Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Salah satu jejak perjalan sejarah Mataram yang hingga kini masih
menuai pro kontra salah satunya adalah Ki Ageng Mangir. Hal ini bukan tanpa
sebab, hingga ketika kerabat akarasa sempat berziarah ke Makam Raja di Kota
Gede akan mendapati makam Ki Ageng Mangir pun kelihatan aneh. Bagaimana tidak,
separuh kuburannya ada di dalam cungkup dan separuhnya ada di luar. Pendek kata,
ditengah-tengah kuburannya disekat oleh tembok.
Dalam satu versi saya sudah pernah
menuliskannya di Sejarah Ki Ageng Mangir : Antara Cinta dan Kehormatan
Saking pro kontra-nya sosok ini,
hingga ada beberapa asumsi tentang sepak terjangnya maupun perihal kematiannya.
Nah, berikut ini saya sarikan pendapat –pendapat pro kontra tersebut biar
semakin bingung. Hehehe..
Pendapat pertama :
Ki Ageng Mangir di Islamkan oleh Ki
Juru Mertani dan Roro Sekar pembayun dalam misi dakwah yang sarat unsur politik
demi legitimasi Mataram. Namun, peng-Islam-an Ki Ageng Mangir ini kemudian di
biaskan oleh beberapa pihak. Terutama penjajah Belanda melalui ahli sejarahnya,
ini tidak menjadi aneh karena pada masa Panembahan Senopati berkuasa ia
termasuk salah satu penyebar Islam di Jawa. Sebagai contoh, Babad Mangir
sebagai sumber sejarah tidak pernah diketahui siapa penulisnya. Tembok makam
dimana Ki Ageng Mangir dimakamkan adalah dibangun di abad 18 pada masa
pemerintahan Hamengkubuwono II/III.
Siapapun yang menulis babad Mangir
pastilah menngacu pada model makam yang berada di bawah tembok tersebut, jadi
babad Mangir kemudian disosialisasikan oleh penulisnya pada saat atau setelah
perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berkisar pada angka tahun 1825 – 1830. Kasus
ini persis dengan kisah perang Bubat yang di politisir dan dibegkokkan dari
sejarah aslinya.
Pendapat kedua :
Gabungan tentara Mangir dibawah Ki Ageng
Mangir dan tentara Mataram akan sangat memperkuat kejayaan Mataram, oleh karena
itu adipati para penentang Mataram berkolaborasi menciptakan intrik politik
untuk memecah kekuatan Mangir - Mataram yang telah diikat oleh perkawinan Ki
Ageng Mangir - Roro Pembayun. Mereka menggunakan tangan Raden Ronggo untuk
menjadi mata - mata sekaligus eksekutor bagi Ki Ageng Mangir, tokoh yang
kisahnya sengaja dikaburkan.
Pendapat ketiga :
Secara logika Ki Mondoroko atau Ki
Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah
besar yang dalam cerita tutur sarat dengan karomahnya. Ki Juru Mertani pasti
tak akan mengizinkan cucu keponakan kesayangannya menikah dengan seorang yang
non Muslim. Panembahan Senopati sudah mengizinkan Ki Ageng Mangir menjadi
menantu sekaligus sekutu Mataram yang sangat kuat. Saking dekatnya Ki Ageng
Mangir diijinkan masuk kekamar pribadi Panembahan Senopati ditempat
pesalatannya. Namun di sini ada oknum lain yang bisa masuk ke kamar pribadi
Senopati yaitu Raden Ronggo yang juga putra Panembahan Senopati. Bisa jadi
karena terpicu oleh berita kesaktian Mangir dan dengan sengaja mencobanya, Raden
Ronggo menghantam Ki Ageng Mangir dengan Watu Gatheng dari belakang saat Ki
Ageng Mangir sedang shalat. Ki Ageng Mangir gugur dengan kepala pecah bersimbah
darah, adakah yang lebih masuk akal dari cerita ini?
Pendapat keempat :
Akibat tewasnya Ki Ageng Mangir,
Panembahan Senopati murka dan secara rahasia menyuruh beberapa orang
kepercayaannya bersama Ki Patih Rogoniti adik Ki Ageng Mangir membunuh Raden
Ronggo diluar benteng Mataram, dalam suatu perkelahian yang fair Raden Ronggo
tewas oleh tusukan tombak Naga Baru Klinthing (dalam sejarahnya raden Ronggo
wafat setelah melawan seekor Naga). Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti tercatat
di dusun Cangkring Srandakan Bantul, Yogyakarta, termasuk makam keturunannya
Kyai Muntahal di Patihan Srandakan Bantul yang menurunkan Lurah Kerto
Pengalasan, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro
Pendapat kelima :
Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh
Panembahan Senopati disebarluaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha
mendiskreditkan reputasi Panembahan Senopati raja Mataram Islam sebagai orang
yang kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat, padahal kejadian yang
sebenarnya adalah sebuah upaya menutup-nutupi sejarah peng-Islam-an Ki Ageng
Mangir oleh Pembayu dan Ki Juru Mertani atas peritah langsung Panembahan
Senopati.
