![]() |
Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan
pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari
sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari
berbagai kalangan terpelajar baik dalam negeri maupun luar. Riwayat Mataram
adalah riwayat mati dan hidupnya Negara Jawa dalam ketradisionalannya. Pada
masa Mataram ini konsep nasionalisme belum muncul tetapi rakyat sudah diajari
untuk memetakan bahwa tidak adanya persatuan dalam menghadapi lawan bersama
adalah kelemahan.
Negara Kerajaan Mataram pada
hakikatnya adalah monarki absolut yang kurang dapat mengimplementasikan
keabsolutannya kedalam pemerintahan yang kuat. Ilmu pemerintahan dan ideologi
pada masa Mataram itu belum ada dan untuk menerangkan kepada masyarakat tentang
kehidupan bernegara maka sarana yang dipergunakan adalah elemen elemen
kebudayaan, agama, seni pertunjukan wayang dan mitos mitos sebagai penguat
legitimasi.
Mataram didirikan oleh Panembahan
Senopati pada tahun 1587 Masehi sebagai suatu kerajaan dengan kombinasi antara
Demak dan Majapahit. Kasultanan Demak yang merupakan kerajaan maritim di pantai
utara Jawa dengan dominasi kaum saudagar berbasis Islam dikombinasikan dengan
Majapahit yang aristokrat dan agraris dan berbasis Hindu-Budha menjadi corak
dari kerajaan Mataram.
Kombinasi yang diciptakan oleh Mataram
dalam bernegara menjadikan sistem birokrasi yang terjadi mengikuti paham sistem
negara patrimonial seturut dengan kriteria Max Weber. Dalam sistem ini lapisan
masyarakat negara terbagi kedalam kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Sistem
patrimonial ini selain dilapangan poltik dan ekonomi juga merembet kedalam
kebudayaan. Oleh sebab itu sangat tidak mengherankan kalau kraton kraton di
Jawa pada umumnya merupakan pusat pusat kekuasaan, kemakmuran dan kebudayaan
secara turun temurun melalui prospek waktu dan adaptasi jaman yang secara
tradisional diwariskan kepada generasi berikutnya.
Seperti pada umumnya negara
patrimonial, Mataram sebagai suatu negara kerajaan memiliki ciri ciri birokrasi
antara lain:
- Sumber legitimasi seorang raja adalah keturunan atau wahyu/pulung.
- Raja adalah penjaga kesatuan dunia, pemelihara alam semesta, pelindung kerajaan dan rakyatnya.
- Raja memegang kemutlakan dalam keputusan pemerintahan .bersifat lisan (tidak tertulis) sehingga dapat berubah setiap saat tergantung selera raja/penguasa.
- Kraton menjadi patronage gaya hidup, kesenian, kemakmuran-kesejahteraan.
- Jabatan pemerintahan dipegang oleh elite secara personal, bersifat paternalistik serta berbasis keturunan-kekerabatan.
Naiknya Senopati ke panggung kekuasaan
Jawa dengan semangat dan ideologi "Wong Agung" dihadapkan pada soal
legitimasi dan pengakuan lawan lawannya yang harus dibeli dan ditundukan dengan
jalan kekerasan dan perang. Senopati yang berasal dari keluarga petani Jawa
untuk maksud tujuan dan langkah menuju kekuasaannya berjuang all out dengan berbagai
sarana dan prasarana yang diciptakannya.
Pembangunan mitos tentang Ratu Kidul
yang menjadi isterinya untuk melegitimasikan diri bahwa setiap raja Jawa
terikat kontrak menjadi suami penguasa laut selatan berhasil dibangun secara
gemilang. Keberhasilan dalam membangun mitos ini tak kurang pula diiringi oleh
penyusunan silsilah yang merayap keatas sampai menembus pangkal silsilah di
kerajaan Majapahit . Dengan demikian ada suatu pesan yang melegitimasi dirinya
sebagai penguasa Jawa karena memang dari akarnya adalah keturunan penguasa yang
agung dan binathara yaitu keluarga ningrat Majapahit.
Penyusunan silsilah dan pembangunan
mitos ini dikombinasi dengan persetujuan para wali untuk mengesahkannya sebagai
penguasa tunggal atas Jawa. Wilayah wilayah yang tidak tunduk dan membangkang
diserang dan ditaklukan sampai Sunan Giri untuk mencegah perang besar antara
Mataram dan Surabaya menyampaikan suatu teka teki untuk dipilih oleh kedua
belah pihak.
Sunan Giri mengemukakan antara
"Wadhah dan Isi" untuk dipilih oleh Senopati dan Pangeran Surabaya
yang secara geneologis adalah trah keluarga para Wali di pantai utara Jawa. Alhasil
Senopati memilih wadhah sedang Pangeran Surabaya meilih isi. Prabu Satmata
tersenyum lebar dan memberi penjabaran bahwa memang sudah kehendak takdir bahwa
Senopati menjadi penguasa negara karena wadhah adalah lambang dari negara atau
kerajaan dan isi adalah lambang dari kawula atau rakyat. Bagaimana pun juga yang namanya wadhah adalah
menguasai isi atau kawula/rakyat sebab apabila rakyat tidak tunduk dan patuh
kepada wadhah/negara maka penguasa dapat melenyapkan atau mengusirnya dari
wilayah yang dikuasainya.
