Akarasa
– Selamat siang kerabat akarasa. membicarakan sejarah memang selalu menuai pro
kontra. Terlebih sejarah tersebut sudah kadung kita beri label. Beberapa
contoh, Adipati Ronggolawe, Trunojoyo, atau Aryo Penangsang. Kalau misalkan ada
polling yang sekarang sedang marak-maraknya untuk menguji kebenaran dalam tanda
petik (“), saya rasa hasilnya mereka yang saya sebutkan di atas adalah
pemberontak, pembangkang, dan perongrong penguasa yang sah.
Kecuali,
vote tersebut dilaksanakan di daerah tokoh tersebut berasal, tentu hasilnya
beda, karena mereka itu adalah pahlawan lokal yang dielu-elukan oleh masyarakat
setempat. Tragisnya, secara umum pola pikir kita selama ini sudah dibentuk oleh
label tersebut, dan mengesampingkan latar belakang hingga mendapat label
pemberontak tersebut.
Nah,
dari ketiga tokoh tersebut di atas, semuanya sudah pernah saya ulas di sini meski
hanya secara umum dan tidak mendalam. Apa yang ada dibenak kita ketika saya
menyebut nama Aryo Penangsang? Pemberontak. Sama persis dengan jawaban saya
dahulu. Untuk itulah pada kesempatan ini saya coba mengajak kerabat akarasa
melihat secara obyektif dari kacamata orang yang tidak berasal dari Aryo
Penangsang pernah berkuasa.
Namun
sebelumnya, ini adalah pendapat pribadi yang tentu saja saya tidak minta
pembenaran. Terlebih saya bukanlah ahli sejarah, atau belajar secara akademis
dalam bidang sejarah. Hanya menghubung-hubungkan dari literasi yang saya baca
dan cerita tutur yang saya dapatkan. Seperti yang kita ketahui bersama,
kerajaan yang berkuasa di Jawa adalah masih satu ikatan darah. Bahkan yang
masih berkuasa saat ini, Surakarta, Mangkunegaran, Jogjakarta, dan Pakualaman,
meski saat ini sebatas simbol budaya.
Untuk
menguarai secara obyektif sosok Aryo Penangsang kita mulai dari Solo terlebih
dahulu. Yang menjadi pertanyaan saya selama ini, kok bisa, keraton Solo yang
konon kelanjutan dari Kesultanan Demak, kekhalifahan Islam di Tanah Jawa, hanya
menyisakan sinkretisme-nya saja. Demikian pula dengan keraton lainnya, yakni
Kesultanan Jogja, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran.
Kalau
kita amati lebih jeli, sama sekali tak ada warna Islam yang lurus yang bisa
saya temui di sana. Benar-benar bertolak belakang dengan yang saya pahami dari
kisah awal Maulana Malik Ibrahim, ketika pertama kali datang ke Jawa. Ketika
bersama 8 ulama lainnya, sebagai utusan Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki
yang datang di akhir kekuasaan Majapahit di tangan Wikramawardhana. Juga para
ulama Wali Songo yang melanjutkan tugas sucinya, menyebarkan Islam sebagai
jalan keselamatan yang anti kemistikan.
Dan
setelah banyak membaca juga mendengar dari orang yang ngerti sejarah dan
berdiskusi dengan mereka, saya temukan dugaan sementara. Semua bermula sejak
wafatnya Sultan Trenggono yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sunan
Prawoto. Namun tak lama, karena raja yang buta dan sakit-sakitan itu pun wafat
setelah berkuasa selama 3 tahun. Dan kekuasaan yang kosong itu digantikan oleh
Joko Tingkir, sang menantu Sultan Trenggono.
Sejak
itulah, semangat Demak sebagai kekhalifahan Islam sebagaimana amanat suci Sunan
Ampel telah hilang. Bahkan kekuasaan sebagai kerajaan maritim pun runtuh ketika
dipindahkan ke Pajang, yang berada di pedalaman selatan Jawa.
Pada
masa kerajaan Pajang itulah, kemurnian Islam mulai bercampur dengan budaya lama
yang telah mengakar di Jawa. Hingga Islam yang berkembang di Jawa bukanlah
Islam murni, seperti yang pertama kali disebarkan oleh Walisongo.
