Seperti Apakah Takdir Saya…?
Pertanyaan ini seperti tidak ada
habis-habisnya mengusik isi kepala. Tapi saya rasa saya tidak sendirian dengan
pertanyaan tersebut, saya yakin diantara pembaca akarasa ini pernah terlintas
pertanyaan seperti di atas. Di kesempatan siang ini saya akan analogikan Takdir
dalam logika berpikir saya. Sekali lagi ini adalah pandangan pribadi dan saya
tidak minta pembenaran dari kerabat akarasa. Pertanyaan seperti pada pembuka
tulisan ini selalu saya tanyakan, tragisnya lagi bahkan tak jarang menjadi
bentuk pemberontakan dalam diri. Dimana pada satu situasi kadang Jiwa saya seperti merasa terjebak di
dalam Raga saya hari ini. Situasi dimana saya tidak menerima kondisi yang ada
saat ini, kondisi yang sedang dijalani Raga.
Jiwa seakan tidak pernah berjalan bersama
raga. Raga berada dimana, Jiwa juga entah berada dimana, mungkin dimasa lalu,
atau di masa depan, dan lain sebagainya. Seperti halnya air dengan minyak.
Seandainya, kalaupun Jiwa berada dalam tubuh, sering kali cuma bisa menyusut,
mengecil, kempes, hanya menempati salah satu ruang saja. Jiwa penuh dengan ketakutan,
merasa kecil, dan lain sebagainya.
Mungkin saja bila kondisi ini terus
berlarut-larut, saya takut mengakibatkan kebingungan bagi Raga untuk
menterjemahkan keinginan Jiwa. Karena yang saya pahami sejauh ini reseptor Raga
berbeda dengan Jiwa. Raga terbatas oleh ruang dan waktu. Jika terlalu sering
ditinggalkan dan atau terlalu sering menerima perintah-perintah dari Jiwa yang
tidak sesuai dengan program yang sudah ada dalam diri Raga, maka
timbulah~overload. Reseptor Raga melemah, syaraf, system metabolisme tidak
teratur terjadilah proses degeneratif. Bisa jadi akan timbul bermacam-macam
penyakit. Dan itu terbukti, saya pernah sakit parah hampir 3 tahun satu
dasarwrsa yang lalu.
Mungkin, dari sakit itulah sebentuk
latihan-latihan dari cara semesta mengendalikan sifat Jiwa saya yang senantiasa
meliar, meluas, dan senantiasa berada dimana-mana sesuka-sukanya dirinya. Dari
sakit itulah serupa latihan Jiwa ditarik agar tetap berada dalam keadaan
terkini, situasi dan kondisi terbarukan di dalam bersama raganya. Dari sakitlah
itulah saya mendapatkan pemahaman jika, “Takdir saya sesungguhnya adalah apa yang
terjadi pada diri saat terkini dan sekarang ini. Tidak ada masa lalu dan tidak
ada masa akan datang. Yang ada hanyalah saat ini. Inilah makna hakekat takdir
dalam konsep saya. Masa depan masih takdir Tuhan, masa lalu hanyalah sebuah
memory saja. Kita ada dan kita merasakan takdir kita adalah saat sekarang ini.
Sebuah kesadaran saat ini”.
Sederhanaya, jika saat ini kita sedang
membaca tulisan ini, itulah takdir kita sesungguhnya. Raga kita sedang
melakukan pekerjaan membaca tulisan ini. Itulah takdir kita. Selanjutnya kita
tinggal mempertahankan kesadaran dan pasrahkan
Jiwa kita untuk mengikuti kegiatan Raga.
Takdir dalam pandangan saya adalah
rangkaian kejadian-kejadian yang disusun menjadi sebuah aktifitas fisik. Jadi,
dalam konsep ini kita mesti melatih diri kita untuk menyambut takdir kita dari
waktu ke waktu sepanjang usia. Kesiapan kita dalam menerima suasana sangat
tergantung kepada perencanaan dan negosiasi kita kepada Pencipta. Suasana
penyambutan inilah yang diinginkan-Nya, kepada Jiwa adalah dalam suasana
tenang, ridho, yakin, dari pasrah bersama raga. Ikhlas..! sekian dan terima
kasih. Maturnuwun...
0 on: "Analogi Takdir Dalam Logika Berpikir"