Akarasa –
Selamat datang kerabat akarasa. Membicarakan label yang tidak menyenangkan bagi
kaum Adam seperti pada judul tulisan ini, sejatinya awal dari adanya istilah
tersebut tidak jauh dari sosok yang saya tulis kemarin, JP Coen. Selengkapanya baca
Raden Ayu Utari Sandi : Martir dari Wangsa Dinasti Mataram
Baik, kita
lanjutkan membahas label hidung belang yang tentu saja tidak menyenangkan bagi
kaum Adam ini. Jika merujuk dari KBBI, arti dari hidung belang adalah sebentuk
kiasan seorang lelaki yang gemar mempermainkan wanita. Tapi tahukah kita,
ternyata ada cerita sejarah yang melatarbelakangi istilah tersebut. Bagaiamana ceritanya?
Mari kita ke Batavia pada abad 17.
Sebelum lebih
jauh lagi membahas sejarah yang melatarbelakangi sebutan Hidung Belang ini, ada
baiknya saya ajak kerabat akarasa sedikit mengenal sebutan Nyai dan Pegundikan.
Karena ini ada benang merah hingga kemudia muncul istilah Hidung Belang seperti
kita ulik ini. Pada jaman kolonial, nasib para ‘nyai’ jauh lebih beruntung
daripada para budak. Demikian anggapan yang berlaku umum ketika itu. Namun
lebih banyak lagi yang beranggapan posisi seorang nyai tinggi secara ekonomis,
tapi rendah secara moral. Bagaimana orang Belanda sendiri memandang bagian dari
sejarahnya itu?
Kata ‘nyai’
punya banyak arti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: panggilan
untuk orang perempuan yang belum atau sudah kawin; panggilan untuk orang
perempuan yang usianya lebih tua; gundik orang asing (terutama orang Eropa).
Sementara
kata ‘nyai’ yang digunakan Reggie Baay, dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda, berasal dari bahasa Bali. Penggunaan kata tersebut bersamaan
dengan kemunculan perempuan Bali yang menjadi budak dan gundik orang-orang
Eropa di wilayah pendudukan VOC pada abad ke-17.
Buku dalam
judul aslinya De njai; Het concubinaat in Nederlands-Indiƫ sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan titel Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.
Reggie mengisahkan perempuan pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama
lelaki Eropa pada masa Hindia Belanda. Hubungan menghasilkan anak-anak
campuran, yang disebut Indo. Saat ini ada sekitar 500 ribu yang tinggal di
Belanda. Namun sejarah mereka seringkali samar bahkan gelap.
Mengapa
demikian? Dalam buku tersebut mengatakan, hal itu dulu dipandang tabu, karena
mereka yang terlibat malu mengakuinya. Orang Belanda melihatnya sebagai aib,
karena para lelaki yang datang tanpa memberi pilihan pada mereka, sesuka hati
memilih perempuan setempat sebagai pendamping. Sementara orang Indonesia
sendiri juga malu mengakui, karena itu juga berarti para perempuan Indonesia
tersebut hidup bersama orang kafir, orang Kristen, dan dari ras berbeda pula.
Jika menilik
dari alasan di atas hal tersebut bisa dibilang lumrah. Orang-orang Belanda
punya kuasa dan banyak uang, dan banyak orang Indonesia yang melihat hubungan
dengan orang Belanda sebagai kesempatan untuk memperbaiki mutu kehidupan. Dalam
banyak kasus, seorang perempuan Indonesia yang bekerja sebagai ‘baboe’ di
sebuah rumah tangga, akhirnya jadi nyai yang punya rumah.
Setidaknya pergundikan
yang dilakukan Belanda terhadap pribumi tersebut lebih aman, selain memang
tidak ada jalan lebih nalar untuk menghadapi dorongan-dorongan insani,
berhubung langkanya perempuan kulit putih di negeri ini. Salah seorang
perempuan yang pernah terlibat cinta dengan lelaki Belanda, dan karenanya
menimbulkan heboh, adalah Saartje Specx. Namun, oleh peristiwa tragis yang
menimpa kekasihnya, maka lahirlah istilah ini: Hidung Belang.
Lantas,
siapa si Saartje Specx dan apa hubungannya dengan JP Coen?
Saartje
Specx, sebagaimana dicatat oleh Hertog dalam Vrouwen naar Jacatra, adalah anak
angkat Jan Pieterzoon Coen. Ia dicintai oleh Pieter Cortenhoeff, perwira
pengawal sang Gubernur Jenderal. Pada suatu hari mereka kedapatan bercumbu
bercinta di sebuah kamar. Coen geram sekali, lantas menghukum perwira muda itu,
menuduhnya melakukan zina. Cortenhoeff digantung di tengah kota dengan lebih
dulu dicorengi hidungnya dengan arang.
Sejak itu
semua orang yang kedapatan berzina ditangkap, lantas dibelangi hidungnya atau
dicorengi wajahnya dengan arang. Karenanya lahir istilah yang unik ini.
Sekurangnya membelangi hidung dengan arang masih lebih lunak dan santun
ketimbang yang dilakukan orang-orang sekarang, abad ke-21 yang katanya lebih
beradab, yang jutru dalam banyak kejadian menelanjangi dan mengarak di jalan, bahkan
kemudian membakarnya. Nuwun.
0 on: "Nyai, Pergundikan, dan Asal - Usul Istilah Hidung Belang"