Bahkan
yang menyedihkan pula, kisah para ulama penyebar agama Islam itupun tak lepas
dari pengaruh itu. Bahkan sampai hari ini, yang terkenal dari kisah para wali
adalah kehebatannya yang sering kali lebih berbau mistik bercampur takhayul.
Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan kisah awal perkembangan Islam di
Indonesia, sebagai sebuah agama yang sangat keras menentang kemusyrikan.
Kita
lebih mengenal sosok-sosok para ulama penyebar Islam itu sebagai pendekar tanpa
tanding, yang kisah hidupnya sarat kemistikan. Kisah Sunan Kalijogo, yang
tertanam di benak kita adalah karena beliau sangat setia menjaga tongkat
gurunya, Sunan Bonang di sebuah tepian kali. Hingga ditumbuhi semak belukar
yang menutupi seluruh tubuhnya selama sekian lama, karena sang guru terlupa
menjenguknya. Dari kisah itulah muncul nama Kalijaga, karena sang Sunan belajar
Islam diawali dari menjaga kali.
Begitupun
dengan kisah para sunan lainnya. Seperti Sunan Giri yang menghadapi serbuan
prajurit majapahit hanya dengan sebilah pena. Dari pena yang dilemparkan bisa
berubah menjadi keris sakti yang berputar kencang menghancurkan wadyabala
Majapahit. Keris yang berputar itu kemudian dikenal sebagai Keris Kolomunyeng.
Bahkan juga Sunan Ampel yang mempunyai pembantu, yang bisa menentukan arah
masjid Ampel dengan mengintip dari lubang angin ke arah Makkah.
Dan
hampir semua kisah para Sunan tak pernah lepas dari mitos yang melingkupinya.
Dengan cerita mistik yang melengkapi kehebatannya. Padahal mestinya, tidak
seperti itu adanya, karena Islam adalah agama lurus yang menentang kemistikan.
Sebab Rasulullah sendiri, sang pembawa risalah Islam tidak mengenal mistik.
Dalam bermacam kisah peperangan yang dipimpinnya, tak pernah bertindak di luar
kehebatan manusiawi. Maka beliau pun terluka ketika berdakwah di Tho’if, beliau
juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud.
Bertelekan
dari sedikit uraian di atas, hingga akhirnya saya mencoba memandang dari sudut
Aryo Penangsang, karena kebetulan ia adalah murid Sunan Kudus, seorang ulama
yang dikenal tegas dan lurus. Seorang ulama ahli fikih, ahli ekonomi, ahli
perang, dan ahli pemerintahan, yang juga seorang saudagar kaya. Jadi bertemulah
penasaran pada kisah di seputar Penangsang yang meragukan, dengan semangat
ingin menceritakan kisah wali yang sedikit lebih rasional dari yang selama ini
lebih kita ketahui ceritanya yang sarat kisah-kisah mistik.
Maka
penelusuran pun saya lanjutkan pada sosok Joko Tingkir, yang dalam pelbagai
literasi menjadi titik kunci awal mula kekisruhan di Demak. Yang membuat
kekhalifahan Islam Demak berubah menjadi sebuah kerajaan yang sarat dengan
pencampuradukan ajaran Islam dan budaya lama. Yang ternyata itu berlanjut
hingga kini, sepanjang hampir lima abad lamanya. Sosok Joko Tingkir ini cukup
menarik, karena dialah orang yang telah menyingkirkan Penangsang dalam
perebutan takhta Demak.
Sebab
kalau ditelusuri, sesungguhnya sebuah keanehan telah terjadi di akhir
keruntuhan Demak. Ketika Sunan Prawoto wafat, Joko Tingkir yang hanya seorang
menantu bisa naik takhta melanjutkan kakak iparnya. Karena mestinya yang
menjadi Sultan adalah anak cucu Raden Patah. Yang di dalamnya ada nama Aryo Penangsang.
Secara
hak, Aryo Penangsang lebih tepat menggantikan Sunan Prawoto, karena dia adalah
anak dari Pangeran Sekar Sedo Lepen. Penangsang adalah cucu dari Raden Patah,
Sultan pertama Demak yang berhasil mengokohkan kekhalifahan Islam di tanah Jawa.
Namun
dengan naiknya Joko Tingkir menjadi raja, Penangsang sang pewaris sah atas
takhta Demak pun terpinggirkan. Mengikuti nasib Sunan Kudus, gurunya yang juga
pemimpin Dewan Wali, yang telah lebih dulu terkucilkan dari Kesultanan.
