Akarasa
– Selamat malam kerabat akarasa. Masih ingat sinetron Bajaj Bajuri? Kalau masih
ingat, tentu ingat juga yang memerankan istri Bajuri yang dungu itu. Iya, Rieke
Dyah Pitaloka yang sejatinya aktivis perempuan dan anggota DPR itu. Lantas apa
korelasinya dengan tulisan ini? Secara langsung sih tidak, namun yang akan saya
bagikan kali ini adalah nama yang sama, hanya beda Rieke nya saja. Setiap nama
adalah mengandung doa, pun nama kita sendiri. Tentu ada maksud dari nama yang
disematkan pada kita. Tak terkecuali Rieke Dyah Pitaloka.
Mungkin,
orang tuanya Rieke ini kagum atas riwayat Dyah Pitaloka yang memang menjadi
legenda bumi Priangan yang tak lekang jaman hingga kini. Barangkali karena
kekaguman itulah mereka memberi nama anaknya mirip nama perempuan yang
melegenda itu dengan tentunya diberi tambahan nama agar tidak persis sama.
Lantas,
siapakah sebenarnya Dyah Pitaloka yang melegenda ini? Untuk menelisiknya siapa
sesungguhnya wanita ini mau tak mau kita harus merebas lorong waktu setidaknya
600 tahun yang lalu. Diantaranya sejarah Majapahit dan sejarah Tatar sunda
tentunya.
Dalam
mengupas sejarah Majapahit, mau tidak mau kita akan sempat melihat nama rajanya
yang terkenal, yakni Hayam Wuruk. Hayam Wuruk adalah raja Majapahit yang
memerintah antara tahun 1350 sampai tahun 1389.
Boleh
dikatakan kebesaran raja Hayam Wuruk tidak lepas dari jasa Mahapatih Gajah
Mada, yang karena sumpah Palapanya, sangat berambisi untuk mempersatukan
Nusantara di bawah Majapahit. Ambisi itu berhasil diwujudkan kecuali Tatar
Sunda yang wilayahnya meliputi wilayah Jawa Barat lebih sedikit (diperkirakan
Cilacap masuk Tatar Sunda).
Belum
tunduknya Tatar Sunda tentunya ada sebabnya. Kemungkinan besar karena leluhur
Majapahit (Raden Wijaya) dianggap juga berdarah Sunda. Bagi Gajah Mada, belum
tunduknya Tatar Sunda merupakan tantangan besar. Gajah Mada perlu memanjangkan
akal untuk mencari cara yang tepat dalam usahanya untuk menundukkan wilayah
yang penuh keindahan itu.
Kebetulan
sekali Hayam Wuruk belum memiliki permaisuri. Sementara itu Raja Sunda, Prabu
Linggabuana / Prabu Maharaja (1350-1357 M), diketahui mempunyai puteri yang
konon cantik jelita bernama Dyah Pitaloka.
Gajah
Mada rupanya jeli melihat peluang itu. Ia berusaha menjodohkan Dyah Pitaloka
dengan Hayam Wuruk dan pada kesempatan itu Gajah Mada berharap untuk dapat
menjadikan Tatar Sunda sekaligus tunduk kepada Majapahit. Caranya adalah dengan
mengadakan upacara perkawinan bukan di Sunda tetapi di Majapahit. Dengan cara
ini mau tidak mau sang pengantin perempuan akan diantar oleh ayahandanya ke
Majapahit sehingga seolah-olah Raja Sunda tunduk kepada Majapahit dengan
mempersembahkan puterinya sebagai upeti.
Gajah
Mada, tanpa mengutarakan maksud yang sebenarnya kepada Hayam Wuruk,
memberitahukan kepada rajanya itu bahwa ada puteri cantik dari Sunda yang patut
dijadikan permaisuri. Rupanya Gajah Mada sudah mendapatkan lukisan puteri
tersebut sehingga saat meihatnya, Hayam Wuruk lantas jatuh cinta.
Atas
usul Gajah Mada, Hayam Wuruk secara resmi mengirim utusan ke Kawali, ibukota
Tatar Sunda, untuk meminang. Pinangan diterima dan disusunlah rencana
pelaksanaan perhelatan besar kerajaan. Entah apa sebabnya, mungkin karena
kelihaian diplomasi, tawaran Gajah Mada untuk mengadakan perkawinan di
Majapahit diterima oleh Raja Sunda.
Pada
tahun 1357, Raja Sunda Prabu Linggabuana / Prabu Maharaja (1350-1357 M),
diiringi sekitar 100 orang pejabat, pengiring dan pengawalnya berangkat ke
Majapahit melalui laut mengantarkan Dyah Pitaloka. Rombongan ini kemudian
berkemah di alun-alun Bubat, di utara ibukota Majapahit.
Pada
saat upacara perkawinan akan dimulai, terjadi masalah (tentunya karena taktik
Gajah Mada). Semula Raja Sunda mengira bahwa rombongan pengantin pria akan
datang menjemput namun pihak Gajah Mada meminta sebaliknya. Raja Sunda harus
mengantarkan puterinya ke Keraton Majapahit. Permintaan itu ditolak oleh Raja
Sunda. Mudah dipahami karena masalah harga diri.
