Akarasa – Selamat pagi kadang kinasih
akarasa. Panjenengan tidak salah dalam membaca judul tulisan ini. Sebenarnya
tulisan ini lama tersimpan di draf, sedianya hendak saya publish di kompasiana
tapi urung karena ada berbagai pertimbangan.
Boleh dibilang tulisan yang sedang
kerabat akarasa baca ini serupa uneg-uneg saya, jika tidak ada kesepahaman
dalam tulisan ini itu masing-masing kita. Artinya saya tidak meminta kerabat
akarasa sepaham dengan alalogi pola pikir saya. Pun halnya, saya tidak minta
pembenaran untuk tulisan saya ini, semua bersifat personal. Tapi sebelumnya,
terima kasih sudah bersedia membaca tulisan ini. Bismillahirrahmanirrahiim..
Saya rasa kita semua sepakat, jika Tuhan
benar-benar maha luas tiada batas! Maka tidaklah berlebihan jika dianalogikan
bahwa kebenaran sejati layaknya cermin yang pecah berantakan, dan agama,
ajaran, budaya, ilmu pengetahuan, tradisi, masing-masing hanyalah memungut satu
di antara serpihan cermin tersebut. Baik, sebelum saya lanjutkan lagi, saya kan
gambarkan konsepsi tata ruang dan waktu dengan merujukdari teori relatifitas khusus.
Empat dimensi (dimensi ruang ditambah
waktu), hanya ada di dalam dimensi wadag/fisik
bumi. Sementara tata “ruang” gaib sungguh menyimpan misteri yang maha luas dan
dahsyat. Dalam “tata ruang” gaib sudah
yang tidak ber-ruang lagi, dan di dalamnya tidak berlaku waktu, tidak berlaku
jarak. Itulah hakekat dari dimensi cahaya. Bahkan kecepatan melebihi kecepatan
cahaya.
…untuk mencapai pergerakan maksimum di
dimensi ruang maka pergerakan di dimensi waktu harus nol. Pada kondisi inilah
kecepatan benda menempuh dimensi ruang bisa maksimal. Dan sesuai dengan teori
relativitas khusus, bahwa kecepatan maksimal adalah kecepatan cahaya, segera
kita sadari bahwa cahaya sama sekali tidak bergerak pada dimensi waktu. Dengan
kata lain, foton tidak berumur. Foton yang dihasilkan semenjak alam semesta
terbentuk sampai sekarang umurnya sama!
Ini terkait dengan salah satu formula
teori relativitas khusus yang saya maksud di atas: E=mc2, di mana E adalah
energi, m adalah massa, dan c adalah konstanta kecepatan cahaya. Formula
tersebut menjelaskan relasi langsung antara energi-massa (konservasi
energi-massa). Sebuah objek dengan massa m bisa menghasilkan energi E sebesar
mc2; dan karena c sebuah konstanta yang besar, massa yang kecil tetap akan
menghasilkan energi yang besar. [wikipedia)
Bayangkan, Hiroshima tahun 1945 hancur
akibat energi yang dihasilkan 1 ýari 2 pounds Uranium. Di sisi lain, formula
ini memainkan peranan penting dalam pergerakan objek dalam 4Dimensi. Benda yang
bergerak memiliki energi kinetik, semakin tinggi kecepatannya semakin besar
energinya.
Saat kita paksa partikel muon mencapai
kecepatan 99,9 kecepatan cahaya, muon memiliki energi yang besar. Karena
konservasi energi-massa, energi tadi meningkatkan massa muon 22 kali lebih
massif daripada massa-diamnya (0.11 MeV). Tentu saja semakin masif (pejal)
benda, semakin susah untuk bergerak cepat. Ketika kecepatannya dinaikkan
menjadi 99,999 kecepatan cahaya, massanya bertambah 70.000 kali! Muon semakin
masif dan semakin cenderung untuk tidak bergerak. Sehingga dibutuhkan energi
yang tak berhingga untuk melewati kecepatan cahaya; jumlah energi yang tidak
mungkin bagi sesuatu pun yang ada di alam semesta ini: kecuali jumlah energi
Tuhan.
Sukma/roh adalah “abadan cahya” (cahya sejati) sehingga bagi sukma/roh
ke manapun pergi tidak membutuhkan waktu
lagi. Orang bilang kecepatan sukma melesat dari satu tempat ke tempat lain
(baca meraga sukma) hanya memerlukan hitungan detik, sekedar untuk menggambarkan
betapa di wilayah gaib merupakan
wahana cahaya yang tidak menggunakan hitungan dimensi ruang dan waktu lagi.
Namun demikian, cahya sejati belumlah
hakekat Tuhan, ia masih makhluk (ciptaan/retasan
Tuhan). Sehingga tak bisa dibayangkan lagi bagaimana “kecepatan” Tuhan, mungkin beribu atau bermilyar kali lipat dari
kecepatan cahaya. Dan hanya sampai di situlah yang bisa dibayangkan oleh
manusia. Di atas cahya sejati (nurulah)
adalah atma atau energi hidup/chayyu/kayun/kayu. Suatu “Energi Hidup” yang kecepatannya jauh
melebihi cahaya. Bisakah kita bayangkan! Namun atma
sejati belumlah “inti” Tuhan, karena
atma masih di dalam rengkuhan Hyang Maha Mulia.