Padahal
jauh-jauh hari, Sunan Kudus sebenarnya telah lama mencium gelagat masuknya Joko
Tingkir dalam keluarga Kesultanan Demak, yang menurutnya bukan tanpa alasan.
Pada
masa lalu, kakek Joko Tingkir yang bernama prabu Handayaningrat menolak tunduk
pada Demak di masa pemerintahan Raden Patah. Penguasa keraton Pengging itu
bersekutu dengan Girindrawardhana, penguasa Majapahit untuk menghancurkan
Demak. Dalam pertempuran itu, prabu Handayaningrat yang juga menantu Prabu
Kertabumi, terbunuh oleh Sunan Kudus, yang saat itu menjabat panglima perang
Demak.
Setelah
terbunuhnya Handayaningrat, anaknya yang bernama Kebo Kenongo menjadi penerus
takhta Pengging. Namun ia berbeda dengan ayahnya yang tak mau masuk Islam. Kebo
Kenongo bersedia masuk Islam. Namun belum lama belajar pada Sunan Bonang, ia
tertarik pada ajaran Syekh Siti Jenar. Kebo Kenongo yang telah menjadi murid
Syekh Siti Jenar itu pun mengganti namanya dengan sebutan Ki Ageng Pengging.
Dan
Ki Ageng Pengging pun mengikuti jejak ayahnya, yang tak mau tunduk pada Demak.
Bahkan melecehkan musyawarah ulama Waliyyul Amri, yang telah menyatakan
pemahaman Syekh Siti Jenar sebagai ajaran sesat.
Ki
Ageng Pengging menggalang kekuatan 40 murid Syekh Siti Jenar, untuk tetap
menyebarkan ajaran manunggaling kawulo gusti. Maka Sunan Giri sebagai pemimpin
Waliyyul Amri menjatuhkan hukuman mati padanya. Sunan Kudus yang diberi amanah
menjatuhkan hukuman pada sang pemimpin padepokan Pengging itu. Sebuah nasib
yang sama seperti gurunya, Syekh Siti Jenar yang juga telah dijatuhi hukuman mati.
Dan yang menjadi pelaksananya pun Sunan Kudus juga.
Setelah
meninggalnya Ki Ageng Pengging, sang anak yang masih bayi diasuh dan dirawat
oleh keluarga Ki Ageng Tingkir. Bayi bernama Mas Karebet itu pun kemudian lebih
dikenal sebagai Joko Tingkir. Dalam asuhannya, ia banyak mendapat pelajaran
dari Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Banyubiru. Para guru yang
juga adalah sahabat Ki Ageng Pengging, sebagai sesama murid Syekh Siti Jenar.
Hingga dipastikan bahwa Joko Tingkir dibesarkan dalam ajaran manunggaling
kawulo gusti.
Setelah
remaja, Joko Tingkir masuk Kesultanan Demak, dengan diawali sebagai prajurit
pengawal Sultan. Kemudian naik pangkat menjadi pemimpin prajurit tamtama.
Hingga bisa mempersunting putri Sultan Trenggono, dan diberikan takhta menjadi
adipati Pajang.
Kecurigaan
Sunan Kudus terbukti, ketika Joko Tingkir menjadi adipati Pajang, ia yang
merupakan bawahan Demak tak melakukan ajaran Islam secara murni. Yang
dikembangkannya di Pajang adalah ajaran Syekh Siti Jenar.
Maka
kalau Joko Tingkir menjadi raja Demak, sudah pasti kebijakan Kesultanan Demak
pun akan dibawa seperti kebijakannya di kadipaten Jipang. Kesultanan Demak yang
berlandaskan islam akan terwarnai dengan pemahaman manunggaling kawulo gusti.
Sunan
Kudus pun mendukung Aryo Penangsang untuk merebut takhta Demak. Pemimpin
Waliyyul Amri itu ingin mengembalikan Demak sebagaimana ketika awal mula didirikan.
Menjadi penerus amanat suci Sunan Ampel untuk mengukuhkan Islam dengan jalur
kekuasaan. Di samping dengan jalan pendidikan yang telah ditempuh dengan
banyaknya didirikan pesantren oleh para wali. Seperti pesantren Ampeldenta,
pesantren Girikedaton, pesantren Glagahwangi, pesantren Panti Kudus, dan juga
pesantren Gunung Jati.
