Akarasa
– Bagi masyarakat Ngawi dan sekitarnya tentu tidak asing dengan gunung atau
lebih tepanya bukit batu yang satu ini. Namun sekedar untuk kerabat akarasa
ketahui, tempat ini sangat angker. Konon, tempat ini adalah Istana Siluman yang
di kuasai oleh dahnyang perempuan, yang perwujudannya berupa sosok wanita peot
dengan rambut acak-acakan. Selain itu
tempat ini juga dikenal dengan bukit Patah Ati. Hal ini berdasarkan kisah cinta
dua tokoh masa lalu yang percintaannya kandas disini. Karena itu, bagi orang
yang sedang menjalin asmara, dilarang mendaki bukit Patah Ati. Katanya, akan
mengalami nasib yang sama.
Beberapa
saat yang lalu dengan ditemani dua orang teman dari Magetan saya mencicip
keangkeran akan mitos tersebut dan menuliskannya untuk kerabat akarasa kinasih.
Sengaja saya tuliskan bersambung agar kerabat tidak jenuh membacanya.
Seperti
yang sudah saya singgung di atas, bukit bebatuan gersang ini dipercaya
merupakan istana bangsa siluman yang menjaga wilayah lereng Gunung Lawu. Tempat
ini dikenal dengan nama Gunung Lir-liran, terletak di perbatasan kabupaten
Ngawi, Jawa Timur dan kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Setidaknya, di atas bukit
kecil ini ada tiga tempat yang selama ini sangat dikeramatkan.
Jalan
setapak merupakan satu-satunya untuk mencapai Gunung Lir-liran. Diperlukan sekurangnya
satu setengah jam dari lereng untuk menuju makam Pangeran Haryo Bangsal. Dengan
tertatih-tatih kami menapak tempat wingit ini. Sebelum sampai ke makam Haryo
Bangsal, kami sudah menapak di sua buah batu hitam legam yang disebut-sebut
sebagai batui bertuah.
Batu
yang sebelah kanan kalau kita dari lereng dikenal dengan nama Guo Maling,
sedang sebelah kirinya dikenal dengan nama Guo Tledek mengacu penjelasan salah
seorang teman yang sudah beberapa kali menapak ke sini. Konon, bila ada
seseorang yang berjodoh dan diterima kehadirannya oleh pedahnyangan disini,
maka ia akan melihat batu itu terbuka dan berubah wujud menjadi Goa yang cukup
luas. Sepertinya sesuatu yang terkesan naif.
Untuk
membuktikan hal tersebutlah, kami mengorbankan waktu dan tenaga untuk
membuktikan kepercayaan tersebut. Singkat cerita, manekung dalam prosesi gaib,
secara pelan-pelan kedua batu itu seperti bergerak-gerak diikuti gejala alam
mirip gempa. Meski sudah untuk kesekian kalinya, sebagai fitrah manusia hati
tetap was-was, jangan-jangan akan ada gempa, padahal kami berada di bukit yang
penuh bebatuan. Dengan bahasa isyarat, saya berpesan pada dua orang teman agar
jangan takut. Aneh, dalam waktu tak lama. Batu itu bergeser dan di dalamnya
terlihat semacam kehidupan semacam kota modern.
Dalam
alam astral, kami memasuki perkotaan lelebut itu. Di sebuah rumah Joglo gaya
Jawa klasik, terlihat lelaki tegap perkasa dengan kumis melintang menyambut
kedatangan kami dengan penuh hormat.
“Selamat
datang di tempat tinggal kami, Kang Mas!” sambut lelaki perkasa itu.
Lalu,
ia membawa kami ke rumahnya yang sangat luas. Di ruang tengah itu telah duduk
seorang wanita yang sangat cantik. Ketika kami duduk, wanita ayu itu menari
didiringi gamelan Jawa. Tariannya sangat lembut, lemah dan gemulai. Namun kadang
begitu erotis mengundang birahi.
Setelah
tarian usai, wanita penari dan lelaki kekar itu menghampiri kami dan
mengenalkan diri. Yang wanita adalah Nyai Landep dan yang lelaki bernama Ki
Gentiri yang oleh masyarakat sekitar menyebutnya Maling Aguno. Mereka ini
adalah pasanga suami istri.
Ki
Gentiri pada zamannya dikenal sebagai maling yang sangat sakti mandraguna. Bahkan
dia dianggap sebagai bapaknya para maling. Meski begitu, hasil jarahannya
selalu dibagi-bagikan pada wong cilik yang kala itu begitu tertindas oleh
penguasa. Makanya, Robin Hood Jawa ini diberi gelar Maling Aguno. Setelah tua
Ki Gentiri dan istrinya Nyai Landep, mengasingkan ke bukit ini. Sayang,
persembunyiannyab diketahui pihak kerajaan. Akhirnya suami istri itu di bunuh
di tempat ini juga.
