Akarasa
– Kyai Dudo? Ada yang tahu. Iya, memang sedikit asing buat kita semua. Kyai
Dudo atau lebih tepatnya pusaka Dandang Kyai Dudo adalah salah satu pusaka
andalan Kasunanan Surakarta. Saking keramatnya, hingga hanya 8 tahun sekali
atau sewindu pusaka ini dipergunakan sesuai peruntukannya. Seperti lazimnya
dandang (tempat menanak nasi) baru dipergunakan, yang istimewa lagi, hanya sinuwun
atau raja sendiri yang menanak nasi mempergunakan Dandang Kyai Dudo. Baik, dari
pada kerabat akarasa penasaran, pada posting kali ini saya akan membagikan
sejarah singkat pusaka piandel salah satu kerajaan penerus Mataram Islam, yakni
Surakarta Hadiningrat.
Beberapa
tahun yang lalu, ketika saya mengunjungi museum Kraton Surakarta, saya masih
ingat sekali di mana pusaka Dandang Kyai Dudo tersebut. Sayangnya saya tidak
mengambil gambarnya. Sayang sekali. Tapi penggambarannya seingat saya berupa
dandang yang umumnya kita lihat, hanya ini agak besar.
Dalam
riwayatnya, Dandang Kyai Dudo adalah peninggalan Joko Tarub. Joko Tarub sendiri
dalam cerita rakyat adalah seseorang yang beristrikan bidadari yang bernama
Nawangwulan. Tentang bagaimana bisa memperistri bidadari tidak usah saya ceritakan
di sini, kepanjangan nanti. Dandang Kyai Dudo inilah yang di pakai Nawangwulan
untuk menanak nasi, dan ajaibnya Nawangwulan hanya memnutuhkanm setangkai padi
saja untuk memenuhi dandang tersebut.
Dalam
perkawinannya dengan Nawangwulan. Joko Tarub (Ki Ageng Tarub) menurunkan
seorang puteri bernama Nawangsih, yang setelah dewasa di peristri oleh putra
raja Majapahit yang bernama Raden Bondan Kejawen. Raden Bondan Kejawen kemudian
menggantikan kedudukan Ki Ageng Tarub dan bergelar Ki Ageng Lembu Peteng. Dari
keturunan Bondan Kejawen-lah yang merupakan nenek moyang raja-raja Surakarta
dan Yogyakarta hingga saat ini.
Seperti
yang sudah saya narasikan di atas, saking keramatnya Dandang Kyai Dudo ini,
hingga peruntukan semestinya hanya dilakukan sewindu sekali. Bertepatan dengan
upacara Sekaten pada tahun Dal. Tradisi Adhang Tahun Dal itu sendiri adalah
upacara menanak nasi yang dilakukan oleh raja sendiri, lantas dibagikan pada
para Abdi Dalem dan masyarakat.
Pun
halnya ubo rambe yang dipergunakan untuk melakukan prosesi 8 tahunan ini. semua
serba khusus. Salah satunya adalah penutup dandang (kekep) yang terbuat dari
tanah liat haruslah baru, karena dalam prosesi Adang Tahun Dal dengan
menggunakan Dandang Kyai Dudo kekep nya hanya sekali pakai. Begitu pula
perlengkapan lainnya, seperti kukusan, siwur, centong, dan lain sebagainya. Semua
hanya dipakai dalam satu kali upacara. Sedangkan tanah liatnya pun bukan
sembarangan, asal tanah liat saja untuk dipakai kekep, tanah liat tersebut
haruslah diambilkan dari bebera tempat, yakni dari Demak, Boyolali dan Selo. Adapun
pembuatnya pun, harus abdi dalem yang memang khusus membuat gerabah dan
disertai upacara. Sejak mulai membentuk tanah liat sampai membakarnya. Air yang
digunakan untuk memasak nasi juga berasal dari beberapa tempat yaitu Pengging,
Mungup, Canawelang dan Jolotundo. Kayu bakarnyapun berasal dari beberapa
tempat. Tungku untuk memasak nasi yang terletak di dapur kerajaan Gondorasan,
juga dibuat yang baru.
Adang
Tahun Dal atau tradisi adang sego sudah mulai berlangsung sejak masa
pemerintahan PB II. Tepatnya, setelah keraton pindah dari Kartasura ke Solo,
seperti kedudukannya saat ini. Pemindahan terkait dengan Geger Pacinan tahun
1742. Saat itu, keraton di Kartasura berhasil diduduki pasukan Tionghoa bersama
bangsawan Raden Mas Garendi. Dari sinilah ada luka sejarah. Sejarah penyerbuan
pasukan Tionghoa baca DISINI.
Diceritakan,
pasukan Tionghoa yang di pimpin Sunan Kuning atau Mas Garendi ketika itu menjebol
keraton dari dapur. Konon, saat itu Dandang Kyai Dudo tertendang oleh prajurit
Tionghoa hingga sedikit penyok. Berawal dari situlah, muncul kepercayaan bahwa
selama pelaksanaan adang sego tidak diperkenankan ada seseorang berdarah
Tionghoa masuk ke Gondorasan dan menyaksikan prosesi ini. Apabila dilanggar,
api tidak akan menyala di tungku tempat dandang berada.
Awalnya,
gabungan pasukan itu hendak mengusir kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie). Mereka bahkan telah bersepakat dengan PB II untuk
bersama-sama menyerang garnisun VOC. Namun, pada hari yang ditentukan, PB II
tidak menepati janji dan berbalik mendukung VOC akibat tipu daya dan politik
adu domba VOC. Hal ini menyulut kemarahan pasukan gabungan Tionghoa-Jawa itu
sehingga mereka merangsek masuk dan membakar keraton sekaligus mengusir VOC
tahun 1742.
Terlepas
dari cerita luka yang menyungkupi tradisi adang sego di atas. Tetapi pada
akhirnya akan menumbuhkan rasa kebersamaan antara Raja dan para abdi dalem,
yang merupakan simbol Manunggaling Kawulo-Gusti, bersatunya raja dengan rakyatnya. Inti
tercermin dari tindakan Sinuhun memasak nasi kemudian membagi-bagikan serta
makan bersama rakyatnya. Rakyat merasa mendapat perhatian bahkan kehormatan
karena bukan saja rakyat (abdi dalem) mendapat nasi yang ditanak sendiri oleh
Sinuhun dari nasi yang sama. Nuwun.
0 on: "Kyai Dudo, Pusaka Paling Unik Di Kasunanan Surakarta"