Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Keraton Surakarta Hadiningrat adalah istana resmi dari Kasunanan
Surakarta. Terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar
Kliwon, di pusat kota Surakarta, Jawa Tengah, keraton ini didirikan oleh Sri
Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana Kartasura yang
hancur akibat Geger Pecinan 1743.
Istana terakhir Kesultanan Mataram ini
didirikan di Desa Sala (Solo), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan
kecil di tepi barat Bengawan Solo. Setelah resmi istana Kesultanan Mataram
selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. "Sura"
berarti berani, dan "karta" berarti makmur; Surakarta dimaksudkan
menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani untuk
kemakmuran negara dan bangsa. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan
kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada VOC pada
tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian
dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Kompleks bangunan keraton ini masih
berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang
masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga
merupakan salah satu objek wisata di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton
merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai
pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Walaupun
saat ini keraton menjadi sebuah situs pariwisata, namun tak semua bagian
keraton terbuka untuk umum. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah
satu contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Keraton Surakarta merupakan salah satu
bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah KGPH.
Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi
arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika
pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak
memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang
ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap
dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Sri
Susuhunan Pakubuwono X yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini
bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
Kompleks keraton ini juga dikelilingi
dengan Baluwarti, sebuah dinding pertahanan (benteng) dengan tinggi sekitar
tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini
melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran
lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks
keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai
Kamandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Siti Hinggil dan Alun-Alun tidak
dilingkungi tembok pertahanan ini.
Nah, Beberapa waktu yang lalu sepanjang
perjalanan mengelilingi Baluwarti, banyak hal yang saya dapatkan. Selain pengalaman,
pengetahuan, pelajaran, renungan, juga rasa penasaran.
Salah satu yang sempat membua saya
penasaran, adalah keberadaan pintu kecil pada tiap pemukiman. Pintu yang seolah
menjadi semacam ‘jendela’ bagi para penghuninya untuk berhubungan dengan dunia
luar. Sementara orang luar seperti saya tetap tidak bisa masuk ke dalamnya.
Apalagi mengetahui seperti apa denyut kehidupan mereka.
Termasuk tentang penghuni yang
sekarang mendiami. Apakah mereka masih keturunan leluhur mereka, yang namanya
sekarang diabadikan menjadi nama kampungnya. Ataukah sudah orang biasa yang tak
ada trah apa pun dalam hubungannya dengan Baluwarti.
Misalnya para warga yang mendiami
kampung Baluwarti bagian selatan. Para warga di sana, apakah masih keturunan
dari para prajurit keraton. Yang namanya sekarang dilekatkan menjadi nama
kampung, yakni Tamtaman, Wirengan, dan Carangan.
Namun selain pintu-pintu kecil yang
menawarkan penasaran itu, saya pun terusik dengan keberadaan beberapa Dalem
yang masih tersisa. Bangunan tua yang darinya saya dapatkan pelajaran tentang
sejarah masa silam yang penuh keagungan, kemegahan, kemewahan, dan kebahagiaan.
Juga renungan perjalanan jaman yang menyisakan kepedihan.
Dalem adalah bangunan rumah luas dan besar yang dulunya
diperuntukkan bagi para putra raja. Yang bangunannya sangat khas arsitekur
Jawa. Lengkap dengan serambi depan berupa aula luas dan megah bernama pendopo.
Di belakangnya berdiri rumah besar bernama Dalem, yang di dalamnya terdapat
tiga kamar utama. Yaitu ruangan senthong kiwo yang berada di kiri, dan senthong
tengen yang berada di sebelah kanan. Dengan di tengahnya terdapat ruangan
sakral yang bernama krobongan.
Dan ketika saya jalan-jalan, tercatat
ada empat Dalem yang sempat saya lihat di lingkungan Baluwarti. Yang pertama
Dalem Mloyokusuman, yang berada di timur laut keraton. Tempat di mana makam Ki
Gede Solo berada. Kemudian Dalem Brotodiningratan dan Purwodiningratan yang
berada di selatan keraton. Lalu Dalem Suryohamijayan yang letaknya saya temukan
di barat daya keraton. Tepat pada pertigaan yang merupakan jalan keluar dari
Baluwarti, melewati pintu Butulan sebelah barat.
Sementara yang satunya lagi adalah
Dalem Sasono Mulyo, yang saya dapati berada di barat laut Kamandungan. Yang kalau
masuk dari arah barat melewati Kori Gapit, hanya berjarak tak lebih dari 200an
meter saja. Berada di kanan jalan melingkar dari arah pintu masuk Kori
Brojonolo Lor menuju pintu keluar Kori Brojonolo Kidul.
Dari keempat itu, saya hanya sempat
masuk ke Dalem Sasono Mulyo. Karena dari semua Dalem yang ada, hanya Sasono
Mulyo yang gerbangnya terbuka. Sementara, yang lainnya tertutup, hanya
menyisakan regol sebagai pintu kecil yang sedikit terbuka.
Dan saya tertarik masuk ke dalamnya,
karena ada sedikit pengetahuan sejarah yang masih saya ingat. Sejarah kelam
tentang keberadaan rumah besar yang dari luar terlihat angker tersebut. Sejarah
yang sampai ketika meninggalkannya saya masih larut dalam renungan.
Bangunan ini konon didirikan pada masa
Paku Buwono IV di atas tanah 11.000 meter persegi. Merupakan rumah yang
diperuntukan untuk putranya, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi untuk
didiami hingga akhir hayatnya. Namun karena Hangabehi kemudian naik tahta
menjadi Paku Buwono VIII, ia pun pindah ke Dalem Praba Suyasa di dalam
lingkungan keraton. Yang otomatis meninggalkan Sasono Mulyo.