Maka
dengan naiknya Joko Tingkir menjadi raja Demak, Sunan Kudus sangat khawatir
kemurnian dakwah Islam di Tanah Jawa akan semakin terancam. Karena itu pula, Aryo
Penangsang pun melawan. Ia tak mau tunduk pada kekuasaan Joko Tingkir.
Namun
dengan penuh kelicikan, Aryo Penangsang akhirnya berhasil dimusnahkan. Dan Sunan
Kudus pun semakin tersingkir dan terpinggkirkan. Maka sejak itu, Demak pun
runtuh. Tak ada lagi kekhalifahan Islam di tanah Jawa.
Baik,
mungkin kerabat akarasa belum menemukan titik temunya pada tulisan ini. Kenapa
dalam membuka tulisan ini saya dengan keberadaan keraton Solo. Korelasinya apa?
Meskipun
singkat saya berusaha mengalurkan hipotesa saya ini agar tidak parsial, semakin
dekat dengan obyektifitasnya. Seperti yang kita ketahui, keraton Solo adalah adalah
penerus kerajaan Mataram, yang didirikan Panembahan Senopati. Sementara
Panembahan Senopati sendiri adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang diangkat anak
oleh Joko Tingkir. Sedangkan Joko Tingkir adalah raja Pajang, setelah merebut
takhta Demak dari tangan Aryo Penangsang.
Jadi,
dengan bertelekan runut sejarah yang sudah saya narasikan di atas. Kesimpulan saya
adalah, Aryo Penangsang bukanlah pemberontak, ia sebagai pewaris takta Demak
yang sah, Aryo Penangsang hanya menuntut hak. Sekali lagi, mohon maaf. Ini kesimpulan
pribadi saya.
Alasan
kuat yang melandasi hipotesa saya adalah, bahwa Aryo Penangsang ketika
berperang melawan Joko Tingkir, bukanlah memberontak pada Demak. Namun ia hanya
menuntut hak atas tahhta peninggalan kakeknya. Sebab sebagai cucu Raden Patah,
ia merasa lebih layak menggantikan Sunan Prawoto, daripada Joko Tingkir yang
hanya seorang cucu menantu.
Dalam
silsilah Kesultanan, Joko Tingkir menjadi keluarga Demak, karena ia menikahi
Ratu Ayu Cempokoningrum. Yakni anak ke empat Sultan Trenggono dari ibu yang
merupakan putri Sunan Kalijogo. Dengan itulah, ia menjadi cucu menantu Raden
Patah. Kita harus jujur akui, selama ini yang telah beredar berabad-abad
lamanya dalam bermacam babad, adalah kisah dari kaca mata Joko Tingkir sebagai
sang pemenang.
Baik
dari literasi maupun obrolan dengan orang yang ngerti sejarah, ada hal yang
menarik yang akan saya ketengahkan disini dan ini adalah pemahaman baru buat
saya pribadi. Bahwa apa yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi adalah pasemon.
Sesuatu yang sengaja disamarkan karena itu menyangkut kejelekan Joko Tingkir.
Maka, dalam membaca kisah Joko Tingkir, kita janganlah menelan mentah-mentah
secara harfiah.
Seperti
tentang kisah Joko Tingkir yang meremukkan kepala Dadung Awuk. Jangan dimaknai
bahwa Joko Tingkir benar-benar membunuh pemuda Kedupingit itu dengan lintingan
daun sirih. Juga dengan pembunuhan Kebo Ndanu, yang mengobrak-abik pesanggrahan
Prawoto, yang dibunuh dengan rajah tanah merah. Bahkan juga kisah yang
terkenal, tentang Joko Tingkir menaklukan 40 ekor buaya di Kedung Srengenge.
Semua
adalah pasemon belaka. Kisah itu ditulis begitu hanyalah upaya untuk menutupi
kebejatan moral dari Joko Tingkir, yang sesungguhnya mata keranjang.
Kisah
yang bermula dengan terbunuhnya Sultan Trenggono, yang kemudian dilanjutkan
dengan wafatnya Sunan Prawoto. Kisah yang berawal dari kekosongan takhta Demak,
karenta kematian rajanya yang berulang dalam selang waktu 4 tahun.
Sebab
bermula dari meninggalnya Prawoto, Joko Tingkir yang telah lama mengincar takta
Demak mulai bermain siasat. Anak Prawoto yang bernama Pangiri dinikahkan dengan
anak perempuan Joko Tingkir. Maka untuk naik takhta, ia merasa telah mempunyai
dua alasan kuat.