Mataram sebagai kerajaan pengganti
Demak dan Pajang sampai pada raja yang kedua bergelar Panembahan. Pangeran
Jolang sebagai putra Mahkota Kerajaan tampil menggantikan ayahnya yang wafat
tahun 1601 Masehi dengan gelar Panembahan Hanyakrawati atau Panembahan Seda Ing
Krapyak. Pemerintahan dari Panembahan Hanyakrawati ini berlangsung dari tahun
1601 sampai 1613 kemudian digantikan oleh putranya Raden Mas Martapura yang
hanya duduk sebentar di tahta kerajaan dan kemudian Raden Mas Rangsang tampil
sebagai penguasa Mataram dengan mengambil gelar Sultan. Pemerintahannya
berlangsung dari tahun 1613-1645 Masehi.
Wafatnya Sultan Agung digantikan dan
dilanjutkan oleh para warisnya tidak dengan gelar Sultan lagi melainkan dengan
gelar Susuhunan atau Sunan. Putra Mahkota yang menjadi penguasa dengan gelar
Sunan Amangkurat Agung menjalankan pemerintahan yang berbeda dengan
ayahnya.Pemerintahannya yang berlangsung 1646-1677 Masehi menimbulkan banyak
kekecewaan dikalangan para pejabat dan pembantu pembantu ayahnya. Pada masanya
ini pemberontakan Trunojaya berhasil menggulingkannya dari tahta Mataram dan
inilah untuk pertama kalinya dalam pelarian di Tegalwangi Raja Mataram
mengajukan bantuan kepada Belanda untuk menumpas suatu pemberontakan.
Belanda yang sudah mencermati dan
mengintai peluang untuk turut serta dalam menanamkan pengaruhnya di kerajaan
melihat adanya peluang emas yang tidak akan disia siakannya begitu
saja.Trunojaya yang dibantu orang Makasar dan Bugis hampir saja membuat dinasti
baru di Jawa tetapi gagal karena ditundukan oleh Belanda dan Putra Mahkota yang
kemudian menjadi sunan Amangkurat II atau Sunan Amral.
Perebutan kekuasan di Mataram yang
sudah dicampuri oleh tangan tangan VOC Belanda mulai menaikan suhu konflik dan
perebutan tahta kerajaan. Kakak beradik anatara Pangeran Piger dan kakaknya
Sunan Amral berebut tahta Mataram sepeninggal ayanhandanya di Tegalwangi. Sunan
Amral bersikukuh bahwa dirinya yang berhak atas tahta Mataram karena dirinya
yang tertua diantara putra Amangkurat I dari permaisuri. Pangeran Puger yang
juga lahir dari permaisuri bukannya tidak sadar kalau dirinya kalah tua dengan
kakaknya tetapi dalam konsep kekuasaan Jawa yang dianutnya, dirinya mendapatkan
wahyu kerajaan sehubungan dengan detik detik meninggalnya Amangkurat I oleh
Puger dilihatnya ada cahaya sebesar merica keluar dari tubuh ayahnya dan
ditangkap olehnya.
Sampai akhir hayatnya Amangkurat I
kelihatan dengan sangat jelas bahwa yang ada disamping sang raja adalah
Pangeran Puger dan bukan Sunan Amral/Putra Mahkota. Jauh sebelum terjadi
pemberontakan yang menumbangkan kekuasaan di Mataram, Sunan Amral atau Putra
Mahkota karena kekecewaan terhadap pemerintahan ayahnya lebih banyak berkawan
dengan Trunajaya. Ironisnya begitu begitu naik tahta dan memegang kekuasaan
Mataram eksekusi terhadap Trunajaya dilakukan langsung sendiri olehnya.
Berhubung sampai akhir hayat Sunan
yang duduk disampingnya adalah Pangeran Puger maka dapat dimengerti bahwa
pengajuan bala bantuan kepada VOC-Belanda diterima langsung oleh sang Pangeran
sebagai suatu "titah" dari raja untuk negara. Bersama dengan Belanda
Pangeran Puger kemudian memerangi dan mengusir Pangeran Trunajaya dari Mataram.
Tahta Mataram kembali kepada
dinastinya tetapi sekarang ada dua pemimpin yang memiliki kualifikasi yang
sama. Belanda yang sudah terjun bermain dalam kancah perdagangan di Jawa bagai
melihat seorang puteri kahyangan dengan beberapa saudaranya turun ke bumi untuk
mandi di danau hutan. Belanda akhirnya menjalankan apa yang dilakukan oleh Jaka
Tarub yaitu mencuri peluang dengan mendukung Sunan Amral duduk di tahta Mataram
sebagai Sunan Amangkurat II yang memerintah tahun 1677-1703.
