![]() |
Si Jagur |
Akarasa
– Selamat datang kerabat akarasa. Pada kesempatan kali ini saya akan mengajak
Anda semua untuk menjelajah Keraton Solo. Setelah sebelumnya kita berkenalan
dengan dengan raja Surakarta yang paling terkenal. Paling besar dan terkuat
yang peninggalannya sangat dominan yang masih bisa kita saksikan hingga kini. Selengkapnya
bisa baca di tautan di bawah ini.
Saya
rasa kerabat sekalian tentu sudah tahu Sitinggil, terlebih Anda adalah wong
Solo dan sekitarnya. Seperti yang kita ketahui bersama Sitinggil merupakan
titik pusat kewibawaan kerajaan. Karena di tengah Sitinggil terdapat Bangsal
Manguntur Tangkil, yang merupakan singgasana raja ketika bertahkta. Oleh
karenanya, Sitinggil diyakini orang Jawa sebagai pancering prabawa yang
mempunyai daya magis penuh aura.
Beruntunglah
kita sekarang, karena dulu hanya para sentana dan nayaka, yakni para kerabat
dan pejabat kerajaan saja yang diperbolehkan memasukinya. Karena Bangsal
Manguntur Tangkil merupakan tempat yang sangat terhormat, yang tak sembarang
orang boleh berada di sekelilingnya.
Namun
sekarang, seperti yang sudah saya narasikan pada paragraf di atas, siapa saja
orang boleh datang ke sana. Terutama para wisatawan yang ingin melihat langsung
singgasana raja yang terpasang di tengah Bangsal Sewayana. Berada membelakangi
Bale Manguneng yang merupakan tempat sangat keramat, karena di dalamnya
tersimpan pusaka kerajaan, Kyai Setomi yang siapa pun tidak boleh melihat. Nah,
Kyai Setomi inilah yang akan kita cari tahu seluk beluknya.
![]() |
Permisi ikut nampang |
Dan
bukan hanya kita yang berwisata sejarah yang ingin melihat singgasana raja
saja. Karena sering kali kita temukan banyak pedagang asongan yang juga turut
melepas lelah di aula. Bahkan tidur dengan nyenyak di sekeliling Bangsal
Sewayana, Bale Manguneng dan Bangsal Witana. Sesuatu yang tak mungkin terjadi
pada jaman dulu, ketika Sitinggil masih menjadi tempat yang benar-benar terhormat.
Kawasan yang selalu dijaga rapat sejak dari Kori Mijil hingga Kori Mangu, yang
menjadi pintu satu-satunya dari Pagelaran dan Kamandungan.
Untuk
menunjukkan Sitinggil sebagai pusat kewibawaan kerajaan, kawasan ini dibuat
lebih tinggi dibanding bangunan lainnya. Bahkan untuk makin memperlihatkan
kewibawaannya sebagai daerah aman kerajaan, kawasan ini pun diperkuat dengan
sepuluh meriam sebagai bentuk pertahanan. Maka di depan Sitinggil terpancang
meriam-meriam itu dengan moncong mendongak menantang menghadang menghadap
utara.
Karena
kalau dilacak dari sejarah, letak keraton berada di sebelah selatan kantor
Gubernur Jenderal Belanda. Yang juga berhadap-hadapan dengan Benteng
Vastenberg, benteng pertahanan Belanda yang berada di timur laut alun-alun keraton.
Jadi pemasangan meriam tersebut, seolah menggambarkan kewibawaan kerajaan,
terhadap keberadaan Belanda yang selalu ingin ikut campur permasalahan.
Maka
sampai hari ini, di pelataran Bangsal Sewayana terpancang delapan moncong
meriam, sedangkan di depan Kori Mijil terpasang dua buah meriam. Meriam-meriam
yang diyakini sebagai jimat keramat, hingga senjata pelontar bola-bola api itu
pun diberi nama panggilan terhormat ‘Kanjeng Kyai’. Bahkan karena telah dianggap sebagai pusaka,
seperti juga manusia, merekapun dipasang-pasangkan satu dengan lainnya.
Misalnya
meriam Kanjeng Kyai Bringsing yang terpasang di ujung barat halaman. Meriam
pemberian Kerajaan Siam dari Thailand ini berpasangan dengan Kanjeng Kyai
Pamecut peninggalan kerajaan Mataram yang terpasang di ujung timur halaman.
Lalu
di sebelahnya, terdapat meriam Kanjeng Kyai Bagus yang berpasangan dengan
Kanjeng Kyai Alus, yang keduanya adalah pemberian Belanda, melalui Gubernur Jenderal
Van Der Leen. Kemudian pasangan berikutnya adalah meriam Kanjeng Kyai Nangkula
dan Kanjeng Kyai Sadewa yang juga pemberian VOC Belanda.
