Akarasa - Bagi warga desa Kajen atau secara
umum masyarakat Pati, Jawa Tengah, siapa yang tak kenal dengan Syeh Ahmad
Mutamakkin atau yang familiar disapa oleh
warga sekitar dengan sapaan Mbah Mutamakkin. Sosok faqih yang disegani karena
memiliki pandangan yang luas dan mendalam terhadap agama. Agaknya tidak hanya
warga Kajen saja yang mengenal nama baik Mbah Mutamakkin. Namun nama itu telah
menyebar ke berbagai daerah di Jawa terutama bagian utara.
Dari cerita tutur yang berkembang akan
kekaromahannya, beliau semasa adalah seorang pendakwah islam yang berasal dari
Desa Cebolek(sekarang Winong), Desa Sugiharjo, Tuban, yang kebetulan satu desa
tempat saya lahir. Beliau berdakwah dari satu tempat menuju tempat lain. Hingga
Mbah Mutamakkin pun memutuskan untuk tinggal dan menyebarkan agama Islam di
Kajen atas dasar kejadian mistik yang beliau terima setelah menunaikan shalat
isya’, yakni sebuah cahaya yang mengarah kearah barat, sedang pada saat itu mba
Mutamakkin tinggal di sebuah daerah yang beliau namai sama seperti tempat
kelahirannya(Cebolek) yang sekarang menjadi dukuh Winong, Desa Sugiharjo, Tuban.
Bagi beliau, kejadian tersebut merupakan
sebuah isyarat. Maka keesokan harinya beliau pun menuju ke sumber cahaya yang
beliau lihat pada malam itu. Sesampainya disana beliau bertemu dengan seorang
tua yang menurut cerita bernama mbah Syamsudin. Singkat cerita, terjadilah
percakapan yang mana mbah Syamsudin menyerahkan desa Kajen kepada Mbah Mutamakkin
untuk dikelola. Makam Mbah Syamsudin berada di sebelah barat makam Mbah
Mutamakkin. Tepatnya di sebelah utara blumbang yang sekarang biasa digunakan
para santri untuk riyadlah dan menghafalkan Al-Qur’an.
Namun, hal aneh terjadi. Menjelang Maghrib,
Mbah menyuruh istrinya untuk mengikatkan dirinya disebuah tiang. Mengetahui
Maghrib telah tiba, nafsu makan beliau menggelora dengan dahsyatnya.
Pertarungan antara hawa nafsu dengan qolbun salim(hati yang bersih)pun terjadi.
Namun akhirnya mbah Mutamakkin lebih memenangkan qolbun salimnya. Hingga
kejadian ajaib pun terjadi, keluarlah dua anjing dari dalam perut beliau. Kedua
anjing tersebut merupakan lambang dari hawa nafsu beliau langsung melahap habis
makanan yang ada didepannya. Setelah selesai keduanya ingin kembali masuk dalam
perut Mbah Mutamakkin. Namun beliau menolak. Akhirnya kedua anjing tersebut
menjadi khodim (pembantu) dalam perjuangan mbah Mutamakkin yang kemudian oleh
beliau diberi nama Abdul Qohar dan Qomaruddin yang konon diambil dari nama penguasa
yang dzalim dari Tuban kala itu.
Nah, kita kembali ke tempat asal beliau,
yakni ke Winong (Cebolek). Di antara petilasan yang ada di Tuban adalah Masjid
Karomah Winong. Masjid ini terletak di Dukuh Winong, Sugiharjo, Kecamatan Tuban
Kota. Situs masjid yang berjarak sekitar 7 km dari pusat perkotaan kota itu,
merupakan salah satu tempat semacam padepokan milik Kiai Mutamakin saat
menyebarkan agama islam. Sebelum dipugar oleh warga menjadi masjid yang lumayan
besar pada tahun 1977, dulu tempat itu hanyalah tempat kecil yang digunakan
oleh Kiai Mutamaqin untuk berriyadhoh dan bermunajat kepada Allah SWT.
Di sekitar masjid juga terdapat satu pohon
sawo kecik yang sangat besar, diperkirakan berumur ratusan tahun. Pohon itu
diyakini oleh masyarakat sekitar, sudah ada sejak zamannya Kiai Mutamakin.
