sadar kembali, ia teringat pesan Ki
Buyut Banyubiru. Kepala banteng itu dipegang erat-erat oleh Jaka Tingkir. Segumpal
tanah yang berada di lubang telinga kiri dikeluarkannya, kemudian ia menghantam
kepala banteng itu, dan banteng itu akhirnya pun mati.
Melihat kemenangan
Jaka Tingkir, Sultan Demak menjadi lega dan merasa gembira. Kemudian ia
menganugerahi Jaka Tingkir seperti apa yang dijanjikannya. Setelah upacara
pemberian hadiah selesai, raja beserta pengiringnya pulang ke Demak. Putrid
bungsunya dianugrahkan kepada Jaka Tingkir. Selain itu Jaka Tingkir dinobatkan
menjadi raja yang berkedudukan di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya atau
dikenal dengan Sultan Pajang.
Sultan Demak meninggal
dunia pada tahun 1503 (tri lunga manca bumi) setelah memerintah selama empat
puluh tahun. Ia dimakamkan di sebelah barat masjid. Sultan Pajang naik tahta
pada tahun 1503 juga. Atas persetujuan sultan dan Ratu Kalinyamat, semua pusaka
Demak diboyong ke Pajang.
Sultan Pajang
mengangkat Permanca sebagai patih dengan gelar Pangeran Pancakesuma. Ki Wragil
diangkat menjadi bupati dengan gelar Ki Wragil Sencaraga. Jaka Wila diangkat
menjadi bupati dengan gelar Ki Wilamarta. Semua gurunya dihormati, Pemanahan,
Penjawi dan Jurumertani menghamba di Pajang. Ketiga anak Pemanahan disayangi
oleh Sultan Pajang.
Pemberontakan Pangeran
Harya Penangsang terhadap Pajang. Dia membunuh ipar Sultan Pajang, Sunan
Prawata dan istrinya pada tahun 1436 (bah ring welut catu nabi). Selanjutnya
Harya Penangsang ingin membunuh Sultan Pajang. Pada suatu hari Harya Penangsang
bersama semua prajuritnya pergi ke Kudus. Ia memohon Sunan Kudus agar memanggil
Sultan Pajang sebab ia ingin bertemu dengannya. Sunan Kudus mengabulkan
permintaan tersebut. Sultan Pajang, Pemanahan dan Penjawi pergi ke Kudus
memenuhi panggilan gurunya. Setibanya di Kudus, mereka ditemui oleh Harya
Penangsang.
Ketegangan antara
Pajang vs Harya Penangsang makin menjadi. Terjadi perseteruan yang menimbulkan
peperangan di antara dua kubu yang berlawanan tersebut. Harya Penangsang
tertusuk tombak Kyai Plered oleh Raden Ngabehi Loring Pasar, putra angkat
Sultan Pajang. Walau ususnya sudah keluar, Harya Penangsang belum meninggal.
Namun akhirnya ia dapat dibunuh juga oleh Raden Ngabehi Loring Pasar. Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1504 (karya nir manca bumi).
Sunan giri mengadakan
persiapan penjemputan terhadap sultan. Adipati Surabaya, adipati Magetan,
adipati Panaraga, adipati Pati dan adipati Madiun sudah hadir di Giripura.
Tidak berapa lama Sultan Pajang hadir. Sultan dinobatkan oleh Sunan Giri
menjadi raja yang menguasai Pulau Jawa. Peristiwa itu terjadi pada tahun
1450.
0 on: "Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya)"