Akarasa
– Saya yakin nama yang saya sebutkan ini familiar ditelinga kerabat akarasa. Iya,
Sunan Kalijaga, seorang anggota walisongo yang diyakini adalah satu-satunya
yang berasal dari pribumi diantara wali yang lainnya. Banyak cerita tutur yang
berkembang tentang sosok wali putra dari Adipati Tuban Wilwatikta ini yang kemudian
disumarekan (kebumikan) di Kadilangu, Demak ini. Kebetulan saya (penulis)
berasal dari Tuban, pada kesempatan kali ini saya akan bagikan kisah perjalanan
Sunan Kalijaga atau Raden Said hingga terbentuknya tanah perdikan Kadilangu
dari versi cerita orang Tuban. Namun, pada tanah perdikan Kadilangu, saya
merujuk ke wikipedia sebagai sumbernya. Ada banyak
sebutan pada wali yang satu ini, sewaktu muda dikenal Brandal Lokajaya karena
kebengalannya, namun kebengalan disini adalah suka merampas harta orang kaya
yang medit bin pailit dan hasilnya dibagikan pada warga yang kekurangan. Selain
nama di atas ada juga sebutan untuk beliau adalah Syeh Malaya.
Arkian,
pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V, Raden Patah
bersama dengan adiknya Aryo Bangah pergi dari Palembang ke Jawa dengan maksud
mengabdi kepada Prabu Brawijaya V. Dalam perjalanan menuju Majapahit, mereka
lebih dahulu berguru pada Sunan Ngampel (di Daerah Gresik). Setelah selesai
berguru, Arya Bangah kemudian diangkat menjadi Adipati Terung. Tetapi Raden
Patah (atas petunjuk gurunya) pergi ke arah barat untuk mendirikan masjid dan
menyebarkan ajaran Islam.
Sampai
di suatu hutan belukar terdapat rumput yang berbau wangi, Kemudian Raden Patah
berhenti dan membuka hutan tersebut, serta mendirikan pemukiman dan membuat
tanah pertanian. Daerah tersebut oleh Raden Patah di beri nama Glagahwangi. Singkat
cerita, dalam waktu singkat daerah tersebut menjadi daerah pemukiman dengan
tanah pertanian yang sangat luas dan berganti nama menjadi Bintoro.
Prabu
Brawijaya yang mengetahui hal itu, lalu mengukuhkan daerah tersebut dalam
kekuasaan Majapahit. Selanjutnya daerah tersebut di beri nama Kadipaten Bintoro
serta mengangkat Raden Patah menjadi Adipati Bintoro yang pertama. Dengan cepat
Bintoro berkembang dan berganti nama kembali menjadi Demak.
Pada
tahun 1472 Raden Said datang disekitar Demak, Raden Said berniat menyebarkan
ajaran Islam atas perintah gurunya, Sunan Bonang. Raden Patah yang mendengar
kedatangan Raden Said, kemudian menyuruh pengawal kerajaan untuk segera
memanggilnya. Raden Said merupakan seorang muslim, dan ilmuwan (wali), serta
dikenal dengan kepandaian ilmu pengetahuannya. Ilmu pengetahuan yang diperoleh
Raden Said sewaktu berkelana, dianggap oleh Raden Patah akan berguna untuk
kepentingan Kerajaan Demak.
Kedatangan
Raden Said mengingatkan Raden Patah dengan perintah gurunya (Sunan Bonang) yang
belum terlaksana, yaitu untuk mendirikan masjid. Pada tahun 1473 Raden Patah
mengumpulkan seluruh wali yang ada di tanah Jawa, dan memberi perintah kepada
Raden Said untuk memimpin para wali. Dengan alasan, Raden Patah menganggap kepandaian
yang dimiliki oleh Raden Said dapat digunakan untuk mengatur dan menyelesaikan
tugas. Raden Said mulai merencanakan pembangunan masjid, selanjutnya pada tahun
yang sama juga masjid megah itu selesai dibangun. (sekarang masjid tersebut
lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Demak). Raden Patah sangat senang,
selain masjid itu sudah berdiri dengan megah juga karena dengan tangan Raden
Said sendiri dapat membuat karya besar (yang sampai hari ini masih ada, yaitu
Soko Guru, adalah Soko atau kayu penyangga yang menjadi pilar penopang bangunan
tengah masjid).