Dan
yang terakhir adalah meriam Kyai Kumbarawa dan Kyai Kumbarawi. Sepasang senjata
peninggalan kerajaan Mataram ini sekarang terpasang di atas Kori Mijil. Tepat
mengapit jalan berundak yang berada di kanan kiri jalan menuju Sitinggil.
Sementara
di ujung bawah, di kanan kiri Kori Mijil terdapat sepasang meriam lagi. Meriam
yang diberi nama Kyai Swuh Brastha dan Kyai Segara Wana. Kedua meriam yang
konon peninggalan kerajaan Kartasura, sebelum pindah ke Surakarta.
Nama
Swuh Brastha sesungguhnya berarti memberantas musuh. Karena dalam bahasa Jawa,
swuh adalah musuh dan brastha artinya memberantas. Jadi keberadaan meriam ini
adalah sebuah senjata yang digunakan untuk menghancur leburkan musuh.
Namun
kalau dilacak dari sejarah keraton, yang dianggap sebagai musuh bukanlah
Belanda yang telah menjajah mereka. Melainkan justru para perongrong kekuasaan
raja yang ingin menggulingkannya. Yakni mereka yang merasa tidak sepakat dengan
kebijakan kerajaan, karena telah bertekuk lutut di bawah ketiak Belanda.
Sebab
demikianlah yang terbaca dari sejarah. Termasuk berpindahnya keraton Solo dari
Kartasura ke Surakarta juga karena disebabkan sebuah penyerangan ‘musuh’.
Keraton Kartasura di bawah kekuasaan Paku Buwono II, diserang oleh saudaranya,
Raden Mas Garendi yang tak sepakat dengan kebijakan keraton, yang tunduk pada
perintah kolonial. Sekaitan dengan sejarah penyerangan Raden Mas Garendi bisa
kerabat akarasa baca di tautan di bawah ini.
Dan
untuk memadamkan gerakan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning itu, Paku Buwono
II meminta bantukan Belanda. Hingga raja yang terbirit-terbirit terusir dari
Kartasura dan berdiam di Ponorogo itu pun bisa kembali mendapatkan takhtanya.
Karena Belanda yang berpusat di Semarang berhasil menghancurkan kekuatan Sunan
Kuning.
Namun
bantuan Belanda tentu bukan cuma-cuma. Sebab sejak jaman Mataram, ketika mereka
membantu Amangkurat, selalu ada perjanjian menukarnya dengan lahan kerajaan.
Hingga setiap ada konflik, Belanda dengan suka rela membantu penguasa yang
bertikai, karena dengan imbalan mendapatkan daerah kekuasaan. Dan begitu terus
menerus ketika kekuasaan Mataram berpindah ke Solo di bawah dinasti Paku
Buwono. Hingga keraton pun makin menciut wilayah kekuasaannya.
Termasuk
juga ketika Belanda diminta untuk membantu membangun kerajaan yang baru, di
kota Solo sekarang. Paku Buwono II menulis surat perjanjian, yang antara lain
berbunyi, “Inilah
surat perkara melepaskan terhadap keraton Mataram. Dari Kanjeng Susuhunan Paku
Buwono Senopati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama. Ialah
dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini
diserahkan pada Kanjeng Tuwan Djohan Baron Pan Hogendorep….”
Sebuah
surat yang dikirimkan pada tahun 1749 pada Gubernur Jenderal Belanda, Djohan
Baron Van Hohendorv. Yang isinya sarat dengan merendahkan diri sebagai penguasa
tertinggi di Jawa. Dan meninggikan pemerintahan Belanda secara sangat
berlebihan.
Belanda
yang di masa Sultan Agung dianggap musuh, oleh keturunannya justru dianggap
sahabat bahkan saudara. Diperlakukan sebagai sosok yang sangat dihormati oleh
para penguasa Mataram. Hingga para Gubernur Jenderal Belanda dipanggil dengan
sebutan terhormat ‘Eyang’, dan komandan militer lokal dipanggil dengan sebutan
‘Romo’. Yang setiap kedatangannya selalu disambut dengan upacara kebesaran
kerajaan, sebagai bentuk penghormatan besar-besaran. Sebuah pelecehan
kedaulatan yang makin menghilangkan kewibawaan keraton sebagai kekuasaaan di
Jawa, yang dulu diperjuangkan leluhurnya.
Maka
sepertinya, tepatlah penamaan meriam pasangan Kyai Swuh Brastha dengan nama Kyai
Segara Wana. Dalam bahasa Jawa, segara adalah lautan dan wana adalah hutan.
Sebagai penanda telah lepasnya kekuasaan keraton Solo atas penguasaan lautan
dan hutan. Karena sang raja telah bertekuk lutut dalam cengkeraman kolonial
Belanda.
