
Akarasa –
Selemat datang kerabat akarasa. Tersebutlah Konon kabarnya bahwa tanah Pulau
jawa ini sudah dikuasai oleh Kerajaan Galuh yang diperintah Prabu Sindulaya
Sang Hyang Prabu Watu Gunung. Pusat pemerintahannya berada di Jawa Barat,
karena dianggap mempunyai peranan penting terhadap raja-raja di luar Jawa.
Beliau memang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan juga
rakyatnya hidup makmur.
Prabu Watu
Gunung dikaruniai empat orang putra, yaitu Dyah ayu Dewi menjadi ratu di
Nusatembini, Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti menjadi
adipati di Madura, dan yang terakhir Pangeran Adipati Dewata Agung menjadi
adipati di Pulau Bali.
Rakyat
Galuh cenderung tidak senang terhadap salah seorang pangeran yaitu Pangeran
Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil dan
suka menganiaya orang sangat tidak mencerminkan sebagai seorang pangeran.
Lebih-lebih terhadap salah satu kegemarannya yang suka memakan daging manusia.
Hal tersebut menjadikan rakyat Galuh yang dulunya hidup tenteram berubah
menjadi kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Kemudian bagi rakyat yang
hatinya kecil, seraya pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari
perlindungan. Perubahan keadaan yang dirasakan oleh rakyat Galuh menjadikan
Sang Hyang Watu Gunung mulai bertandang. Lebih-lebih yang menjadi biang
keladinya adalah anaknya sendiri, sehingga Sang Prabu seperti dicoreng mukanya.
Dengan rasa malu yang tidak dapat ditebus dengan nilai uang, seketika
memerintahkan Patih untuk menghadapkan Dewata Cengkar ke istana.
Prabu Watu
Gunung sangat murka kepada Dewata Cengkar. Dewata Cengkar yang tidak terima
pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa pamit. Dia bersama para pasukan
yang masih setia kepadanya melarikan diri ke arah timur di waktu tengah malam.
Mereka terus berjalan ke timur. Perjalanan mereka terhenti di saat mereka
sampai di tempat yang sangat indah dan berlokasi sangat strategis. Tempat
tersebut tepatnya di Pegunungan Kendeng. Dewata Cengkar mulai membangun
bangunan seperti istana. Dia mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Medang
Kamolan. Untuk membantu urusan pemerintahan diangkat seorang temannya dari
Galuh yang bernama Arya Tengger menjadi Patih dan seorang lagi bernama Ruda
Peksa menjadi Tumenggung.
Baca jugaSejarah Lengkap Kerajaan Galuh
Setelah
Prabu Dewata Cengkar berhasil mengangkat nama Medang Kamolan menjadi termasyhur
dan rakyat menjadi makmur. Medang Kamolan termasuk sudah bisa melupakan rasa
balas dendamnya kepada Prabu Watu Gunung. Karena bujukan Patih Arya Tengger dan
Ruda Peksa dendam Prabu Dewata Cengkar tersulut kembali. Dengan kemampuan
prajurit Medang Kamolan yang sudah perkasa Dewata Cengkar menyerbu Kerajaan
Galuh.
Kisah
tragis bagi Prabu Watu Gunung, sejak peristiwa Dewata Cengkar makan daging
manusia rakyat Galuh banyak yang meninggalkan kampung halamannya. Secara
berangsur-angsur diikuti oleh warga yang lain dan tidak mau kembali lagi ke
kampung halamannya. Akibatnya, menjadikan Prabu Watu Gunung menjadi murung.
Kerajaan Galuh semakin lemah karena prajuritnya banyak yang meninggal dan
penggantinya sulit dicari.
