Akarasa - Pada
tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi
terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang
bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama
BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu)
Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran
Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton
sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79
putera-puteri.
Seperti
saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama
belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan
sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari
Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda,
Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun
lebih.
BRM
Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah,
filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari
K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika
menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi
pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Tahun demi
tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit
Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap
waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi,
yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang
ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu
orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang
kaya dan berkuasa.
Dalam
kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan
jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena
hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar.
Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam
lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian
berturutan yang menderanya, yaitu:
Patih Danurejo
VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama
kemudian meninggal dunia. Ibunya dicerai oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan
kepada dirinya. Istri yang
dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak
puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan
permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti
sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan
lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak
dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan
pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di
sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
Ketika berita
perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L.
Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke
Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya
(Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
Pangeran Suryomentaram kembali ke
Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi
kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab
kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran,
penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi
rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya,
kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda),
pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu
ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa
tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi
dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti
Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun
rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan
mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar
ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian
dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan
rasa tidak puasnya.
Pada tahun
1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono
VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan
mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan
pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya
sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke
makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala
corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang
punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung
Cina.
Dalam
perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk
dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas
cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani
mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah
menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram
sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran,
dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah
Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi
ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia
Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda
masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah
berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak
terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas,
ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram
yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin,
sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup
sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram
atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak
pula yang datang berdukun.
Meskipun Ki
Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya.
Di Yogya ia masih mempunyai rumah.
Waktu itu
Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara
beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan
dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon
itu ada 9 orang, yaitu:
- Ki Gede Suryomentaram,
- Ki Hadjar Dewantara,
- Ki Sutopo Wonoboyo,
- Ki Pronowidigdo,
- Ki Prawirowiworo,
- BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram),
- Ki Suryodirjo,
- Ki Sutatmo, dan
- Ki Suryoputro.
Masalah yang
dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia.
Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai,
negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk
Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu
dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri
dari penjajahan Belanda.
Pada awalnya
muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah
dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin
dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri
tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.
Sekalipun
gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat
perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama
setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral
dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para
pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah
pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi
pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.
Dalam
Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki
Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
Setelah
menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian
beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk
asrama dan sekolah Taman Siswa.
Pada suatu
malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram,
yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu
yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng
melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa
kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si
Suryomentaram.
Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai
berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi
pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang
yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak
kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu
bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang
tinggal diawasi dan dijajagi.”
Sejak itu Ki
Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan
untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk
mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian
juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing.
Setiap kali
bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan
“rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan
keadaan.
Pada tahun
1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam
bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”. Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri
tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.
Suatu hari Ki
Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta.
Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang
perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena
merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai.
Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang
perahu.
Setelah pulang
ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman.
Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali.
Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat
si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab,
“Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus
asa.
Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng
menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal
mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh
diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian
tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat
melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”
Belanda
mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun
pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse
yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa
Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang
ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki
Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia
ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel
tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng
kemudian dibebaskan.
Pada
pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan
berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi
gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa
Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah:
Membela
majikan lama yaitu Belanda.
Ganti majikan
baru yaitu Jepang.
Menjadi
majikan sendiri yaitu merdeka.
Perang itu
sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang.
Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita
ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?.
Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain.
Pertemuan
“Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang
kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat
diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa.
Pada waktu
pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia
berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan
Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta,
Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara).
Ki Ageng juga
menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama
“Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang
ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung
Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh
Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera
tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani
mati dan berani perang.
Dalam usaha
mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya
yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut
ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano
menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.
Untuk membuat
surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala
Sembilan”, masing-masing adalah:
Ki Suwarjono
Ki Sakirdanarli
Ki Atmosutidjo
Ki Pronowidigdo
Ki
Prawirowiworo
Ki Darmosugito
Ki Asrar
Ki Atmokusumo
Ki Ageng
Suryomentaram
Setelah
ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat
tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo.
Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama
kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah
Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung
dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.
Kemudian Ki
Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri.
Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela
diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA
inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan
selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu
perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan
Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta
diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke
daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu
berhubungan dengan tentara gerilya.
Setelah
penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh
Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan
pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada
tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai
wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan
pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.
Kurang lebih
40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai
kelinci percobaan.
Pada suatu
hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki
Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu
di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak
belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri”.
Ki Ageng
dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak
kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Sakitnya makin lama
makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam
usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22
Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan
kota Yogyakarta.
Ki Ageng
Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang
putri. Seorang putra telah meninggal. Mereka adalah:
RMF Pannie
RM Jegot
(meninggal)
RM Grangsang
RA Japrut
RA Dlureg
RA Gresah
RA Semplah
Ki Ageng
Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH
PANGAWIKAN PRIBADIatau yang sekarang lebih dikenal dengan
sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia
melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi
manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai
sejahtera.
Ki Ageng
Suryomentaram dilahirkan di Kraton Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892 sebagai
salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Beliau meninggalkan
kehidupan sebagai pangeran dalam kraton dan memilih hidup sebagai petani di
desa Bringin, Salatiga, sampai wafat pada tanggal 18 Maret 1962.
Sepanjang masa
hidupnya beliau mencurahkan segala daya, tenaga dan perhatiannya untuk
menyelidiki alam kejiwaan diri pribadi manusia yang membawa kebahagiaan atau
kesusahan dalam hidup manusia.
Wejangan-wejangan
Ki Ageng Suryomentaram biasanya diawali sebagai bahan yang dibicarakan atau
diceramahkan di pelbagai tempat yang beliau datangi, kemudian barulah disusun
dalam naskah tertulis yang hampir seluruhnya dalam bahasa Jawa. Cukup banyak
yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Secara berkala
dan bergantian di berbagai kota, para peminat wejangan Ki Ageng ini mengadakan
pertemuan besar yang disebut “Junggring Salaka Agung”. Dalam pertemuan tersebut
Ki Ageng juga menyampaikan ceramah-ceramahnya.
Karya dan
wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram ini juga telah digunakan sebagai bahan
skripsi/tesis/disertasi, antara lain oleh: Dr. J. Darminta S.J. (disertasi di
Universitas Gregoriana, Roma, 1980); Drs. Darmanto Jatman (tesis Fakultas Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta, 1985); Drs. Josephus Sudiantara (skripsi Fakultas
Filsafat UGM, Yogyakarta, 1983); Drs. A. Widyahadi Seputra (skripsi Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 1986); Drs. Nur Satwika (skripsi Fakultas
Sastra UNS, Surakarta, 1989).
Marcell
Bonneff, peneliti dari Universitas Paris, telah mempelajari wejangan Ki Ageng
ini secara lengkap dan kemudian menulis buku tentang hal ini dalam bahasa
Perancis, berjudul “Ki Ageng Suryomentaram, Prince Et Philosophe Javanais”.
Sayang, di
masa sekarang, tulisan dan wejangan Ki Ageng ini sudah sukar didapatkan, baik
dalam bahasa aslinya maupun yang sudah diterjemahkan. Pembuatan situs ini di
samping sebagai penghormatan kepada Ki Ageng Suryomentaram, juga bertujuan agar
wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram ini mudah diperoleh oleh siapa saja
yang berminat.
Semoga
bermanfaat.
0 on: "Biografi Ki Ageng Suryomentaram"