Pertama,
karena ia telah 4 tahun menjadi pendamping Prawoto, yang menjadi pelaksana
pemerintahan Kesultanan. Yang kedua, anak Prawoto masih kecil-kecil, hingga tak
layak menjadi Sultan. Joko Tingkir sebagai mertua punya hak menggantikan tahta
sang menantu, yakni Pangiri yang merupakan anak sulung Prawoto.
Dan
siasat itu berhasil, karena Sunan Kalijogo pun menyetujui usul tersebut. Dan
sejak itu Kesultanan Demak pun berada dalam genggaman tangan Joko Tingkir. Sementara
dengan keputusan tersebut, Sunan Kudus semakin merasa Kesultanan Demak berada
dalam ancaman.
Karena
begitu Joko Tingkir naik takta, Waliyyul Amri benar-benar dibubarkan. Dewan
Wali yang didirikan Sunan Giri, sebagai pengontrol Sultan yang merupakan ulil
amri menjadi tiada lagi. Dewan ulama yang selama setengah abad menjadi
penasehat pemerintahan, agar jalannya tidak melenceng dari aturan agama,
mendadak dihapuskan dengan naiknya Joko Tingkir.
Sebagai
gantinya, Joko Tingkir yang telah menjadi Sultan Demak bergelar Sultan
Hadiwijaya, kemudian mengangkat para penasehat kerajaan, yang merupakan sahabat
lamanya. Tiga orang yang sejak muda telah akrab dengan Joko Tingkir, ketika
masih menjadi murid Ki Ageng Selo. Tiga orang yang kemudian sama-sama menjadi
tamtama di Demak, yang dikenal sebagai Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pemanahan, dan
Ki Penjawi.
Ki
Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan adalah cucu Ki Ageng Selo, yang sempat
kecewa pada Demak karena pernah ditolak Raden Patah menjadi pasukan pengawal
kerajaan. Sementara Ki Penjawi adalah anak Ki Ageng Ngrawa, yang diangkat anak
oleh Ki Ageng Ngenis, ayah Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan
Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging, yang diasuh oleh janda Ki Ageng
Tingkir. Yang setelah remaja menjadi murid Ki Ageng Selo.
Bertemunya
cucu-cucu Ki Ageng Selo dan anak Ki Ageng Pengging benar-benar membuat Sunan
Kudus melihat Demak akan semakin suram. Kerja para ulama untuk mengislamkan
Tanah Jawa sejak jaman Maulana Malik Ibrahim akan ternodai dengan dikukuhkannya
ajaran Syekh Siti Jenar sebagai landasan pemerintahan.
Aryo
Penangsang pun diperintah untuk menyelamatkan takhta Demak. Namun dalam
perebutan tahta itu, Penangsang mengalami kekalahan. Joko Tingkir dengan penuh
kelicikan mampu membunuh Penangsang dari belakang.
Sejak
itu Demak runtuh sebagai sebuah kekhalifahan di Tanah Jawa. Pusat pemerintahan
pun dipindah dari pesisir utara ke pedalaman selatan. Sebuah pemikiran Mas
Karebet untuk menghidupkan kembali keraton Pengging, istana peninggalan
kakeknya, Prabu Handayaningrat, telah terlaksana. Dan ajaran Syekh Siti Jenar,
ajaran peninggalan guru ayahnya, Ki Ageng Pengging pun berkembang dengan
luasnya, karena telah dijadikan sebagai ajaran negara.
Joko
Tingkir yang naik takhta menjadi Sultan Demak, meminta Pangeran Karanggayam
untuk menuliskan kisahnya. Kisah yang menjadi cikal bakal tersusunnya Babad
Tanah Jawi. Kitab yang sampai sekarang dianggap orang sebagai buku sejarah
Tanah Jawa, sejak Nabi Adam hingga era Kartasura.
Babad
Tanah Jawi lah yang telah berhasil memutihkan semua hitamnya Joko Tingkir. Dan
sebagai pihak yang kalah, Aryo Penangsang pun dihitamkan dari sejarah.
Dari
rangkaian panjang itu, maka ada simpulan jawaban untuk pertanyaanku yang pertama.
Bahwa saya meragukan Aryo Penangsang, yang merupakan jagonya Sunan Kudus,
demikian jelek perangainya.