Dalam
kondisi yang kronis semacam itu datang serangan dari prajurit Medang Kamolan
yang dipimpin sendiri oleh rajanya. Prajurit Galuh menjadi kalang kabut karena
tidak ada persiapan, pertempuran tidak bisa dielakkan. Pada saat prajurit Galuh
hampir kalah dan terpojok, sudah ada yang melapor kepada Prabu Watu Gunung
untuk minta bantuan. Prabu Watu Gunung sangat terkejut ketika laporan itu
menyebutkan nama Dewata Cengkar. Prabu Watu Gunung matanya memerah dan pada
saat itu pula memerintahkan pasukan istana untuk turun ke medan perang
menghadapi putranya sendiri. Sesampainya di medan perang Prabu Watu Gunung
seraya turun dari kudanya menghadapi langsung Prabu Dewata Cengkar.
“Dewata
Cengkar, apakah demikian caranya seorang anak membalas budi terhadap orang tua?
Aku ini ayahmu, besok yang memiliki Galuh juga kamu, tetapi caranya tidak
seperti ini.”
“Aku sudah
tidak butuh pidatomu lagi. Ayo sekarang lawan aku!”
“Sabarlah
Dewata Cengkar, perbuatanmu ini tidak direstui oleh Yang Maha Agung. Terkutuk
kamu nantinya.”
“Jangan
banyak bicara lagi, sekarang serahkan Galuh padaku!”
“Iya, tapi
jangan sekarang.”
Mendengar
kalimat terakhir yang diucapkan oleh Prabu Watu Gunung, Dewata Cengkar seketika
mengangkat gada di tangannya dan langsung dihantamkan tepat pada tubuh Prabu
Watu Gunung. Bersama dengan pukulan itu, terdengar suara menggelegar sambil
mengeluarkan asap dan cahaya yang menyilaukan. Kemudian dengan hilangnya asap
dan cahaya tersebut hilang pulalah tubuh Watu Gunung beserta kerajaan dan
rakyat Galuh, kemudian berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan
terdengar suara kutukan Prabu Watu Gunung.
“Dewata
Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang,
nantinya akan menjadi kenyataan.”
Mendengar kutukan
itu sebenarnya Dewata Cengkar merasa takut dan menyesal. Tetapi Arya Tengger
dan Ruda Peksa masih bisa menguasai perasaan Dewata Cengkar kemudian sadar
kembali dan melihat para prajurit menyanjung atas kemenangannya.
Atas
kemenangannya itu rakyat Medang sudah mendengar. Mereka sibuk mempersiapkan
segala sesuatunya untuk merayakan kemenangan Prabu Dewata Cengkar. Para pegawai
sibuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk upacara menyambut kedatangan para
prajurit dan rajanya yang pulang dari medan perang.
Lain lagi
dengan kesibukan para wanita, karena tugasnya membuat masakan, sudah barang
tentu berusaha untuk bisa menghidangkan makanan yang enak-enak. Tetapi naas
bagi seorang wanita yang jari kelingkingnya terpotong, kemudian lari merawatnya
menuju kamar obat. Setelah selesai wanita itu kembali lagi ke pekerjaannya.
Betapa terkejutnya, potongan jari kelingkingnya tidak ditemukan lagi, termasuk
daging yang diiris-iris semuanya sudah matang menjadi masakan.
Pesta untuk
memeriahkan dimulai. Singkat cerita ternyata Prabu Dewata Cengkar tidak sengaja
yang memakan potongan jari tersebut. Dia teringat kegemarannya di masa lalu
yaitu memakan daging manusia. Setelah acara usai, Prabu Dewata memerintahkan
Arya Tengger untuk mencari daging manusia yang akan dijadikan santapannya.
Mula-mula yang dijadikan santapan adalah para narapidana. Setelah di penjara
narapidana habis tak tersisa, berganti ke para pemuda kampung. Dewata Cengkar
merasa bosan dan meminta Arya Tengger mencari daging wanita muda.
Sebenarnya
rakyat Medang Kamolan sudah hampir habis karena banyak yang berbondong-bondong
pergi meninggalkan Medang. Mereka meninggalkan Medang karena merasa takut
jikalau mendapatkan giliran menjadi santapan Dewata Cengkar berikutnya. Arya
Tengger dan Ruda Peksa merasa kebingungan kemana mereka harus mencari.
