Akarasa
- Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura tahun ini
jatuh pada hari Minggu tanggal 29 Oktober 2016 yang lalu. Secara lugas maknanya
adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi
Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan bulan
sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah
letak kesakralannya.
Tradisi
dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang
memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura
mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat
tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham
syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan
kurangnya pemahaman sebagian masyarakat
akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan erat dengan
cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi
perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan
Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa
didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya
anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada
perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal
tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma,
dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat
Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam
semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik
(gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun
kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik
merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa
sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya
di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya
mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan
mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di
sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata
dua, di satu sisi dapat memuliakan
manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia,
bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan
dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya
untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian
alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan
perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat
manusia.
Dalam
tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar
yang sesungguhnya tetaplah PERCAYA
KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu
diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media dalam
ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari
simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas
ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara
pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding
dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan
penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap
lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihat memiliki dua
dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau
metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan
meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan
pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk
“keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa,
unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau diimani saja, tetapi lebih dari
itu seseorang dapat membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi
secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena
itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit.
Hanya
saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit
dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera
penglihatan maupun indera batiniah.
Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak
yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga
cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal,
sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat
demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang
dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan
realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang
bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail
tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas,
tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk
mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran
yang tidak mudah dicapai.
Bulan
Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah
realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem
penanggalan sedemikian rupa. Sehingga
bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang
dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa;
hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari.
Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus
berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam
berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan
jagad manusia di sisi lain, selalu
menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon
(Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan
para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi
anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya.
Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad
makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi
alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena
dampaknya.
Atas
beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan
yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan
Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang
dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan
menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga”
(sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda
dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga
dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.
Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada
Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah,
kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan
keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual
mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan
sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar
Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa
Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau
17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan
dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung
“beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke
dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan
Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang
baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah
terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat
“numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri
sendiri maupun orang lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura
masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya
masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk
kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan,
ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para
leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan menghargai jasa para
leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab
makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa
para leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di
samping itu kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita
ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita
semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa.
Mengapa harus
datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik
berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa
dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini.
Apakah sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari
rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap
demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif)
saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam
para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa
mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa
teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk
kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan.
Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan,
tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah
sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang
menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah
berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai
para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan
makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati,
kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan
YME yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para
leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai
dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak
berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh
pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam
rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya.
Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan
buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa
silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu
pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan
berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa
terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan
motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di
banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para
perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok
ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan
demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari “akarnya”.
Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan
bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari
atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling
berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara
politisasi agama.
6. Larung sesaji; larung sesaji merupakan ritual
sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke
tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik.
Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa
ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya
tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai
tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada
keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha
Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat.
Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa
ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat
horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam
semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan
kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga
dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk
generasi penerus.
Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan
bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari
pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat
kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib
atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan
keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan
seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani
kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan
alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif
dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun
tetap harus dijaga.
Dalam
rasa kebersamaan ini semoga Tuhan melimpahkan berkah, rahmat, anugrah, dan
kemuliaan bagi kita semua, untuk menggapai kehidupan sejati yang lebih baik. Kita jaga toleransi, redamkan hawa nafsu angkara, endapkan segala ke-aku-an, kita
tundukkan sikap narsis; egosentris; egois; bengis. Bahu-membahu, menciptakan
negeri yang indah, sejuk, tenteram. Kita buang benih-benih kebencian, dan
taburkan benih-benih kedamaian. Kita
semai rasa kasih sayang. Kita wujudkan negeri yang penuh kebahagiaan, untuk
saat ini dan selamanya. Aamiin
0 on: "Bulan Suro dan Misterinya"