Akarasa –
Selamat datang kerabat akarasa. Suatu kali Emha Ainun Nadjib diberondong oleh
pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata penanya, "Misalnya pada
waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih
salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang,
mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang
sampeyan pilih?".
Cak Nun
menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan-lah." "Tapi
sampeyan kan dosa karena tidak shalat Jumat?", kejar penanya.
"Ah,
masa Gusti Allah "ndeso" gitu," dengan cepat Emha menjawab.
"Kalau saya memilih untuk menunai shalat Jumat, itu namanya masuk surga
tidak ngajak-ngajak". "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga
orang yang memperlakukan sembahyang sebagai "credit point"
pribadi," jelas cak Nun.
Sejurus
kemudian, cak Nun balik bertanya kepada si penanya. "Kira-kira Tuhan suka
yang mana dari ketiga orang ini: Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
Alquran, membangun masjid yang megah, tapi korupsi uang negara.
Kedua:
orang yang hampir tiap hari berdakwah, shalat, hapal Alquran, menganjurkan agar
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit dan mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga:
orang yang tidak shalat, tidak membaca Alquran, tapi suka beramal, tidak
korupsi dan penuh dengan kasih sayang. Di antara ketiga orang itu, kira-kira
Tuhan suka yang mana?.
Jika
pertanyaan cak Nun itu diajukan kepada kita, selaku audiens cak Nun, maka
kira-kira apa jawaban kita?. Apakah Gusti Allah itu "Ndeso" atau
justru kita sendiri-lah yang "Ndeso" karena memahami agama hanya
secara ritual formalistik belaka?. Siapa kira-kira yang "Ndeso"?
Narasi pengatar ini saya ambil di SINI
Ungkapan di
atas menjadi menarik untuk sedikit saya ulik, bisa jadi karena unsur asal usul
saya yang wong ndeso juga. Baik, saya coba keluar dari isi subtansi cerita di
atas. Ada ndeso tentu ada tidak ndeso (ngutho), turunannya lagi ndesoni (kurang
gaul/udik) dan nguthoni (sok seperti orang kota - belagu).
Heran? Tentu
saja. Mosok dikotomi ndeso dan tidak ndeso masih ada di era ekonomi tipu-tipu
dimana nilai kekayaan dan sekuritas dilihat sebagai sesuatu yang absurd tidak
real, seperti gelembung sabun bila pecah tak berisi apa-apa didalamnya.
Dan
terminologi ndeso saya pikir sudah hilang seiring leasing membooming di
kampung-kampung, tak perlu setuju atau tidak setuju dengan ide cak Nun, hanunya
saja perlu diingat dan dicermati, apakah yang ndeso lebih rendah derajatnya
dari tidak ndeso atau setali tiga uang bila tidak ndeso (ngutho) lebih
terhormat dari ndeso?
Permisalan saja
coba panjenengan bayangkan, apakah cak
Nurkhozin yg wajahnya ndeso (maaf mbah Modin kalau namanya agak mirip dengan
nama njenengan, ini hanya contoh saja biar lebih mudah menjelaskan) lebih tidak
mulia ketimbang Pak Budi (Budi Susanto, kalau ada Budi lain juga maaf sebagai
pembanding saja) yang wajahnya tidak ndeso dan imut? Hingga Tuhan pun perlu diseret
untuk menyokong persepsi ndek ndeso iku
derajate luwih angsor ketimbang kutho.
Timbulnya
kutho (kota) juga berawal dari deso, adakah kutho yg mempunyai budaya kuat
tumbuh begitu saja tanpa proses, sehingga ibarat kacang lupa pada kulitnya jika
tiba-tiba seorang urban yang hidup dikota kemudian bilang ke kawan dan tetangga
'Aah kamu ndeso broo' ketika mudik ke Tuban
atau Bojonegoro umpamanya. Tidakkah terpikir ketika kita bertamu atau
bertandang ke rumah kampung disambut hangat dan tulus baik melalui ekspresi
maupun gesture tubuh yang sopan, hangat dan ramah oleh pemilik rumah yang
berpenampilan ndeso ketimbang bertamu di rumah kota?
Tidakkah
terpikir bagaimana kita dapatkan berbagai kelebihan sifat sosial, perilaku,
kesederhanaan, dst, dari orang-orang desa yang tak pernah mereka tonjolkan,
sementara kita temukan berbagai macam kekurangan, keculasan, kekikiran,
munafik, korup, dsb orang-orang kota yang dengan berbagai cara mereka berusaha
sembunyikan?
Terus apa yang
menjadikan kita bila tiba-tiba terbesit pikiran, ente ndeso jek kalok ana sih kagak dab... Jadi, betulkah Gusti
Allah tidak ndeso atau jangan-jangan malah ndeso melebihi yang kita pikirkan
kendesoannya, namun bila panjenengan tetap berkeyakinan jika ndeso itu indentik
derajatnya tidak lebih tinggi dari yang tidak ndeso, maka sebenarnya jawaban
itu sudah ada pada 'Asmaaul Husna'. Gusti Allah, Dialah yang merendahkan
derajat (Al-khofidh) dan Dia pulalah yang meninggikan derajat (Ar-roofi')
seseorang.
Maka,
hambok ben Gusti Allah dengan ke Maha MuliaanNya untuk mengkriteriakan diri
sendiri …kesanggupan dan keberhakan diatas yang dipikirkan makhluk-Nya. Sementara
bila ditanya, seorang mana yang lebih baik mengerjakan amal ini tapi maksiat
itu, atau berbuat maksiat ini tetapi beramal itu, kira-kira Tuhan sayang yang
mana ya, orang yang mengerjakan A atau B atau C yang tidak mengerjakan sama
sekali keduanya? Jawabannya sederhana, Gusti Allah dengan sifatnya Ar-rahmaan,
yang Maha Penyayang, dengan segala kelebihan dan kemurahannya telah berkomitmen
untuk menyayangi / merahmati semua makhluk dan hambanya di dunia ini baik yang
cantik maupun yang kurang cantik, baik yang beramal sholih atau yang bermaksiat
dan munkar, sehingga hambok uwes tak
perlu kita mengkotak-kotak pertanyaan yang daripada yang mana tidak ada yang
ditanyakan.
Ngene wae gampang njelaske, sekarang
tolong beranjak dari tempat kita masing-masing sebentar, keluar dan arahkan pandangan
ke atas, iya kelangit luas dengan bintang-bintang berkelap-kelip itu, akankah
kita sanggup menyia-nyiakan curahan rahmat Tuhan yang begitu luas dan tak
terhitung tanpa membalas atau bahkan mengabaikannya? Pendek kata bila kita mau
sholat kemudian melihat orang ketabrak, ya tolong dulu orang baru kemudian
sholat, atau ditanya sholat rajin tapi korupsi, ya dijawab ya sholat dan
hentikan korupsi (jika njenengan tahu laporkan KPK), itulah bentuk nyata kita
membalas rasa sayang Gusti Allah, dengan menyayangi sesama makhluk dan
menjalankan permintaanNya.
Akhirnya,
bila kita mampu membalas dan menterjemahkan Ar-rahman Nya, maka Gusti Allah
akan memberikan rasa Kasihnya dengan yang lebih dahsat lagi kepada kita semua
sebagaimana sifat Ar-Rakhiim yang dimilikinya, di kelak yaumul kiyamah, insya
Allah.
Ngayogyokarto
Hadiningrat, 23:02 261120
0 on: "Entah Ndeso Atau Tidak, Tapi Tuhan Itu Netral"