Karena bangunan itu merupakan rumah
kediaman putra mahkota, maka kemegahan dan keanggunan pun masih tersisa sampai
sekarang. Terlihat pada bentuk bangunan pendopo yang sangat luas (konon
berukuran 37 x 25 m), dengan Dalem di belakangnya, dan gandok yang melingkar di
sekelilingnya. Gandok-gandok yang sekarang terlihat tak terawat dan tak lagi
berpenghuni. Padahal dulunya adalah bangunan untuk menampung puluhan keluarga
abdi dalem yang mengurusi keperluan sang putra mahkota.
Bangunan lainnya yang saya rasa masih
mempesona, adalah loji di sebelah baratnya. Sebuah sisa kejayaan masa silam
berupa rumah cantik dan indah hasil perpaduan arsitektur Jawa dan Belanda.
Bangunan penuh ornamen unik yang konon didirikan oleh putra mahkota Paku Buwono
X yang pernah bersekolah di Belanda.
Selain bangunan loji itu, saya pun
dibuat terpesona dengan bangunan gazebo yang berada di depan pendopo. Yang
ketika datang, sempat saya lihat anak-anak kecil sedang riang bermain sambil
menari di tengahnya. Lemah gemulai gerak tubuh yang meliuk indah.
Sambil duduk termenung di bibir
pendopo, mata saya layangkan menatap megahnya bangunan yang telah berusia
seratusan tahun itu. Bangunan yang sekarang justru lebih mengesankan aura
keangkerannya. Terutama karena dinding-dindingnya yang kusam, serta cat pada
tiang-tiang besarnya yang memudar. Demikian pula yang saya dapatkan dari
hamparan tegel hitam, tempat saya duduk beristirahat setelah lelah berjalan-jalan.
Namun di antara kesan angkernya yang
begitu menonjol, bangunan ini juga menyimpan sejarah kelam. Sejarah yang
menyisakan kegetiran dan kepedihan yang dalam.
Sebuah kepiluan sejarah, ketika pada
tahun 1965, politik Indonesia dilanda awan merah komunisme. Saat itu, Solo
termasuk daerah yang paling ‘merah’ di Jawa Tengah. Maka ketika terjadi kudeta
di Jakarta, Solo yang dipimpin oleh seorang walikota dari PKI, langsung
menyatakan dukungannya pada Dewan Revolusi Indonesia.
Maka tak heran, ketika kemudian PKI
dianggap pemberontak dan harus dihancurkan ke akar-akarnya, Solo pun tak lepas
dari imbasnya. Banyak rakyat simpatisan PKI yang kemudian diburu, ditangkap,
dipenjara, dibuang, dan dibunuh. Termasuk pemimpin CC PKI, DN Aidit juga
terbunuh di Solo, yang kemudian ditembak mati di Boyolali.
Banyaknya simpatisan PKI Solo, membuat
pihak militer tak bisa menampung para tapol tersebut dalam penjara. Maka Dalem
Sasono Mulyo yang luas kemudian difungsikan sebagai penjara. Penguasa militer
menempatkan para tapol di gandok maupun di pendopo. Mereka membangun
sekat-sekat menggunakan dinding yang dibuat dari anyaman bambu. Sekat sederhana
yang difungsikan sebagai sel-sel penjara.
Konon tercatat, para tapol PKI yang
pernah ditampung di Sasono Mulyo hampir mencapai jumlah 2000 orang, dalam waktu
yang hanya 2 tahun. Para tapol yang harus tidur beralaskan lantai tegel yang
dingin, membuat banyak yang kemudian sakit dan meninggal. Selain karena jatah
makan yang sangat sedikit, dan kerja keras yang dipekerjakan untuk membersihkan
pasar-pasar, bangunan pemerintahan dan militer.
Kemarin, saya hanya duduk di bibir
pendopo tanpa berani masuk ke tengah. Karena dalam kenanganku, yang terbayang adalah
peristiwa tragis yang pernah terjadi di sana. Ketika bangunan megah itu menjadi
kamp penampungan para tapol PKI. Yang sangat mungkin mereka yang tertangkap
kemudian dibunuh itu, menjadi anggota partai hanya karena ikut-ikutan saja. Dan
sesungguhnya mereka tak paham apapun tentang ideologi komunisme.
Entah kenapa, karena mengingat
peristiwa itu, keangkeran yang sejak awal terasa jadi tambah mencekam. Ketika
membayangkan banyaknya tapol yang harus jatuh sakit dan mati, karena luas
pendopo yang tak sebanding dengan tahanan yang ada. Membuat mereka harus tidur
berdesak-desakan dalam penjara gedeg, beralaskan lantai tegel yang dingin.
Ditambah bangunan yang sudah sangat tua dan tak terawat, ketika hujan besar
selalu bocor, dan air pun menggenang di semua tempat.
Setelah lama larut dalam renungan,
sasono pun meninggalkan Dalem Sasono Mulyo. Bangunan tua yang mendadak
mengingatkanku pada kenangan sejarah Indonesisa yang kelam. Ketika sebuah
idiologi yang konon diajarkan untuk menciptakan kesejahteraan bersama, namun
justru menjadi saling membinasakan sesama.
Saya sungguh tak habis mengerti.
Ketika sebuah kata suci ‘revolusi’, terpaksa harus memakan dengan beringas
‘anak-anak’nya sendiri. Hingga sebuah tempat yang mulia, terpaksa harus berubah
fungsi menjadi penjara. Karena sesungguhnya, dalam bahasa
Jawa, Sasono Mulyo berarti ‘tempat yang Mulia’. Nuwun.
0 on: "Melawat Ke Dalem Sasono Mulyo : Tempat Mulia Yang Mendadak Menjadi Penjara"