Raden
Patah kemudian memberikan Raden Said hadiah tanah yang bebas dipilihnya dan
akan menjadi kepemilikannya dan turunannya selama-lamanya. Pilihan Raden Said
jatuh pada suatu hutan belukar yang letaknya di dataran rendah di dekat Demak,
yang berbau “langu” (karena itu kemudian daerah tersebut dinamakan Kadilangu).
Raden Said menetap di Kadilangu dan mulai membuka daerah tersebut. Daerah
tersebut merupakan hutan belukar yang lebat pada awalnya, setelah dibuka dengan
penuh perasaan oleh Raden Said daerah itu dalam waktu singkat berubah menjadi
tanah-tanah pertanian yang subur.
Pada
saat mulai menetap di Kadilangu Raden Said tidak menggunakan nama Raden Said,
tetapi menggunakan nama baru yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat
dihormati oleh penguasa maupun oleh rakyat kecil sekalipun. Hal ini disebabkan
karena ilmu pengetahuan intelektualnya yang sangat luar biasa dan kecerdasannya
yang tinggi, diimbangi dengan sikap kelembutan, keramah-tamahan serta
penyantun. Nilai-nilai dan sifat- sifat Sunan Kalijaga inilah yang membuat
namanya sangat tersohor dan dijadikan sebagai tempat bertanya orang hampir
diseluruh Jawa Tengah.
Pada
tahun 1483 Kerajaan Majapahit mulai runtuh menjadikan Demak terabaikan. Pada
tahun 1488 kemudian Raden Patah dinobatkan menjadi Sultan Demak. Seluruh
perbuatan Raden Patah menjadi perbuatan hukum seorang raja, termasuk dalam
pemberian hadiah kepada Sunan Kalijaga, karena salah satu sifat seorang raja
bijaksana adalah seorang raja tidak boleh mengambil ludahnya sendiri, sehingga
raja tidak boleh mencabut perintah baik terdahulu maupun yang akan terjadi.
Pada tahun 1492 Raden Patah wafat dan dimakamkan di komplek pemakaman masjid.
Pada
tahun 1500 Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di Kadilangu. Sampai sekarang
makamnya tetap dihormati oleh setiap orang Jawa, bahkan raja (Sunan) Solo dalam
bulan puasa selau menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengunjungi makam
tersebut.
Setelah
Sunan Kalijaga wafat kekuasaan Kadilangu beralih kepada anak cucunya
turun-temurun menurut garis keturunan lurus kebawah sampai keturunan ketujuh
dengan gelar “Panembahan”. Mulai keturunan ke delapan sampai keturunan ke
duabelas dengan gelar “Pangeran Wijil”. Pangeran Wijil yang terakhir meninggal
dunia pada tanggal 11 Oktobr 1880. (Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal.
22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Tanah
Kadilangu Pada Zaman Kolonial.Menurut Surat Residen Semarang No. 11338/1
tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dahulu tanah
kadilangu mempunyai luas meliputi 27 desa. Pada tahun 1816 waktu Pemerintahan
Inggris 17 desa di Kadilangu diambil alih. Sehingga tanah di Kadilangu tinggal
10 Desa, yaitu: Kauman Kadilangu, Pampang Kadilangu, Pacol, Mandungan, Dakwos,
Dukuh, Jraganan, Kahiringan, Krandon, dan Kenep. Dengan bentang luas
keseluruhannya 519 7/8 bahu.
Pada
tahun 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk menambah Desa Kemloko dalam
wilayah Kadilangu. Tetapi Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No.
11338/1 tanggal. 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada
intinya Residen Semarang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
agar tanah-tanah di Kadilangu diambil alih saja, dengan alasan ditakutkan pada
masa depan akan menjadi sebuah negara kecil di dalam negara.
Pada
akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda memutuskan hanya Desa Kauman
Kadilangu yang diberikan kepada Pangeran Wijil V, (dengan alasan terdapatnya
makam Sunan Kalijaga). Dan selanjutnya Desa Kauman Kadilangu menjadi milik
Pangeran Wijil V yang sah. Dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Nomor 16, tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, tentang Pengangkatan
Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu. Sehingga dapatlah dikatakan
bahwa pada awalnya tanah Kadilangu bukanlah Desa Perdikan.
Pada
tahun 1912 baru dilakukan pemberian Status Desa Perdikan terhadap tanah-tanah
di Kadilangu, dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, Gouvernement
Besluit Nomor 25, tertanggal 20 Desember 1912, Bijblad Nomor 7848. Baru pada
tahun ini, dapat dikatakan secara de facto dengan penguasan Pemerintahan Hindia
Belanda, Kadilangu dinyatakan dan diberi status sebagai Desa Perdikan dengan
diberi keistimewaan yaitu dibebaskan dari Pajak Bumi, pajak Penghasilan, dan
Pajak Pemotongan ternak bagi penduduk tetap di Kadilangu.