Maka
bukan tidak mungkin, jeleknya Aryo Penangsang adalah hasil dari politik
kampanye hitamnya Joko Tingkir belaka. Untuk menutupi kejelekannya sendiri.
Karena
bagaimana pun, babad adalah sebuah pujasastra. Sebuah karya yang dimaksudkan
sebagai bentuk legitimasi dari para penguasa. Ketika Joko Tingkir yang menang,
maka Aryo Penangsang lah yang dijelekkan.
Itulah
dugaan sementara yang saya dapatkan. Yang sedikit mampu mengobati rasa
penasaran selama ini. Semoga bermanfaat untuk membuka wawasan kita bersama. Mohon
maaf atas segala kekurangan dan asumsi-asumsi yang terkesan tendensius. Akhir kata
untuk sidang pembaca kerabat akarasa sekalian, sudi kiranya membagikan
pengetahuan data dalam kolom komentar di bawah. Jika dinilai tulisan ini
bermanfaat dan membuka wacana baru, saya sebagai admin sekaligus penulis ini sangat
berterima kasih atas kesediaan penjenengan semua membagikan pada yang lain. Nuwun.
referensi tulisan
wikipedia
nassirunpurwokartun.wordpress.com
Artikel yang menarik, semoga bisa meluruskan sejarah...BECIK ketitiK OLO ketoro
BalasHapusDi cerita Nogososro Sabuk Inten (SH Mintardja) sedikit disinggung sifat kurang ajar mas karebet.
BalasHapusSaya pernah nemu tulisan tentang "penghitaman aryo penangsang itu" . Penulisnya masih trah arya jipang yang di Sumatera Selatan. Diasingkan atau lari kesana (?). Dan saya percaya. Karena yang benar itu seringkali tersembunyi.
Waktu SD saya sering pentas & lomba kesenian. Terutama Langen Carito lakon Arya Penangsang tsb. Meski hanya sbg bala dupakan / figuran. Saat itu ga mempermasalahkan "yg bener/yg salah".
Setelah dewasa saya bisa nilai bhw Sutawijaya sang Panembahan Senopati yang berjuluk Wong Agung ing Ngeksiganda itu licik. Yaitu dari cerita Ki Ageng Mangir. Ga heran karena ternyata Sutawijaya itu dari lingkungan / didikan sesepuh yang "pintar penuh nalar & akal"
Alhamdulillah Trimakasih gambar saya dipilih untuk ilustrasi artikel ini. Hehehe
BalasHapusKajilah diri kita ini, agar tidak mudah menilai sejarah atau pertingkah kaum ataupun umat manusia, kembalikanlah diri pada yg haq...
BalasHapusSalam kinasih
Subhanallah
BalasHapus082198225230
BalasHapusSubhanallah ..
BalasHapusDan Alhamdulillah makin banyak yg tahu Arya Penangsang orang baik, pahlawan dan Islam sejati bukan abangan.
Dan harus dipahami bahwa sejarah selalu berpihak pada penguasa. Dan itu syah2 saja. Walaupun sang penguasa ketika merebut kekuasaan dilakukan dgn cara hitam atau jahat. Karena itulah harus membalikkan sejarah untuk kebenarannya dan kejayaannya....
Yang penting bagi kita harus saling menghormati bila tokoh itu dihormati di wilayah lokalnya jgn pernah di salahkan. Sebab bisa jadi tokoh sejarah idola kita, yg kita anggap Putih selama ini ternyata juga punya banyak catatan hitamnya. Jadi Aryo Penangsang adalah pahlawan bagi masyarakat Blora Kudus, Bojonenegoro dan sekitarnya. Joko Tingkir pun menjadi pahlawan bagi orang Boyolali dan sekitarnya.
Semua itu mjd khazanah sejarah bangsa Indonesia.
Terimakasih.
Alhamdulillah alkhirnya terjawab sejarah ttg arya peanangsang yg selama ini jd penasaran bagiku knp sosok arya penangsang yg dihitamkan dlm sejarah, dn knp sunan kudus sgt mendukung perjuangannya, arya penangsang. Krn dlm pikiran sy bertanya tdk mungkin sosok seorang wali bisa mendukung dg istilh sosok sang pemberontak yg dlm hal ini arya penangsang, klo tidak ada sebabnya. Good. Artikel ini membuka wawasan sy ttg sejarah jawa
BalasHapus