Kapten Tack seorang perwira militer
VOC-Belanda mendapat penghormatan mengenakan mahkota kerajaan diatas kepala
Amangkurat II dan disaksikan dengan keheranan para pejabat Mataram berhubung
Mahkota yang dipegang perwira itu telah berkurang berlian mutiara penghias
mahkota. Tidak disangsikan lagi bahwa sebagai perwira dalam jajaran militer
Belanda sang kapten selalu mengambil kesempatan dalam meraup keuntungan dan ini
kelak yang akan dibayar dengan tewasnya di alun alun Kartasura.
Beban biaya penaklukan Trunajaya oleh
Belanda dikemudian hari setelah bertahtanya Amangkurat II dibebankan kepada
kerajaan Mataram. Pembebanan ini dirasakan berat oleh raja dan usaha untuk
mengingkari perjanjian mulai dijalankan, apalagi Mataram menjadi tidak bebas
dalam menentukan kebijakan.
Telah disebutkan diatas bahwa sistem
negara patrimonial antara lain adalah sistem peraturan yang bersifat lisan
sehingga penguasa atau raja dapat membatalkan setiap saat tergantung dengan situasi
dan selera. Berhadapan dengan Belanda sang Raja tidak bisa berbuat banyak
lantaran yang dihadapi memegang legalitas perjanjian secara tertulis yang tidak
mungkin dibatalkan tanpa ada perjanjian terulis baru untuk pembatalan.
Pola lama dengan sistem intrik dan
desas desus adalah langkah yang kemudian ditempuh oleh raja Mataram.
Suropati seorang bangsawan Bali yang
telah lama bekerja untuk Belanda di Batavia dalam pelariannya diterima di
Kartasura dalam perlindungan Sunan. Dari tangan Suropati ini pula Kapten Tack
yang memimpin pengejaran dari Batavia
tewas ditusuk Suropati dengan senjata tikam.
Belanda mulai ragu terhadap Amangkurat
II dan tidak mempercayainya serta mulai mempertimbangkan Pangeran Puger untuk
didudukkan sebagai raja Mataram namun tindakan menuju target belum dilaksanakan
karena raja memiliki putra mahkota yang menjadi warisnya.
Pangeran Puger yang turun jabatan
menjadi Pangeran kembali tetap membantu kakaknya dalam mengelola kerajaan dan
menunggu waktu dan nasib yang akan
berpihak kepadanya kembali ke panggung kekuasaan Mataram. Pada tahun 1703
Amangkurat II wafat, warisnya putra Mahkota menggantikannya sebagai Amangkurat
III.
Perebutan tahta Mataram kembali
berkobar. Naiknya Amangkurat III yang beraliansi dengan Untung Suropati mendorong
Pangeran Puger meninggalkan Mataram tahun 1704 menuju Semarang untuk meminta
dukungan Belanda menjadi raja.Kecondongan Belanda pada Pangeran Puger
diwujudkan dengan dukungan militer yang membantu Pangeran Puger merebut
kekuasaan Mataram. 18 Maret 1705 Pangeran Puger dinobatkan menjadi penguasa
Mataram dengan gelar Susuhunan Paku Buwono I, sedang Amangkurat III ditangkap
dan dibuang ke Ceylon.
Paku Buwono I memerintah Mataram tidak
sampai 20 tahun karena tahun 1719 wafat kemudian digantikan oleh puteranya yang
mengambil gelar Amangkurat IV.Pemerintahannya yang hanya pendek karena tahun
1727 wafat kemudian digantikan puteranya menjadi Paku Buwono II.
Pada masa Paku Buwono II ini gejolak
kerajaan seperti tidak ada habisnya dan kerajaan tidak pernah dalam kondisi
stabil. Sampai wafatnya tahun 1749 Mataram terus saja bergejolak. Penggantinya
Paku Buwono III dalam lindungan Belanda tidak juga mampu meredam gejolak.
Pengangkatan Paku Buwono III ke tampuk
kekuasaan Mataram direspon dengan pengangkatan penguasa tandingan di luar
tembok keraton. Pangeran Mangkubumi adik Paku Buwono II didudukan sebagai Sunan
Mataram dengan mendapat dukungan militer Raden Mas Said. Mataram terjerembab
kembali oleh perang saudara yang pada akhirnya memuncak dengan tamatnya kerajaan
Mataram di Desa Giyanti 13 Februari 1755.
Dalam perjanjian 13 Februari 1755 yang
dikenal sebagai perjanjian Giyanti Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi
Yogyakarta dan Surakarta. Dalam perjanjian itu Surakarta penguasanya Sunan Paku
Buwono III dan Yogyakarta penguasanya Pangeran Mangkubumi yang mengambil gelar
Sultan Hamengku Buwono I. Surakarta bukan penerus Mataram demikian juga Yogyakarta bukan pengganti
Mataram. Yogyakarta dan Surakarta adalah kerajaan baru di Jawa.

Referensi
HJ De Graaft, PUNCAK KEKUASAAN
MATARAM, Politik Ekspansi Sultan Agung
Gambar [wikipedia]
0 on: "Dinasti Mataram : Wangsa Yang Penuh Konflik"