Pada
tanggal 25 Januari 1915, dengan di dasarkan pada Guovernements Besluit Nomor
10, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pengambilalihanan 10 (sepuluh) desa
dari Kadilangu dengan pemberian ganti kerugian seluruhnya sebesar f.13.105,-
setiap tahun. Sehingga Desa Perdikan hanya tersisa Desa Kauman Kadilangu.
- Tanah Kadilangu Pada Zaman Indonesia Merdeka.
Pada
zaman perang dunia II, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada
tahun 1942. Selama Indonesia dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang kurang
lebih 3 tahun, tidak ada perubahan apa-apa mengenai status tanah Kadilangu.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan dan Pemerintahan Republik
Indonesia, dan mendasarkan peraturan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut
Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wilayah bekas jajahan Kolonial Belanda
menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, segala Badan Negara dan peraturan yang ada
masih berlaku selama Belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945
ini. Karenanya keadaan Kadilangu juga masih sama seperti pada Zaman Hindia
Belanda, yaitu Desa Perdikan Kadilangu masih tetap di bawah Kepala Kadilangu.
Pada tanggal 4 september 1946 diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946
tentang Penghapusan Desa Perdikan, yang menghapus semua Desa Perdikan termasuk
Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi pada kenyataannya Desa Perdikan Kadilangu masih
tetap berjalan seperti biasanya, hal ini dikarenakan Belum ada peraturan
pelaksana dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa
Perdikan.
Sampai
diterbitkanlah Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12
tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu. Tetapi sebelumnya pada
tahun 1960, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur masalah pertanahan di seluruh wilayah
Indonesia. Ini berarti bahwa seluruh kebijaksanaan pemerintah mengenai
pertanahan harus didasarkan kepada UUPA.
Kebijaksanaan
Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pertanahan khususnya upaya
penghapusan dan pengaturan mengenai Desa Perdikan harus di dasarkan pada UUPA,
sehingga Undang-Undang nomor 13 tahun 1946 dan Peraturan Menteri Pemerintah
Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan
Kadilangu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA.
Tetapi
dalam pelaksanaan penghapusan Desa Perdikan Kadilangu masih terdapat perbedaan
penafsiran antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa
Perdikan, dan Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12
tahun 1962 tentang Penghapusan desa Perdikan Kadilangu. Perbedaan penafsiran
tersebut, terjadi antara Propinsi Jawa Tengah/Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Demak dengan ahliwaris Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sampai
akhirnya pada tanggal 2 Agustus 1986, Gubernur KDH Tingkat I Propinsi Jawa
Tengah menerbitkan Surat Nomor 759/23047. Surat ini ditujukan kepada Kepala
Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah, pada intinya menyatakan bahwa “Masalah
status tanah pada areal bekas Desa Perdikan Kadilangu, dan penghapusannya diatur
di Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962
tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu belum dapat terlaksana dengan
tuntas”.
Sebenarnya
masalah penghapusan Desa Perdikan Kadilangu menyangkut dua macam hukum, yaitu
Hukum Ketatanegaraan dan Hukum Keperdataan. Untuk penghapusan Desa Perdikan
Kadilangu sendiri berlaku hukum ketatanegaraan, karena menyangkut masalah
pemerintahan umum di Daerah Jawa Tengah, sedangkan mengenai kepemilikan tanah
warisan Sunan Kalijaga berlaku Hukum Keperdataan.
Desa
perdikan Kadilangu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah
berusaha untuk menghapus Desa Perdikan Kadilangu dalam arti Hukum
Ketatanegaraannya. Dan dalam pelaksanaannya usaha yang dilakukan tersebut sudah
dapat terlaksana, walaupun tanpa dilakukan suatu upacara-upacara formal.
Kehidupan
di Desa Kadilangu sekarang sudah berjalan seperti halnya desa-desa lain di
Indonesia, dikarenakan Desa Perdikan Kadilangu sudah berubah menjadi desa
biasa. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan nama desa, yaitu dari Desa
Kadilangu menjadi Kelurahan Kadilangu. Nuwun.
Sumber
utama : wikipedia
0 on: "Sejarah Singkat Tanah Perdikan Kadilangu Demak"