Tidak hanya itu, sebuah gentong dan benda persegi terbuat dari kayu seperti
nampan juga termasuk peninggalannya.
Konon, gentong tersebut merupakan tempat
menyimpan air untuk kebutuhan Kiai Mutamakin sehari-hari. Selain gentong, juga
terdapat sebuah benda seperti nampan. Benda tersebut diyakini masyarakat
sebagai alat yang digunakan di saat menyuguhi para tamunya Kiai Mutamakin.
Masuk lagi ke dalam masjid, di situ tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat
konon digunakan Kiai Mutamakin dalam menaruh peci atau baldu.
Selain itu juga terdapat sebuah batu kecil dan
tumpul yang perkiraan digunakan untuk menumbuk. Di sebelah barat masjid
terdapat sebuah sungai. Menurut cerita masyarakat sekitar, sungai tersebut
merupakan tempat berwudhunya Kiai Mutamakin.
Sebelum masuk kawasan masjid Karomah
Winong, di situ akan melewati sebuah gapura. Di mana gapura tersebut merupakan
pintu masuk ke arah kawasan tempat pasujudan Kiai Mutamakin. Menurut cerita
masyarakata sekitar, dulu saat orang masuk tanpa niat yang baik dan tidak
sopan, maka orang tersebut tiba-tiba tidak bisa melihat orang lain. Kiai
Mutamakin ini merupakan asli penduduk Winong, Desa Sugiharjo. Masyarakat biasa
memanggilnya dengan sebutan Mbah Mutamakin. Kata sebagian ulama yang pernah
datang ke Masjid Karomah Winong, Mbah Mutamakin masih keturunan bangsawan Jawa
yang masih punya garis keturunan dengan Raden Patah (Kesultanan Demak) yang
berasal dari Kesultanan Trenggono.
Sultan Trenggono mengawinkan salah satu
putrinya dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiningkrat) yang mempunyai putra bernama
pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro) yang menurunkan putra Kiai Mutamakin.
Sedangkan dari jalur ibu, Kiai Mutamakin masih keturunan dari Syaid Ali Akbar
dari Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Syaid Ali Akbar mempunyai seorang
putra bernama Raden Tanu. Selanjutnya Raden Tanu mempunyai seorang putri. Putri
tersebutlah yang menjadi ibunya Kiai Mutamakin.
Semasa
hidupnya Kiai Mutamakin sepenuhnya hanya mengabdikan diri untuk menyebarkan
agama islam di daerahnya. Konon Kiai Mutamakin saat mudanya dulu pernah nyantri
di di Sayyid Assyari sekarang Sunan Bejagung Lor. Hingga sampai dipinang
menjadi menantunya. Selama menyebarkan agama Islam, Kiai Mutamakin selalu
berpindah tempat. Kalau tempat tersebut dalam penyebarannya dianggap sudah
berhasil, maka akan berpindah tempat. Seperti halnya sumur tua di Kuthi Desa
Sumurgung, Tuban banyak yang meyakini bahwa sumur itu juga peninggalan Kiai
Mutamakkin.
Menurut sebagian ulama, Kiai Mutamakin juga
selalu berpegang teguh pada prinsip dan kepribadian tentang aqidah Islam.
Sosoknya juga alim, terbuka dan berani. Tidak hanya itu, Kiai Mutamakin juga
termasuk orang yang luwes dan kuat menahan hawa nafsu.
Selama perjalanan pengembaraannya dalam
menyebarkan agama Islam, akhirnya Kiai Mutamakin menetap di Desa Cebolek
(Winong), lalu di Kajen, Pati Jawa Tengah.
Diriwayatkan, saat berada di
Kajen, Kiai Mutamakin bertemu dengan ulama lokal bernama Mbah Syamsudin yang
sudah saya singgung di atas. Dalam pertemuan tersebut terdapat dialog yang pada
akhirnya berisi penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsudin untuk Kiai
Mutamakin untuk merawat dan selalu mensyiarkan agama Islam dengan baik. Sekian dulu
dan maturnuwun.
0 on: "Mbah Mutamaqin, Seorang Filsuf Yang Tak Terceritakan"