Sebab
kekuasaan lautan yang dimiliki kesultanan Demak telah lepas dari tangan
kerajaan Pajang, yang merupakan kelanjutan dari Demak. Dan kekuasaan atas
hutan-hutan yang merupakan kawasan terbesar Pajang pun kembali lepas dari
tangan Mataram, sebagai kerajaan penerus kekuasaan Pajang. Keruntuhan pajang
bisa Anda temukan di bawah ini.
Maka
sesungguhnya, keberadaan meriam yang terpasang sedemikian banyaknya, sepertinya
tidak benar-benar untuk menjaga kewibawaan raja. Bahkan kalau pun diniatkan
begitu, sebenarnya hanya kekuasaan semu saja. Karena keraton tak lagi mempunyai
kekuasaan yang mutlak atas keputusannya sendiri.
Sebab
setiap kebijakan kerajaan, harus selalu melalui persetujuan Belanda. Dan karena
terikat perjanjian, raja pun tak lagi bisa berkutik. Bahkan sosok patih, yang
merupakan perdana menteri, bukan hanya bertanggungjawab terhadap raja.
Melainkan juga kepada gubernur jenderal Belanda, yang mempunyai hak mengangkat
dan memberhentikannya.
Karenanya
tak heran, keberadaan meriam pun tak lagi untuk menghancurkan musuh. Dan tak pernah sekali pun senjata-senjata itu
digunakan sebagai mana mestinya sebuah senjata. Sebab dalam sejarah keraton
Solo, meriam-meriam itu justru dialih fungsikan sebagai penanda dimulainya
acara-acara kebesaran kerajaan. Dibunyikan ketika kerajaan akan mengadakan
grebegan, jumenengan, jendralan, dan upacara lainnya.
![]() |
Kyai Setomi dalam tobong |
Dan
masih tersisa satu meriam lagi yang berada di Sitinggil. Yakni meriam yang
tersimpan di Bangsal Manguneng, di belakang singgasana raja. Meriam yang
dianggap pusaka paling sakral yang bernama Kanjeng Nyai Setomi. Sebuah meriam
yang dianggap keramat, hingga tak boleh sesiapa pun boleh melihat. Maka tempat
penyimpanannya pun dibuat rapat dengan dikelilingi tirai tebal yang
menutupinya.
Kalau
kita pernah ke Musium Fatahillah di Jakarta, pasti pernah melihat Meriam Si
Jagur. Meriam besar yang pada ujungnya membentuk tangan dengan jempol terjepit
antara telunjuk dan jari tengah. Meriam yang konon juga dipercaya bisa menjadi
perantara terkabulnya keinginan untuk memiliki keturunan. Dengan jalan
mengusapkan perut perempuan di ujung jempol meriam Si Jagur.
Nah,
meriam Nyai Setomi ini dipercaya merupakan pasangan Si Jagur. Karena Meriam Si
Jagur nama lainnya adalah Kanjeng Kyai Setomo. Konon keduanya adalah meriam
pemberian Portugis pada Pangeran Jayakarta, sebagai tanda kerjasama dengan
Pajajaran.
Pada
masa Sultan Agung, kedua meriam itu dibawa ke Mataram. Tapi Kyai Setomo
kemudian dikembalikan ke Jakarta lagi karena tidak betah. Setiap malam Selasa
Kliwon selalu terdengar suara meraung-raung seperti orang menangis yang
diyakini berasal dari meriam laki-laki itu. Dan di Jakarta meriam itu kemudian
diletakan di dekat jembatan Kota Intan di kota lama, sebelum sekarang dipindah
ke Museum Fatahillah.
Sementara
Nyai Setomi tetap berada di Jogja, di keraton Mataram. Dan ketika kekuasaan
Mataram pindah ke Kartasura, meriam itu turut dibawa. Hingga saat berpindah
lagi ke Surakarta, meriam tua itu pun kemudian makin dianggap sebagai pusaka
utama.
Tentang
penamaan Kyai Setomo dan Nyai Setomi, ada pendapat yang mengatakan karena kedua
meriam ini adalah buatan Portugis. Dibuat di pabrik Santo Thomas, sebuah kota
jajahan Portugis di India yang sekarang bernama Madras. Dan pada meriam-meriam
buatan pabrik itu, cirinya ada cetakan nama ‘Sant-Thome’ pada badannya. Dan
dari tulisan Sant-Tomi itulah, lidah Jawa mengucapkannya menjadi Setomo dan
Setomi.
Namun
apa pun namanya, pada mulanya meriam dibuat sebagai senjata penghancur lawan.
Tapi seampuh apa pun senjata itu, ketika sang empunya tak lagi punya
kewibawaan, maka kekuatannya pun akan hilang. Apalagi setelah si pemilik takluk
di balik ketiak lawan. Maka keberadaannya tak lebih hanya sekadar benda
pajangan. Nuwun.
Referensi : nassirunpurwokartun.wordpress.com
0 on: "Sejarah Panjang Meriam Pusaka Kyai Setomi"