Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang Ilmu sejati, alangkah baiknya
kerabat akarasa membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya. Mengenal Ilmu Sejati.
Bismillahirrahmanirrahiim. Dalam
khasanah kebatinan Jawa, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya
apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa
mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri.
Barangkali sebagian dari kerabat
akarasa ada yang tanpa sengaja pernah
menyaksikan atau bahkan berdialog, atau pun sekedar melihat diri sendiri tampak
menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Tanpa maksud menggurui, sejatinya
itulah Guru Sejati kita. Atau bagi yang dapat Ngrogo Sukmo, maka akan melihat
kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri.
Wujud kembaran (berbeda dengan konsep
sedulur kembar) itulah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat
hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan
menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan
nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, tidak harus
pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran
melalui hati nurani. Maka kemudian kita dapat mencermati suara hati nurani diri
sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang kita hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita
kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita
rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping
rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati
nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping
rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain
merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru
Sejati adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara
membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab
orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah
orang-orang yang terpilih dan pinilih.
Selanjutnya adalah kosepsi Sedulur Papat Keblat, lima Pancer atau Keblat Papat, Lima Pancer. Konsepsi ini di
lain sisi sering diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri
manusia, sedulur papat sebagai
perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan
di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau
air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh
plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi
lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari
sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya.
Jika keempat unsur disatukan maka
jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni
pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan
Kejawen doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan semua
unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan
dibutuhkan sikap amateg aji (niat
ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan
atau usaha. Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu
pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucaap “kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan
kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo
pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….”
Seperti yang sudah saya ulas pada
tulisan Penjelasan Umum Tentang Ilmu Sejati Dalam Kawruh Kejawen karena ada korelasinya. Guru Sejati yakni rahsa
sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan
dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh
al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan
kekuatan metafisik sedulur papat
(dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh
hawa nafsu.
Bersamaan menyatukan kekuatan
mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah
mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden
(Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat
kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi)
dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah).
Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah
yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan
gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan
karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke
dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal)
meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut Manunggaling kawula-Gusti.
Penjabaran sedikit luas tentang Manunggaling Kawula-Gusti bisa baca di
tautan ini :
Tradisi Jawa mengajarkan tatacara
membangun sukma sejati dengan cara ‘Manunggaling
Kawula-Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang
Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat
Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam
diri manusia; curigo manjing warongko,
laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya Manunggaling Kawula-Gusti,
segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata,
bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya
mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa
sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan
kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang
hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas
kendali lagi.
Pencapaian hidup manusia pada tataran
tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu
makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendak-Nya, manusia
dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi
dari Manunggaling Kawula-Gusti
sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran
Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula-Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri
mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma
sejati.
Keberhasilan mengolah Guru Sejati,
tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh.
Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus
meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar
!! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih
kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan
dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu.
Kebaikan yang dilakukan tidak didasari
“pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut
ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos
dan mikrokosmos akan kodrat manusia
sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteru-Nya,
tetapi sebagai “sekutu-Nya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah.
Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan
hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa
membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat
kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud,
setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya
menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu
menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian
“ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri”
kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita
dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya,
petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan
pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah
pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan
relung ’sastra jendra hayuning rat’
yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita
akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh
pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara
lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi
di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu
dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek
moyang kita, para leluhur Bumi Nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian
menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka
atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai
anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar
supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspada dan
melakukan langkah antisipasi.
Sebagai penghujung tulisan ini,
bertelekan dengan paparan di atas. Ada satu pertanyaan yang paling mendasar, pentingkah
Guru Sejati dalam kehidupan kita? Jika jawabannya
ada merujuk pada narasi yang di atas, peran Guru Sejati sangatlah penting dalam
kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam
samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspada, sebab setiap saat
kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah.
Guru Sejati akan selalu memberi
peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati
akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar
harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan
dari pancaran cahaya Ilahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luar biasa.
Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan
tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati
“bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak
melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan,
malapetaka, atau musibah.
Konsep tentang Guru Sejati sebagaimana
ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan
hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima. Namun
demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika
dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki
karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih
peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai
penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa.
Setelah Islam masuk ke Nusantara,
ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan
pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau
tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan
tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan
diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang;
Lauwamah
= Dosomuko, Amarah = Kumbokarno, Supiyah = Sarpo Kenoko, Mutma’inah = Gunawan
Wibisono.
Akhir kata, saya yakin ulasan ini jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan sana sini, karenanya saya harapkan segala masukan dari para pembaca sekalian. Sekali lagi mohon maaf jika banyak
kekurangannya. Nuwun.

Menarik sekali tulisannya mas. Btw, ada gak keterkaitan antara konsep 4 anasir (air, api, udara, tanah) dengan sedulur papat? dimana atau dengan cara apakah seorang manusia dpt termotivasi utk mengikuti "tuntunan" guru sejati nya ini hingga dpt beraktualisasi semata-mata karena Allah dgn kata lain dmn letak kekuatan iman sejati? Suwun
BalasHapus