Secara
gaib kedua batu itu merupakan pintu gaib ke kerajaan siluman yang di pimpin
oleh Ki Gentiri dan Nyai Landep. Bagi peziarah yang berjodoh dan kehadirannya
diterima di tempat ini dapat mentransfer aura kesaktian yang dimiliki oleh Ki
Gentiri. Sedangkan, bagi para wanita yang ingin menjadi pesinden, tledek,
waranggana, penyanyi, bisa mentransfer aura kemolekan dan pengasih Nyai Landep.
Dengan begitu dia akan cepat terkenal di dunia yang diperaninya.
Selain
itu, di tempat ini sering ditemukan benda-benda pusaka yang memiliki daya
linuwih. Namun ini sebaliknya yang saya alami justru bertentangan. Cincin kecubung
yang saya kenakan hadiah dari seorang kolega dari Kalimantan justru raib dari
jari manis. Karena heran, kembali saya manekung dan mengontak pada Ki Gentiri,
katanya cincin saya diminta Nyai Landep sebagai kenang-kenangan. Saya arasa
begitulah sifat alami tledek, meski bersuami, selali saja masih lirak-lirik.
Setelah
kami rasa cukup, segera kami bergegas mendaki lebih tinggi lagi, meski waktu
kala itu hampir pukul 22 malam. Di puncak Gunung Lir-liran, ternyata hanya ada
makam tanpa nisan dan bangunan bata merah yang sudah agak rusak. Setelah melepas
lelah sejenak. Barulah kami kembali melaksanakan prosesi gaib untuk menyibak
misteri yang menyelimuti bukit siluman ini.
Dalam
jelajah astral tempat ini bukan Djoko Budug, tetapi merupakan makam Pangeran
Haryo Bangsal, putra Brawijaya V, yang lari dari kerajaan Majapahit karena
dipaksa ayahnya untuk menikah. Padahal kala itu sang Pangeran sedang
senang-senangnya mempelajari ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Dan di tempat
inilah haryo Bangsal berguru pada Ki Gentiri.
Dalam
pelarian dari kerajaan, Haryo Bangsal menyamar sebagai rakyat jelata dengan
pakaian compang-camping. Ia dikenal dengan nama Djoko Budug, tapi lain dengan
Djoko Budug yang di makamkan di Pedukuhan gamping, Jambeyan, Sragen. Setelah
puas berguru, dia melanjutkan perjalanan dan dijadikan anak angkat oleh Mbok
Rondo Dhadapan. Haryo Bangsal memang memiliki ilmu yang linuwih. Salah satu
pusaka andalannya adalah Luh Gading dan Sodo Lanang.
Dikisahkan,
Desa Dhadapan masuk wilayah kerajaan Puan, kala itu kerajaan Puan sedang
dilanda paceklik, kekurangan air. Dan satu-satunya cara air hanya bisa didapat
bila sanggup membuat lorong tembus bukit batu yang menjadi penghalang sungai
Sawur. Bila berhasil, akan dinikahkan dengan putri raja Puan yang bernama Dewi
Nawangwulan.
Sudah
banyak para sakti yang mencoba, namun hanya menjadi tumbal bukit batu yang
angker. Barulah ketika Djoko Budug mencoba dengan tongkat Luh Gading bukit batu
itu berhasil ditembus, dan air mengalir menghidupi kerajaan Puan.
Seperti
biasa, penguasa selalu ingkar janji. Maka dicarilah rekayasa untuk
menyingkirkan Djoko Budug. Melalui mahapati Keborajeng, Djoko Budug diajak
mendaki gunung Lir-liran. Di tempat itu ia dibunuh. Dan saat akan dikebumikan,
tubuhnya selalu memanjang, dan sellau terdengar suara menagih janji. Bersamaan dengan
itu kerajaan Puan dilanda gempa.
Akhirnya,
raja dengan sedih merelakan putrinya untuk disatukan dengan Djoko Budug, alias
dibunuh sebagai penepatan janji yang telah diikrarkan. Jasad mereka dikebumikan
di tempat itu menjadi satu, bersama gurunya Ki Gentiri dan Nyai Landep yang
juga mati terbunuh.
*******
Saat
kami sedang mengadakan prosesi gaib ditempat ini, tiba-tiba jatuh kain merah di
depan tempat meditasi. Saat akan diambil salah seorang teman, saya melarang. Karena
firasatku mengatakan itu merupakan klungsungan bekas pakaian Djoko Budug kala
menyamar. Bila kita memakainya, maka akan mengalai nasib yang sama dengan haryo
Bangsal atau djoko budug. Sementara sekian dulu, insya Allah disambung lagi
pada tulisan selanjutnya. Maturnuwun.
Bersambung...........................
0 on: "Bertamu Ke Dunia Astral Gunung Lir-Liran"