Akarasa
– Selamat datang kerabat akarasa. Jika boleh jujur senyatanya sejak kecil, kita
dilatih untuk berbohong. Tidak secara langsung, tentunya.
Akhirnya
kita belajar untuk mengatakan apa yang orang lain ingin dengar, dan kita bersikap
sesuai dengan hal itu. Padahal konon, justru dengan mengatakan yang sebenarnya,
akan menciptakan sebuah perubahan kimiawi positip dalam tubuh.
Maka
ketika saya menulis catatan kecil ini, saya ingin menceritakan yang sebenarnya.
Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk diriku sendiri, yang ingin mencoba belajar
berkata yang benar. Sepahit apa pun itu, baik ketika dituliskan, juga setelah
dibacakan.
Dan
saya pun sedang ingin belajar berkata jujur, terutama pada anak-anakku. Agar
kelak, mereka pun berani berkata jujur. Paling tidak ketika berkata padaku.
Maka saya menuliskan ini, agar bisa dibaca anak-anakku kelak. Rencananya akan
kuwariskan, untuk dibaca oleh mereka, setelah dewasa. Tentu karena saya sadar,
saya tak mampu mewariskan kekayaan. Maka yang bisa kusiapkan, hanyalah sekadar
pandangan, pemikiran, dan sedikit kebijakan dari pengalaman. Tentu bukan untuk
langsung ditelan.
Saya
menginginkan semua yang kurasakan, bisa
terbaca oleh mereka. Bagaimana perjalanan hidupku, dari kecil hingga setua ini.
Dari masa kanak-kanakku yang manis, masa anak-anak yang asam, masa remaja yang
kecut, masa dewasa yang asin, hingga masa tua yang pahit. saya menginginkan
mereka semua sedikit mengerti dan memahami, gejolak pergolakan batinku. Tentu
bukan untuk menggurui. Hanya sekadar berbagi.
Bagaimana
dulu saya mencoba menyusun batu-bata kepercayaan diri, dari keterpurukan
panjang yang membuatku tak yakin bahwa saya masih ada. Bagaimana saya mencoba
merangkak kembali dari pingsan setelah dihajar penghinaan yang menurutku sangat
kelewatan. Bagaimana saya bangkit kembali. Mencoba belajar berdiri kembali di
atas dua kaki, untuk menopang kegalauan hati. Bagaimana saya pernah tidak
percaya bahwa saya masih mampu berdiri, bahkan bahwa saya masih punya sepasang
kaki.
Saya
ingin rasa kalahku dibaca oleh anakku. Rasa kalah ketika dikalahkan dan
disalahkan. Bukan untuk belajar dendam. Sekadar agar mereka tahu, saya pernah
jatuh. Saya juga pernah salah. Pernah terjungkal, terjungkir, bahkan
terpelanting, oleh langkahku sendiri.
Namun
mereka juga harus membaca, bahwa saya bisa bangkit dari keterpurukan yang
panjang. Bisa naik dari lumpur keminderan yang sangat, keterpojokan jiwa yang
berat. Saya pernah beranjak dari dasar jurang ketakutan yang membuatku hampir
putus asa.
Saya
ingin semua yang kualami sejak merasa kehilangan diri, hingga proses mencari
kembali, dan berusaha menemukannya lagi bisa dimengerti. Saya ingin anakku
memahami jalan berliku yang kupilih. Juga liku-liku hidupku yang mungkin aneh
di mata orang tua dan saudara, sementara saya pun tak bisa menjelaskan itu
semua pada mereka. Saya hanya bisa menceritakan segalanya pada istri. Belahan
jiwa yang tak mungkin terganti.
Saya
juga ingin anakku tahu, bahwa saya pernah dirundung kepiluan yang sangat. Juga
ketakutan yang mencekam, tentang masa depan mereka. Ketika pada suatu waktu,
saya yang tanpa pekerjaan sama sekali tak menghasilkan pendapatan. Yang membuat
biaya hidup tiap bulan menjadi momok yang menakutkan. Hari-hari yang
menyedihkan.
Saya
pernah merasa sangat bersedih, ketika tak bisa membelikan celana. Merasa amat
bersalah, ketika selama ini ia hanya memakai celana bekas Rizal kakak sepupnya dulu.
Sama ketika Adil sakit, atau pun Umminya sakit. Tak ada biaya ke dokter,
apalagi spesialis. Hingga harus rela antri di puskesmas, karena bisa berobat
tanpa biaya.
Sedih
sekali ketika saya seolah tak bisa membahagiakan mereka. Sekadar membelikan
mainan padanya. Memberikan baju, celana, sepatu, sandal, tas, atau topi baru.
Atau mengajaknya sekadar jalan-jalan di Minggu pagi di alun-alun atau pantai
Boom.
Saya
ingin menuliskan semua yang kurasakan. Tak akan saya tutupi dengan
cerita-cerita heroik yang membuat mereka bangga dengan seluruh yang pernah saya
punya. Segala cerita orang yang pernah mereka dengar tentangku. Bahwa saya bisa
ini itu. Bisa menulis, bisa menggambar, bisa mendesain, bisa menjadi tukang
kayu, atau bisa listrik.
Saya
lebih ingin mereka tahu, tentang ‘apa-apa’ yang ada pada diriku. Bukan siapa
diriku. Mungkin mereka akan kecewa. Tak lagi berbangga. Tapi kejujuran ini, justru
membuatku bahagia. Saya telah menceritakan bagaimana diriku sebenarnya.
Dan
pada ujung tulisanku nanti, saya pun ingin menceritakan semua pada mereka.
Suatu mimpi yang sampai saat ini belum kuraih. Tentang keinginanku
membahagiakan mereka, orang-orang terdekatku. Orang-orang yang sangat saya
perlukan, karena mereka pun membutuhkan saya.
Dan
saya pun membutuhkan mereka. Saya (haqul yakin!) sangat memerlukan kedua orang
tuaku, karena doanya lah saya bisa menjadi apa saja. saya sangat-sangat
memerlukan istriku, karena dialah yang mendukung segala rencanaku, termasuk
yang gila dan di luar logika. Saya juga amat memerlukan anakku, karena
merekalah cahaya hidupku.
Saya
ingin membahagiakan mereka, sebagai ujung bahagiaku. Puncak terindah usahaku.
Setelah
itu, barulah membahagiakan orang lain, tentu.
Bismillah.
0 on: "Stop Press ! Ungkapan Hati Seorang Ayah"