Akarasa – Tulisan pertama yang saya beri
label sosil budaya ini saya mengangkat tentang tradisi carok. Meskipun saya bukan orang Madura, akan tetapi hampir
satu windu saya bergaul erat dengan orang Madura saat saya masih tinggal di Gresik,
Jawa Timur. Dan bahkan, ada beberapa teman yang sudah layaknya saudara.
Secara umum, carok dalam bahasa Kawikuno
artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar.
Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain,
yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi
kehormatan itulah yang bisa saya simpulkan dari beberapa obrolan dengan Cak
Man, seorang kolega saya yang berasal dari Burneh, Bangkalan.
Meski sebenarnya dari berbagai literatur yang
saya baca, budaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura, sampai detik
ini masih belum jelas asal-muasalnya. Namun, berdasarkan legenda rakyat, carok
terjadi bermula dari perkelahian antara Pak Sakera dengan dua bersaudara,
Markasan dan Manbakri, yang antek-antek Belanda pada abad ke-18 M. Setelah Pak
Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, JawaTimur, orang-orang
bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas . Saat itulah timbul
keberanian melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun, pada masa itu mereka
tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan
keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga
sesama bangsa Madura sendiri.
Tradisi carok yang bagi sebagian besar yang
dipahami orang Madura lebih seringnya dilakukan sebagai ritus balas dendam
terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap
isteri, yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan
martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok,
tidak dikubur di pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang
berlumur darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus
berkobar guna mewariskan balas dendam.
Sasaran utama carok balasan adalah pemenang
carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh.
Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi
agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan. Sedangkan keberadaan
celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya
yang seperti tanda tanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak
puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan kebiasaan orang
Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang samping kiri,
karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya pembelaan harga
diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang rusuknya
laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk
melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu.
Celurit untuk membela istri, harta, dan
tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa
celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus dan gersang,
membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang jauh dari pusat
kekuasaan Singasari pada waktu itu.
Dengan alasan untuk membela kehormatan itulah,
maka orang yang melakukan carok, dianggap bagai pahlawan oleh keluarga dan
lingkungan sekitarnya, meski pada akhirnya mereka harus mati di tangan
lawannya. Dan untuk orang yang mengalahkan lawannya saat carok, dan lolos dari
kematian, selain dianggap pahlawan oleh keluarganya pun dianggap sebagai oreng
jago atau jagoan. Orang seperti inilah, yang kemudian akan mendapat julukan
sebagai oreng blater.
Dan bila julukan sebagai oreng blater telah
disandang maka orang tersebut pun bisa mendaftar menjadi anggota remo yakni
sebuah perkumpulan yang mirip arisan khusus untuk para jagoan carok. Tradisi
remo atau kumpul-kumpul para oreng blater ini biasanya akan dilaksanakan oleh
salah satu anggota dari remo untuk mengumpulkan dana mendesak. Dengan berbagai
macam hiburan tradisional seperti ludruk dan sandur, sebagaimana arisan pada
umumnya para oreng blater yang telah diundang harus menyerahkan sejumlah uang
kepada orang yang telah mengadakan remo tersebut. Besarnya dana yang terkumpul
biasanya tergantung dari seberapa mashyur orang yang menagadakan remo. Semakin
tinggi ketokohan yang bersangkutan semakin banyak pula uang yang bisa
dikumpulkan.
Uang yang didapat dari remo, menjadi hak
penuh sang tuan rumah. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang hasil
remo tak jarang digunakan untuk membiayai carok yang dilakukan oleh kerabat
atau keluarganya.Status ketokohan seseorang di Madura, masih terasa belum
lengkap jika sang tokoh belum menjadi anggota remo. Dalam remo pun, ketokohan
itu masih harus dibuktikan lagi. Aantara lain dari besarnya uang yang
diserahkan kepada si tuan rumah. Semakin besar tip yang dibagi untuk para
penari yang menghibur dalam remo, dan makin banyak minuman yang ditenggak, juga
membuat ketokohan orang itu kian menjulang.
Tapi, sebagaimana arisan pada umumnya, uang
yang diberikan ini tentu saja bukan uang cuma-cuma. Sebab, sumbangan atau
mowang, yang diberikan seseorang, pasti akan terus ditagih meski orang itu
telah menyatakan diri berhenti dari keanggotaan remo. Di sisi lain, dengan remo
pula, sebuah keluarga bisa menyelesaikan akibat yang ditinggalkan karena carok.
Misalnya, nabang (baca: nabĂȘng) untuk memudahkan urusan dengan polisi, atau
untuk membantu keluarga korban carok. Sekian dan matur nuwun.
0 on: "Carok Antara Pertaruhan Kehormatan dan Balas Dendam"