Beruntung salah seorang anak buah Ruda Peksa menemukan ada seorang wanita muda
bernama Roro Cangkek di rumah Kaki Grenteng. Arya Tengger meminta para prajurit
untuk terus mengawasi rumah Kaki Grenteng, jangan sampai Roro Cangkek lolos.
Di sisi
lain ada seseorang bernama Ajisaka datang menuju Jawa bersama dua orang
abdinya, Dora dan Sembada. Mereka bermaksud datang ke Jawa untuk menyebarkan
agama. Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, mereka singgah di Nusa Majedi (Pulah
Bawean). Ajisaka melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa hanya bersama Dora.
Sembada ditinggal di Nusa Majedi untuk menjaga barang-barang terutama keris
pusaka Ajisaka. Ajisaka berpesan kepada Sembada, keris yang dititipkan jangan
sampai diserahkan kepada siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.
Saat
Ajisaka dan Dora sampai di tanah Jawa, mereka heran karena para rang-orang
berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Sepertinya mereka ketakutan.
Ajisaka melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu rumah. Mereka singgah di
tempat itu. Rumah itu adalah rumah Kaki Grenteng. Dengan pintu terbuka Kaki
Grenteng sekeluarga menerima kehadiran mereka. Pada suatu ketika, Ajisaka mohon
izin kepada Kaki Grenteng untuk ke kamar kecil. Sebelum masuk ke kamar kecil,
Ajisaka bertemu dengan Roro Cangkek. Kecantikan Roro Cangkek membuat Ajisaka
tertarik. Saat dia berada di kamar kecil, Ajisaka mengeluarkan air seninya. Air
seni itu ternyata diminum seekor ayam jago milik Roro Cangkek.
Keesokan
harinya, prajurit Medang datang ke rumah Kaki Grenteng untuk membawa Roro
Cangkek dan dijadikan santapan bagi Dewata Cengkar. Para prajurit mendobrak
pintu rumah dan membawa paksa Roro Cangkek. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat
apa-apa karena sudah dibuat pingsan oleh para prajurit dengan benda keras. Dora
juga tidak bisa berbuat sesuatu karena sudah dalam keadaan terikat. Ajisaka
yang masih bebas dengan kecerdikannya berusaha mengelabuhi para prajurit.
Ajisaka mengatakan bahwa Roro Cangkek mempunyai penyakit menular.
Para
prajurit berhasil dikelabuhi dan melepaskan Roro Cangkek. Sebagai gantinya
Ajisaka bersedia dikorbankan. Ajisaka dihadapkan kepada Dewata Cengkar.
“Hai anak
muda, tahu maksudnya kau dibawa kemari?”
“Belum
paduka.”
“Kau akan
kujadikan santapanku.”
“Hamba
bersedia paduka, tapi perkenankan hamba meminta sesuatu kepada paduka sebagai
permintaan terakhir.”
“Katakan
saja! Akan kupenuhi.”
“Hamba
minta sebidang tanah seluas sorban yang saya ikatkan di kepala hamba ini
paduka.”
“Hanya itu?
Baiklah akan kukabulkan.”
“Tapi hamba
minta paduka sendiri yang mengukurnya.”
“Baiklah.”
Hari
eksekusi itu tiba. Ajisaka dibawa ke alun-alun. Pengukuran dilakukan sendiri
oleh Dewata Cengkar. Ajaib, sorban itu tidak habis-habis digelar. Dewata
Cengkar terus menggelar sampai di tebing Laut Kidul. Karena kelelahan, Dewata
Cengkar terpeleset dan tergantung di tebing yang bawahnya adalah Laut Kidul.
“Ajisaka,
aku menyerah, aku mengaku kalah. Baiklah, Medang sekarang kuserahkan padamu
asalkan kau selamatkan aku.”