Pendapat keenam :
Logikanya, Watu Gilang bukan
singgasana kerajaan akan tetapi batu pipih tersebut adalah tempat peshalatan. Adalah
aneh mendeskripsikan tempat shalat dan singgasana raja dari Watu Gilang. Tidak
mungkin singgasana kerajaan berwujud batu pipih setinggi 30 cm, dan sangat
tidak akal orang yang duduk bersila membunuh dengan cara membenturkan kepala
ketempat duduknya. Jadi Ki Ageng Mangir tidak pernah dibenturkan kepalanya disinggasana
raja dihadapan para Bupati.
Oleh karena cerita ini sudah
mengandung unsur-unsur perpecahan maka oleh para Sejarahwan Belanda cerita ini
tidak pernah dikutik-kutik. Cerita ini serupa dengan kisah perang Bubat dan
cerita Dipati Ukur yang menyebabkan dendam sejarah antara suku Sunda dan Jawa
yang tujuannya adalah jelas agar rakyat Sunda mendapat musuh abadi. Kisah yang
sama dipakai untuk mencegah pengaruh Diponegoro di Jawa Barat, modusnya adalah
adu domba klise takti Belanda devide et impera. Lalu kisah makam yang terbelah
juga tidak masuk akal karena makam Kota Gede dibangun oleh kerabat
Hamengkubuwono II dan III. Bukan sejak Ki Ageng Mangir wafat.
Pendapat ketujuh :
Sebagai pahlawan Mataram Roro Pembayun
yang telah mengandung anak Ki Ageng Mangir kemudian diungsikan ayahandanya
ketempat kakeknya Ki Penjawi di bumi Pati. Kelak anak itu lahir sebagai Ki
Lurah Bagus Wanabaya yang bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran
Benawa putra Joko Tingkir (sultan Hadiwijaya) di Kendal. Putra Ki Ageng Mangir
ini juga seorang veteran perang yang bertempur melawan VOC di Jepara 1618
bersama Tumenggung Bahurekso dan sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra
(dimakamkan di Kebun Raya Bogor) selanjutnya ikut berperang dengan VOC Batavia
sebagai komandan tentara Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629.
Keberhasilan unitnya membunuh Jan
Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen
kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah mampu menghentikan niat
Sultan Agung menghajar kembali Batavia, dan memusatkan usahanya membangun
kejayaan Mataram, terbukti hingga wafatnya Sultan Agung di tahun 1645, VOC
Belanda tak pernah berani berperang dengan Mataram. Para Trah dan keluarga
Mataram terus menerus melindungi dan memelihara silaturahmi dengan para
keturunan Mangir yang bermuara pada Roro Pembayun. Pada kenyataannya para
keturunan Ki Ageng Mangir banyak berperan dalam membantu eksistensi kerajaan
Mataram pada abad berikutnya.
Pendapat kedelapan :
Bahwa peninggalan Ki Ageng Mangir di
Mangiran berupa lingga yoni, candi dan sebagainya tidak serta merta menyatakan
bahwa Ki Ageng Mangir masih Hindu setelah menjadi menantu Panembahan Senopati,
Sebab seperti kebanyakan keturunan Prabu Brawijaya yang lainnya Ki Ageng Mangir
pun akhirnya masuk Islam. Permasalahannya kenapa keislaman Ki Ageng Mangir ini
ditutup - tutupi oleh cerita sejarah yang cenderung tendensius menyudutkan
Panembahan Senopati sebagai raja Islam Mataram pertama diwilayah Jawa Tengah
bagian selatan.
Dan yang terakhir, Trah Mangir
mempunyai ciri-ciri yang ambigu atau mendua namun selalu mengambil jalan keras
saat memutuskan untuk bertindak, ciri trah juga selalu menjadi tokoh
pemberontak yang teguh dan kemampuan olah pikir atau olah seni yang sangat
mumpuni : lihat saja jejak Trah Mangir seperti Untung Suropati, Pramudya Ananta
Tur, Raden Saleh, SM. Kartosuwiryo atau
bahkan Basuki Abdullah yang meninggal secara tragis ditikam seorang maling
amatir yang kepergok Basuki Abdullah saat mencuri dirumah pelukis ternama itu,
kebanyakan Trah mencantumkan nama nama bangsawan atau pahlawan sebagai
kebanggan, trah Mangir menyembunyikan perjuangan dan jatidiri , persis seperti
pengorbanan Ki Ageng Mangir.
Demian pendapat-pedapat yang ada yang
saya dapat dari berbagai referensi. Semoga semakin menambah bingung dan wawasan
yang lain akan sosok Ki Ageng Mangir yang memang cerita-cerita sejarah yang
melatarbelakanginya masih pro kontra hinga kini. Akhir kata, sekian dulu dan
sampai ketemu pada tulisan selanjurnya. Nuwun.
0 on: "Pro Kontra Sejarah Ki Ageng Mangir"