Sederhananya semakin manusia
mengetahui kebesaran Tuhan, manusia semakin merasa tidak bisa membayangkan Tuhan
itu seperti apa sesungguhnya. Namun yang di luar bayangan imajinasi kita itu,
sungguh ada melekat di dalam diri kita, dalam diri manusia apapun agama, bahasa
dan suku bangsanya. Semakin manusia tahu Tuhan, semakin merasa kecil dan
menunduk diri. Jauh dari watak mentang-mentang, jauh dari sikap merasa paling
benar, apapun yang menjadi sumber referensinya.
Untuk sekedar pembuktian ilustratif
dalam analogi logika berpikir saya saja, bagaimana kemampuan manusia dalam
melihat/mengetahui/bertemu Tuhan adalah saya ilustrasikan sebagai berikut: Bola
mata wadag kita bisa melihat suatu obyek yang berada di luar mata kita. Namun
demikian, apakah bola mata kita bisa melihat apa yang ada di dalam bola mata
kita sendiri ?
Maka kemudian, hanya dengan “rahsa”lah kita bisa “merasa” apa yg ada di dalam bola mata
kita. Tuhan hanya bisa kita rasakan, dan itulah kemampuan manusia maupun roh
dalam “melihat” Tuhan.
Kemudian, apakah Tuhan itu?
Jika jawabannya adalah dengan jawaban
rasional tentu setiap kita punya jawaban masing-masing. Dalam pendekatan rasio
sejauh ini kita sudah mengenal yang namanya suatu hukum alam, lebih populer
lagi sebagai hukum sebab akibat. Maka Tuhan merupakan konsep utama sebagai
Causa Prima, yakni penyebab utama tanpa ada yang menyebabkan eksistensi-Nya.
Jika pendekatan melalui teori energi, maka Tuhan merupakan Episentrum dari segala episentrum dan energi yang ada di jagad
semesta.
Soal Tuhan mana yang paling bener,
atau sebutan nama Tuhan yang palsu apa? Apakah Alloh swt, Gusti Allah, Sang Manon, Tuhan Allah, Pi Khong, Brahman,
God, Puang Alah, Yahweh, Dei dan seterusnya ?
Jika jawabannya mengacu pada konteks
rasio, semua itu tentu saja masih berupa kebenaran yang bersifat relatif.
Karena nama-nama itu berkaitan dengan sistem budaya yakni, bahasa sebagai alat
komunikasi yang digunakan manusia. Logikanya sebelum manusia mengenal bahasa,
maka konsep nama-nama di atas tentunya belum ada, dengan kata lain, Causa Prima (Tuhan) belum punya nama
apapun.
Jika pemahaman diatas ada yang
menganggap sebagai liar dan meng-kopar
kapir-kan, ya monggo kerso! Setidaknya itu yang bisa saya analogikan dalam
bentuk kosa kata dalam logika berpikir. Jika demikian anggapannya, maka ada
satu pertanyaan sederhana. Apakah gara-gara salah menyebut nama untuk Tuhan
maka akan mengakibatkan seseorang kecemplung
nroko?
Bukankah kita sebagian besar yang
didalamnya bisa jadi termasuk diri kita sendiri memeluk salah satu agama hanya
karena faktor kebetulan belaka, yang tak lebih hanya karena faktor keturunan
(warisan) orang tua kita. Nah, apakah hanya karena faktor keberulan, faktor
keturunan daro orang tua tersebut sudah menentukan orang mlebu nroko utowo swargo?
Pertanyaan selanjutnya, apakah tepat,
dikatakan Tuhan Maha Esa? Jika jawabannya Iya, berarti Tuhan itu sesuatu yang
Count-Able (dapat dihitung). Jika jawabnya Iya juga, berarti Tuhan itu sangat
terbatas, dengan demikian sama halnya mengingkari dalil Tuhan Mahaluas tak
terbatas. Saya mengharapkan bantuan para kerabat akarasa yang budiman untuk
memberikan pencerahan atas mind set ini.
Hal ini saya kemukakan karena di dalam
benak saya Tuhan itu sebagai Uncountable. Namun bukanlah serupa benda, berbeda
dengan udara, air, api dan sejenisnya merupakan uncountable noun, atau benda
tak dapat dihitung. Sehingga saya tidak bisa mengatakan air, udara, api
berjumlah satu atau sepuluh, atau seratus. Namun juga tidak bisa dikatakan
benda-benda tersebut sebagai satu (esa). Bahasa yang mewakili adalah benda
jamak dan benda tunggal. Jika Tuhan dikatakan satu, berarti terjebak pada
terminologi benda jamak. Saya kok merasa lebih sreg jika mengatakan (dalam
bahasa kawi) sebagai Hyang Widhi atau
Maha Tunggal atau bahasa lain yang sepadan. Karena Tuhan itu, saya kira tak
dapat dihitung. Jika dikatakan Maha Esa (satu) kiranya teramat sulit memahami
deret hitungan yang Kuantitatif dan Simplistis tersebut. Kenyataannya, memahami
Tuhan yang tiada duanya, jauh melebihi
sulitnya menghitung udara sebagai benda tak dapat dihitung. Betapa hebat Tuhan
itu. Akhir kata, nohon kiranya kerabat akarasa berbagi rasa di sini. Nuwun.
Cukup bagus mas ..mungkin aspek rasional nya terkait dengan keterbatasan manusia dalam melogikakan tuhan..salah satu keihklasan dari nalar yang tak pernah bisa jauh .. dan menjangkau tuhan.. sehingga membuktikan kebesaran Tuhan itu sendiri
BalasHapus