Permintaan
itu tidak dituruti Ajisaka. Ajisaka malah melepaskan tangan Dewata Cengkar yang
menggantung di tebing. Dewata Cengkar terjatuh masuk ke Laut Kidul. Anehnya,
Dewata Cengkar berubah wujud menjadi seekor buaya putih. Dari laut terdengar
suatu ancaman dari Dewata Cengkar kepada Ajisaka. Dia mengancam akan memakan
anak cucunya yang lengah berada di Laut kidul akan dimakan Buaya Putih.
Setelah
dinobatkan menjadi raja Medang Kamolan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke
Nusa Majedi mengambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Nusa
Majedi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk
mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena
ia berpegang pada perintah Ajisaka. Akhirnya kedua abdi itu bertempur. Karena
keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan
diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Karena tak
kunjung kembali, Ajisaka menyusul Dora ke Nusa Majedi. Betapa terkejutnya, yang
ditemukan malah kuburan mereka berdua yang berarti mereka sudah mati. Ia sangat
menyesal mengingat kesetiaan kedua abdi kesayangannya itu. Kesedihannya
mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang
dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
ha na ca ra
ka
Ana utusan
(ada utusan)
da ta sa wa
la
Padha
kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja
ya nya
Padha
digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba
tha nga
Padha dadi
bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Setelah
Ajisaka menjadi raja, Medang Kamolan menjadi kerajaan yang makmur. Rakyat bebas
dari ketakutan kanibalisme yang dilakukan Dewata Cengkar. Di sisi lain, aneh,
ayam jago yang dulunya meminum air seni Ajisaka itu bertelur layaknya ayam
betina, tetapi hanya satu. Telur itu oleh Rara Cangkek dirawat dan
disembunyikan di dalam lumbung padi.
Lumbung
padi yang setiap hari padinya selalu diambil untuk dimakan sepertinya padi di
dalamnya tidak habis-habis. Hal ini menyebabkan kecurigaan Kaki Grenteng.
Setelah diselidiki ternyata terdapat ular raksasa. Ular raksasa itu dapat
berbicara layaknya manusia dan mengaku anak dari Ajisaka.
Ular itu
meminta dipertemukan dengan Ajisaka. Oleh Kaki Grenteng diberitahukan bahwa
Ajisaka sudah menjadi raja di Medang Kamolan. Seketika ular tersebut mohon
pamit untuk pergi menuju Medang Kamolan. Sesampainya di sana ular tersebut
tidak diperlakukan dengan ramah. Para prajurit berusaha melawan ular itu. Ular
itu tetap memaksa masuk dan akhirnya dipertemukan dengan Ajisaka. Mulanya
Ajisaka tidak mau mengakui ular tersebut sebagai anaknya. Kemudian ular
tersebut menceritakan asal-usulnya. Ajisaka sejenak berpikir. Ajisaka
memberikan suatu syarat kepada ular tersebut jika ular tersebut sanggup
mengalahkan buaya putih musuhnya yang berada di Laut Kidul maka Ajisaka
bersedia mengakuinya sebagai anak.
Seketika
ular tersebut pamit dan berangkat menuju Laut Kidul. Sesampainya di sana,
pertarungan langsung terjadi. Dengan mengerahkan segala kesaktian yang
dimiliki, Ular tersebut dapat mengalahkan dan membunuh buaya putih tersebut.
Sebagai bukti ular tersebut sudah membunuh buaya putih, dia membawa kepala
buaya putih.
Sesuai
dengan perintah Ajisaka, ular tersebut tidak boleh lewat di atas tanah ketika
kembali ke Medang. Ular tersebut lewat menyusuri bawah tanah. Karena dirasa
sudah sampai, ular tersebut muncul ke permukaan. Rupanya belum sampai dan masih
jauh. Tempat pertama ia muncul ke permukaan ini adalah di Jono, kemudian muncul
lagi di Crewek dan yang ketiga kalinya muncul di Kuwu. Kemunculan yang ketiga
ini terjadi keanehan. Karena di dalam tanah ular tersebut sudah kelelahan,
dengan sekuat tenaga dia muncul ke permukaan dan berubah menjadi seorang anak
kecil yang lumpuh dan linglung. Sejak saat itu ia dinamai Jaka Linglung.