Keduanya,
yang saling menuntut itu, kemudian saling berhadapan di alun-alun Bubat. Entah
siapa yang memulai, mungkin karena suasana menjadi genting, terjadilah
pertempuran antara kedua pihak dalam kondisi yang tidak sebanding.
Dapat
diduga bahwa kekuatan pasukan Tatar Sunda jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan pasukan Majapahit. Dalam peristiwa ini Linggabuana (Raja Galuh-Kawali),
Dyah Pitaloka (anak Linggabuana) dan banyak pejabat Galuh tewas. Dikabarkan
bahwa Dyah Pitaloka tewas karena bunuh diri. Menurut catatan sejarah, peristiwa
ini diperkirakan terjadi pada tanggal 13 bagian terang bulan 1279 Saka.
Sepeninggal
Linggabuana yang tewas di Bubat itu, Bunisora – adik Linggabuana - kemudian
menjadi wali Kerajaan Kawali Galuh pada periode antara tahun 1357-1371 karena
Wastu Kancana, anak Linggabuana, masih berusia 9 tahun. Gelar Bunisora Prabu
Batara Guru Pangadipa-ramarta Janadewabrata dan disebut Batara Guru di Jampang
atau Prabu Kuda Lalean.
Sementara
itu karena kejadian yang tragis di Bubat tersebut, Hayam Wuruk mengirimkan
utusan ke Kawali dan diterima oleh adik Linggabuana yang bergelar Mangkubumi
Suradipati. Utusan tersebut terdiri dari Darmajaksa (pemimpin) agama Syiwa,
Darmajaksa Budha, Darmajaksa Wisnu masing-masing beserta pengiringnya dan
pengawal kerajaan. Tentunya utusan – yang berlatar belakang agama tersebut –
mencoba untuk menjelaskan duduk persoalan dan sekaligus meminta maaf atas kejadian
tersebut atas nama Raja Majapahit.
Mangkubumi
Suradipati lalu mengirim utusan ke Majapahit untuk mengambil semua abu mayat
yang meninggal untuk dibawa ke Kawali. Abu Linggabuana kemudian dikebumikan di
tanah kelahirannya. Kelak karena dikenal bijaksana, maka ia digelari Prabu
Wangi.
Walaupun
permintaan maaf telah disampaikan dan abu jenazah telah dibawa pulang bukan
berarti urusan telah selesai. Karena belum yakin benar tentang kesungguhan
Majapahit, Bunisora masih menyiagakan pasukan. Armada Sunda ditempatkan di
muara Kali Brebes (Cipamali). Rupanya Hayam Wuruk tetap memegang janjinya
sehingga ketika Majapahit mengirimkan ekspedisi ke Sumatera, Hayam Wuruk
memberitahu terlebih dahulu kepada Bunisora bahwa armadanya hanya akan lewat
saja.
Akibat
peristiwa Bubat tersebut Hayam Wuruk jatuh sakit cukup lama. Keluarga kerajaan
beranggapan bahwa penyebab peristiwa ini semua adalah Gajah Mada. Mereka akan
menangkapnya namun Gajah Mada berhasil lolos dan menghilang. Kelak setelah
Hayam Wuruk beberapa tahun kawin dengan perempuan lain, Gajah Mada diampuni.
Hayam
Wuruk memang akhirnya kawin, yakni dengan Paduka Sori / Ratu Ayu Kusumadewi,
anak Wijayarajasa/Bhre Wengker dari hasil perkawinannya dengan Rajadewi
Maharajasa / Bhre Daha (bibi Hayam Wuruk). Dari hasil perkawinan Hayam Wuruk
dengan permaisuri ini lahirlah Kusumawardhani (bergelar Bhre Lasem), yang kelak
menjadi putera mahkota. Sementara itu dari perkawinannya dengan seorang wanita
lain (selir), Hayam Wuruk dikaruniai anak Bhre Wirabhumi yang kelak menjadi
penguasa Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa.
Hikmah
yang dapat dipetik dari kisah tentang Dyah Pitaloka ini antara lain adalah :
- Terjadi pencampuradukan antara cinta dengan politik dan Dyah Pitaloka -yang mungkin tidak tahu apa-apa - menjadi salah satu korbannya.
- Dyah Pitaloka, yang menanggung malu, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kehormatan diri dan keluarga mungkin dianggapnya lebih utama dibandingkan nyawanya.
- Di Jawa Barat, jarang bahkan boleh dikatakan tidak ada nama jalan Gajahmada, Hayam Wuruk dan Majapahit. Mungkin sudah menjadi trauma di masyarakat di sana sejak peristiwa Bubat tersebut.
Sampai
akhir dinasti Majapahit, wilayah Jawa Barat tetap tidak berada di bawah
Majapahit. Sumpah Palapa Gajah Mada belum berhasil digenapi. Namun dengan
kemerdekaan Indonesia, di mana sudah tidak ada Majapahit lagi, seluruh
kepulauan Nusantara bersatu kembali bukan karena Sumpah Palapa, namun karena
Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Ok banget kisahnya..
BalasHapus