Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Benar adanya makna yang tersirat dalam falsafah belajar seumur hidup
yakni bukan belajar mengajari orang lain, tapi belajar mengajari diri sendiri.
Bertelekan dari teks di atas, memang
kenyataannya kita sadari ataupun tidak, Tuhan senantiasa memberikan banyak
gambaran pada manusia lewat ciptaan-Nya. Sayangnya tidak banyak dari kita yang
hamba-Nya ini ‘berpikir’ dan nggraito
(merenungkan) sehingga keberadaan alam ciptaan-Nya ini kelihatan biasa-biasa
saja.
Allah swt kurang lebih memberi
penjelasan yang intinya: “Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi. Maka kamu akan
melihat kekuasaan-KU”. Artinya, kita harus cerdas dan cermat dalam mengamati
keberadaan alam semesta itu. Dengan begitu, kita akan bisa merasa dekat dengan Sang
Pencipta. Mohon diluruskan jika saya keliru.
Sejatinya ada banyak cara dan sangat
mudah juga untuk menikmati keindahan alam, tempat kita untuk belajar mengkaji
diri. Ambil contoh bertamasya ke pegunungan,
ke pantai atau tempat lainnya. Sayangnya, dalam hal menikmati alam, pandangan
antara anak kecil dan orang tua (sudah berumur) akan berbeda. Coba sesekali
perhatikan anak kecil yang tengah berjalan-jalan dan tiba-tiba mereka melihat
sungai yang airnya mengalir deras. Apa yang terpikirkannya? Biasanya, tanpa
pikir panjang ia akan kepingin mandi di kali tersebut.
Tapi berbeda dengan kita yang sudah tua
ini dalam menikmati alam. Para orang tua itu cenderung tidak melihat keindahan
dari sungai itu. Yang indah bagi orang tua ataupun orang yang sudah dewasa
adalah duit. Kemanapun mata memandang, yang dipikirkan hanyalah duit dan dunia.
Padahal yang dilihat indah itu adalah fana dan bakal berubah. Itulah perbedaan
antara anak kecil dan orang tua maupun dewasa dalam memandang keindahan alam.
Banyak sekali yang bisa kita pelajari
dari alam. Kita bisa belajar tentang ilmu kesabaran, ilmu kesetiaan, ilmu
kepasrahan, ilmu diam dan banyak ilmu lainnya. Lho kok bisa?
Kalau hendak belajar ilmu kesabaran,
maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini.
Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta
manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi
bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima
semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan-Nya itu? Tapi
kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang Pencipta akan marah
dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.
Contohnya, tanah longsor dan lainnya.
Belajar Kesetiaan, tidak ada salahnya
kita belajar pada matahari. Belajar dalam hal ini bukan berarti menyembah
matahari. Tidak! Tetapi kita cukup melihat, merasakan dan mencontoh kesetiaan
matahari yang juga ciptaan-Nya. Matahari adalah tempat belajar ilmu kesetiaan
karena ia dengan setia senantiasa hadir dari Timur dan terbenam di Barat setiap
hari.
Matahari tidak pernah ingkar janji
untuk tidak terbit. Ada orang yang guyon dengan mengatakan, lha kalau mendung
bagaimana? Meski mendung, matahari tetap bersinar meski tertutup mendung.
Bukankah ia terus setia?
Jika kerabat akarasa ingin belajar
ilmu kepasrahan dan nerimo (ikhlas), maka tidak ada salahnya belajar pada laut.
Laut yang diciptakan Tuhan adalah tempat mengalirnya beribu-ribu sungai di
dunia ini. Kotoran apapun yang dilemparkan manusia lewat sungai, pasti akan
mengalir ke laut. Dan laut akan pasrah menerima barang-barang buangan itu. Ia
tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Laut juga akan ikhlas menerima semua
air, kotoran atau benda-benda apapun yang mengalir lewat sungai. Keikhlasan
yang ditunjukkan oleh laut adalah keikhlasan
semuanya karena pasrah akan ketentuan-Nya.
Kita juga harus belajar dari tumbuhan.
Apa alasannya? Alasannya jelas, karena tumbuhan sejak dari bibit ia hidup, ia
cenderung diam. Tapi tahu-tahu lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan
memberi manfaat bagi si penanamnya.
Bayangkan, sebuah tumbuhan saja tahu
cara menghargai dan berterimakasih pada orang yang merawatnya. Sedangkan kita
manusia ini yang disebut makhluk mulia oleh Sang Pencipta sendiri, malah tidak
bisa menghargai dan berterimakasih pada-Nya yang telah merawat kita. Apa layak
kita disebut sebagai manusia Rahmatan Lil-alamin (manusia yang menjadi rahmat
bagi alam semesta)?
Karena sejatinya meski kita menghormati alam, berarti kita juga
mensyukuri apa yang telah dianugerahkan-Nya. Nuwun.
0 on: "Kajian Sederhana Falsafah Hidup Berguru Pada Guru Yang Diam"