Beruntung
dia ditolong oleh seorang dukun bayi sampai keadaannya pulih. Anak kecil yang
linglung setelah berpamitan dengan mbah dukun kembali menengok lubang yang
digunakan untuk keluar dari bumi. Setelah sampai di dekatnya terjadi keajaiban
lagi, tangan dan kakinya seketika menjadi satu melekat dengan badan mengembang
terus hingga menjelma menjadi seekor ular raksasa seperti semula. Kemudian
masuk lubang yang ada di depannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Medang
Kamolan. Lubang bekas masuknya Jaka Linglung tak lama kemudian pulih kembali,
penuh berisi lumpur yang disusul dengan suara Bledug…bledug…. begitu seterusnya
sampai sekarang. Sejak saat itu tempat tersebut dinamakan Bledug Kuwu.
Sesampainya
di Medang Kamolan, Ajisaka bersedia mengakui Jaka Linglung sebagai anak karena
sudah berhasil mengalahkan buaya putih. Tidak mungkin Jaka Linglung ditempatkan
di istana. Ajisaka mengambil kebijakan Jaka Linglung ditempatkan kebun istana
bersama teman-temannya sesama binatang. Binatang-binatang ini hidup rukun satu
sama lain. Setelah selang beberapa hari, Jaka Linglung sudah tidak
diperhatikan. Dia sudah jarang dikasih makan. Hal ini membuat ia merasa
kelaparan. Rasa lapar yang tak tertahankan ini membuat dia terpaksa memakan
temannya sendiri sesama binatang.
Kelakuan
Jaka Linglung ini diketahui penjaga kebun dan melaporkannya kepada Prabu
Ajisaka. Ajisaka marah dan menghukum Jaka Linglung. Dia dipindahkan ke Hutan
Klampis. Jaka Linglung tidak boleh makan kecuali ada makanan sendiri yang
datang ke mulutnya.
Pada suatu
hari ada 9 anak penggembala yang sedang menggembala kambing di Hutan Klampis.
Jaka Linglung tidak bisa makan dan kelaparan. Dia membuka mulutnya sehingga
kelihatan seperti gua. Tubuhnya dimasukkan ke dalam tanah. Hujan turun dengan
lebatnya. 9 anak tadi mencari tempat perlindungan. Mereka berlindung di dalam
mulut Jaka Linglung yang dikira gua itu. Salah satu dari kesembilan anak tadi
ada yang kudisan. Karena 8 orang tadi takut ketularan, mereka mengusir anak
kudisan tadi. Anak kudisan berlindung di bawah pohon besar. Setelah hujannya
reda, anak kudisan itu mencari teman-temannya. Dia kaget ketika teman-temannya
sudah tidak ada, yang ada hanyalah seekor ular yang mulutnya berlumuran darah.
Anak itu
segera berlari ketakutan dan mengatakan kepada para orang tua teman-temannya
bahwa anak mereka sudah tewas dimakan ular. Peristiwa ini dilaporkan kepada
Prabu Ajisaka. Ajisaka marah besar lagi. Jaka Linglung dimarahi habis-habisan.
Hal ini
membuat Ajisaka bingung hukuman apa yang harus diberikan. Ajisaka kemudian
mengundang Kaki Grenteng sekeluarga ke istana. Setelah dirapatkan akhirnya
Ajisaka menghukum Jaka Linglung dengan cara dipantek tubuhnya dan mulutnya
dicengkal sehingga tidak bisa mengatup lagi. Jaka Linglung menghembuskan nafas
terakhir di tempat itu. Roro Cangkek yang melihat penyiksaan itu tidak kuasa
menahan tangis. Tempat dimana Jaka Linglung dihukum terakhir itu sekarang
bernama Bumi Kesongo.
0 on: "Kisah Legenda Bledug Kuwu"